Home / Horor / lantai tiga belas / Tangga Menuju Neraka

Share

Tangga Menuju Neraka

Author: Kelaras ijo
last update Huling Na-update: 2025-05-04 22:04:36

Tangga menuju lantai 13 tak seperti yang Dimas bayangkan. Anak tangganya dari logam berkarat, licin oleh lumut dan darah kering. Udara semakin tipis, pengap, dan bau amis seperti bangkai yang membusuk sejak lama menyelimuti setiap tarikan napas. Lampu bohlam di atas kepala berkedip pelan, nyaris padam, mengeluarkan dengung aneh yang terdengar seperti suara rintihan.

Sinta melangkah di depannya. Tubuhnya kurus, rambutnya menjuntai tak terurus, tapi tatapannya penuh tekad. Entah kenapa, Dimas merasa gadis itu tidak sepenuhnya hidup lagi.

“Berapa lama kita harus turun?” tanya Dimas, suaranya tercekat.

“Waktu di sini tak sama, Mas,” jawab Sinta lirih. “Bisa jadi kita hanya turun lima menit... tapi di dunia sana, jam sudah lewat tengah hari.”

Langkah demi langkah, mereka menuruni tangga spiral itu. Dinding di sekeliling mereka dipenuhi coretan seperti bekas cakaran kuku dan goresan tulisan yang nyaris tak terbaca:

> “Jangan lihat ke belakang...”

“Mereka menunggumu di bawah...”

“Bayanganmu
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Pinakabagong kabanata

  • lantai tiga belas   Hawa Tidak Biasa

    Desa Kemuning berubah.Tak ada lagi suara ceria anak-anak bermain di sore hari. Burung-burung tak lagi bersiul dari dahan. Bahkan, jangkrik pun seperti ikut bungkam. Sejak kejadian aneh di Curug Kembar yang menimpa Arga dan Rino, suasana desa seperti diliputi kabut tipis yang tak kasat mata, tapi bisa dirasakan—menyesakkan dada dan membuat bulu kuduk terus berdiri.Langit selalu mendung, bahkan saat matahari seharusnya bersinar terang. Warga mulai resah, terutama setelah kejadian aneh mulai bermunculan.Ternak milik Pak Surip ditemukan mati mendadak, matanya terbuka lebar seolah melihat sesuatu sebelum ajal menjemput. Tubuhnya kaku, tapi tidak ada luka sedikit pun. Di tanah kandang, terlihat bekas telapak kaki besar dengan jari-jari panjang dan dalam—bukan milik manusia atau hewan biasa.Lalu, Bu Ratmi, tetangga Arga, mendadak kerasukan saat sedang menanak nasi. Ia berteriak-teriak dengan suara berat dan kasar, “Gerbang sudah dibuka… bendera telah ditegakkan… tak bisa ditutup lagi!”S

  • lantai tiga belas   Tak Ada Jalan Keluar

    Sinta membuka mata di tengah malam, keringat dingin membasahi leher dan punggungnya. Ruangan terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Mesin infus berdetak pelan, namun suara detaknya kini terdengar seperti gema dalam lorong panjang. Lampu di pojok ruangan mulai berkedip. Tik... tik... tik... klik... klik... klik... Sinta menoleh ke arah jendela. Tirai putih tipis itu bergerak pelan, meski semua jendela tertutup. Dan di balik tirai—bayangan itu masih berdiri. Tapi kali ini lebih dekat. Matanya menyala merah samar, rahangnya menganga seolah mengucap sesuatu... tapi tak ada suara. Sinta menjerit. Namun suaranya nyaris tak terdengar. Tenggorokannya kering. Ia menekan tombol darurat di samping tempat tidur, namun lampu tombol itu mati. Tak ada bunyi alarm. “Tolong...” bisiknya lirih. Bayangan itu mulai masuk menembus kaca jendela—menyatu dengan udara, merambat seperti kabut hitam yang menjalar ke dinding ruangan. Aroma anyir darah kembali menyeruak. Sinta menggigil. Tangan gemetar, ia b

  • lantai tiga belas   Lari Atau Mati

    Sinta memejamkan mata erat, menanti ajal yang rasanya hanya tinggal sehelai napas lagi. Tapi... detik-detik berlalu, dan tidak ada yang menyentuhnya. Suara desis aneh terdengar. "Krrraakk... kkkhhrrhh..." Diiringi dengan bau amis menyengat. Sinta membuka mata sedikit... makhluk itu berdiri hanya sejengkal darinya. Nafasnya berat, terdengar seperti logam berkarat yang bergesekan. Wajahnya begitu dekat hingga Sinta bisa melihat larva-larva kecil merayap di dalam rongga matanya yang kosong. Tiba-tiba, dari arah samping, sebatang kayu besar menghantam kepala makhluk itu. “JANGAAAN SENTUH DIA!!” Suara itu... Ardi?! Sinta melirik, dan benar—Ardi muncul entah dari mana, tubuhnya penuh luka, bajunya berlumur darah, tapi matanya menyala dengan semangat bertahan hidup. Ia menyeret Sinta bangun, tangan gemetaran namun kuat. “Lari, Sint! Jangan lihat ke belakang!” Mereka berlari menuruni halaman menuju sisi gelap gedung yang belum runtuh. Di belakang, suara geraman dan teriakan makhluk-mak

  • lantai tiga belas   Pintu Neraka Terbuka

    Lorong itu gemetar. Dari balik retakan-retakan di dinding, suara jeritan bergema. Seperti ada ratusan suara menyatu, menangis, tertawa, dan merintih dalam nada sumbang. Reza menggandeng Sinta yang setengah sadar, sementara Dimas masih memegangi kitab tua yang mulai terbakar di sudut-sudutnya. > “Mereka datang!” jerit Sinta tiba-tiba. “Mereka semua sudah keluar!!” Dari balik cermin, dari lantai yang merekah, dan dari dinding yang berdenyut seperti daging hidup—mahluk-mahluk itu muncul. Sosok-sosok berkulit gosong, dengan wajah setengah terbakar dan tubuh cacat. Tangan mereka panjang tak wajar, ujungnya seperti paku berkarat. Tanpa aba-aba, mereka menyerang. Salah satu dari mereka mencengkeram tubuh Reza dan melemparkannya ke udara. Tubuhnya membentur dinding beton dengan suara “krek” mengerikan. Darah menyiprat. Tulang bahunya keluar dari posisi. Tapi belum sempat Reza bangkit, satu sosok dengan wajah bolong mendarat di atas tubuhnya. Mahluk itu mencabut sebatang besi panja

  • lantai tiga belas   Yang Ikut Kembali

    Angin malam menggoyangkan tirai tipis di jendela rumah Reza. Tapi malam ini berbeda. Udara terasa lebih dingin dari biasanya. Waktu seakan berhenti. Dimas duduk membelakangi mereka di sudut ruangan, matanya tak berkedip, menatap ke arah pintu kamar mandi yang sedikit terbuka. > “Mas Dimas, kenapa kamu liatin situ terus?” tanya Sinta pelan. Dimas tak menjawab. Matanya berkaca-kaca, pelipisnya basah oleh keringat dingin. > “Dia berdiri di sana... persis di balik pintu itu. Jangan bergerak,” bisiknya. Reza menelan ludah, perlahan menoleh. Tapi tak ada siapa-siapa. Hanya gelap yang menganga. Tapi aroma... seperti daging busuk terbakar mulai memenuhi udara. Sinta memegangi dadanya. “Mas... aku ngerasa sesak... kayak ada yang duduk di dadaku...” > “Itu dia,” ujar Dimas. “Makhluk yang ikut. Dia menempel di kamu, Sin.” Tiba-tiba terdengar ketukan—tiga kali. Tapi bukan dari pintu depan. Ketukan itu berasal dari dalam lemari kamar. Pelan... teratur... seperti seseorang meminta dibukakan

  • lantai tiga belas   Bayangan dari Lorong Terakhir

    Hujan rintik jatuh sejak subuh, seolah langit pun ikut berkabung. Reza berdiri di depan jendela, menatap kosong ke luar. Sementara itu, Sinta duduk di lantai kamar, memandangi buku tua yang semalam menuliskan pesan Dimas. Halaman terakhir kini kosong, namun aroma aneh masih menempel di setiap helainya.> “Aku gak bisa duduk diam, Za. Dimas… dia masih di sana,” bisik Sinta pelan, tapi mantap.Reza menggeleng, napasnya berat.> “Gak ada cara, Sin. Lantai 13 itu… udah nutup pintunya sejak kita keluar. Bahkan polisi pun nyerah.”> “Buku ini nggak kosong waktu aku buka semalam. Ada peta, Za. Dan pintunya masih ada. Aku ngerasa… dia belum sepenuhnya hilang.”Reza akhirnya menyerah. Ia tahu tatapan Sinta bukan main-main. Dia juga tahu, Sinta bukan gadis yang gampang menyerah. Maka malam itu juga, mereka kembali menyusuri lorong menuju gedung tua—tempat yang seharusnya mereka jauhi selamanya.---Gedung Kosong. Malam Hari.Lantai demi lantai mereka lewati. Lantai 12 sepi, tapi hawa dingin mul

  • lantai tiga belas   Korban Terakhir

    Langit pagi itu mendung. Kabut turun tipis menyelimuti halaman rumah Reza, menyisakan udara dingin yang menusuk sampai ke tulang. Sinta duduk di tangga depan, matanya sembab, rambutnya kusut, dan tangan masih memegang liontin yang diberikan Dimas—liontin yang dulunya selalu ia anggap hanya sebagai hiasan.Reza berdiri di belakangnya, diam. Tak ada kata-kata yang bisa ia ucapkan. Ia tahu apa yang terjadi semalam bukan mimpi. Dimas... tidak keluar bersama mereka dari lantai tiga belas. Ia tetap di sana—di antara lorong-lorong waktu dan kegelapan.> “Kenapa dia gak ikut kita, Za?” tanya Sinta, suaranya serak. “Dia... bilang cuma sebentar. Tapi... dia gak muncul lagi.”Reza menghela napas panjang. “Dia nutup pintunya, Sin... dari dalam. Dia gak mau kalian ditarik lagi.”Sinta memeluk lututnya, tubuhnya gemetar. “Aku dengar suaranya... saat kita keluar. Dia bilang... ‘Jangan balik lagi.’ Lalu... suara itu... jeritan...” Air matanya jatuh, tanpa bisa ditahan.Reza menatap jauh ke arah bukit

  • lantai tiga belas   TUMBAL TERAKHIR

    Langit malam itu berubah aneh. Awan menggulung seperti asap hitam, membentuk pusaran tepat di atas rumah sakit tua. Petir menyambar tanpa suara. Di kejauhan, warga kampung mulai merasa gelisah, beberapa mengaku mendengar tangisan dari arah bukit meski tak ada seorang pun di sana. Sementara itu, Reza, yang sejak tadi terus mencari Sinta bersama Bu Darmi, tiba-tiba pingsan saat melintasi sumur tua yang katanya sudah ditutup rapat. Saat sadar, ia melihat dirinya berada di dalam ruangan gelap... dan di hadapannya berdiri sosok Dimas, atau sesuatu yang menyerupainya, dengan senyum ganjil menempel di wajahnya. > “Kau harus menebus kesalahan mereka… Reza. Kau adalah satu-satunya yang tersisa dari malam itu.” Reza bingung. Malam itu? Apa maksudnya? Tapi tak sempat berpikir, sosok Dimas lenyap, digantikan oleh puluhan tangan keluar dari lantai, mencoba menariknya masuk. Di tempat lain, Bu Darmi menyadari sesuatu. Ia membuka kembali kitab tua warisan leluhur kampung. Tertulis di sana, bahwa

  • lantai tiga belas   Tanda dari Neraka

    Tiga hari sudah berlalu sejak Sinta ditemukan tak sadarkan diri di depan rumah sakit tua itu. Ia kini terbaring di kamarnya, tubuhnya lemah, tapi pikirannya terus dihantui oleh wajah Dimas—dan ruangan operasi penuh darah itu. Namun yang paling mengganggu bukan hanya mimpi buruknya. Melainkan bekas luka di lengannya—berbentuk lingkaran kecil dengan garis memanjang ke bawah, seperti simbol kuno. Sinta yakin... itu bukan luka biasa. Itu tanda dari dunia lain. Di luar, hujan turun deras. Petir menyambar sesekali, membuat malam seperti siang. “Kenapa aku... selamat?” gumam Sinta lirih. Ia membuka buku catatannya. Di sana ia tulis ulang semua yang ia ingat: lorong gelap, lantai 13, makhluk aneh, dan... Dimas. Tapi setiap menulis nama itu, pensilnya patah, atau tintanya luntur sendiri. Seolah ada yang tak ingin nama itu ditulis. Tiba-tiba... lampu kamarnya mati. CRAKK! Suara dari atap. Langkah kaki. Berat. Pelan. Seperti diseret. Sinta menahan napas. Ia mengambil ponselnya—yang kini

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status