ARGH!
Aku terbangun dengan tubuh terengah-engah, kepalaku berdenyut, dan napasku tersengal. Suara teriakan itu masih terngiang jelas di telingaku, menggema di lorong yang tak berujung. Aku berlari, namun entah mengapa jalan itu selalu memanjang, seolah tak ada ujungnya. Lalu, dari kejauhan, tampak sebuah cahaya. Semakin lama, cahaya itu semakin terang dan membutakan mataku...
HUAAA!
Aku berteriak keras, terbangun dari tidurku yang gelisah, dengan jantung yang berdetak tidak teratur. Tubuhku lemas, rasa haus melanda seketika. Segera aku meraih segelas air di meja nakas dan meminumnya dengan cepat. Waktu menunjukkan pukul dua pagi. Itu berarti aku baru tidur sekitar dua jam yang lalu.
Suasana rumah yang sunyi tiba-tiba diganggu oleh suara keras yang datang dari luar.
PRANG!
Bunyi benda jatuh itu terdengar begitu jelas, namun aku enggan untuk mengecek. Apa yang terjadi dengan rumah ini? Sudah lebih dari setahun aku meninggalkannya, dan kenapa rasanya semakin menakutkan? Ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang membuatku merasa tidak nyaman.
Aku mencoba untuk tidur kembali, namun hanya terbaring gelisah, memainkan ponsel yang ada di tanganku. Tubuhku sudah sangat lelah, namun bayangan mimpi buruk semalam terus menghantui pikiranku. Aku ragu untuk menutup mata lagi, takut mimpi itu akan kembali mengusik tidurku.
Pagi pun datang. Aku melangkah keluar dari kamar dengan mata yang masih berat. Aroma makanan menggoda dari dapur, membuatku segera berjalan ke sana dengan langkah yang sedikit terburu-buru. Ketika melewati koridor rumah, aku merasa sedikit cemas. Lorong yang sama dengan yang muncul dalam mimpiku semalam. Aku merasakan tubuhku sedikit tegang saat melewatinya. "Pagi, Mbok," sapaku pelan saat melihat Mbok Ikah sedang sibuk memasak Nasi Goreng di dapur.
"Eh, Non. Udah bangun, ya?" jawabnya dengan senyuman hangat.
"Mbok, tadi subuh denger ada benda jatuh gak?" tanyaku, berusaha menyembunyikan kecemasanku.
"Loh, Non juga denger?" jawab Mbok Ikah dengan wajah sedikit terkejut.
"Iya. Emangnya apa yang jatuh?" tanyaku dengan rasa penasaran yang semakin dalam.
"Gelas, Non. Udah Mbok bersihin," jawab Mbok Ikah sambil melanjutkan memasak.
Aku teringat kembali dengan mimpi burukku semalam. Entah mengapa aku merasa ada kaitannya dengan suara benda yang jatuh itu. Namun, apakah mungkin Marcell, adikku, bisa melakukan itu meski dia sudah tiada? Rasanya tidak masuk akal. Aku mencoba untuk menepis perasaan aneh itu.
"Oh, ya udah. Mbok, nanti sarapannya bawa ke kamar aja ya," kataku dengan nada sedikit cemas.
"Iya, Non," jawab Mbok Ikah sambil tersenyum.
Sebelum kembali ke kamar, aku memutuskan untuk berkeliling rumah, ingin memastikan semuanya baik-baik saja. Aku berhenti di depan pintu kamar Marcell. Kamarnya terlihat sangat berbeda. Seperti tak ada yang merawatnya sejak kepergiannya. Aku membuka pintunya perlahan. Bau lama dan lembab langsung menyeruak keluar. Kamarnya gelap, dan jelas sekali tidak ada yang membersihkan sejak Marcell meninggalkan rumah ini. Aku membuka jendela dengan cepat agar cahaya matahari bisa masuk.
Pandangan mataku melintasi setiap sudut kamar. Hampir semuanya dipenuhi debu. Namun, ada satu hal yang menarik perhatianku. Sebuah papan tulis kecil yang terpasang di tembok dekat meja belajar Marcell. Di sana, tertulis daftar tugas sekolah dan rencana masa depan Marcell, dengan sebuah tulisan yang membuatku tercekat: "Osaka University." Kampus yang selalu dia impikan untuk kuliah. Ternyata, itu semua hanya menjadi impian yang tak pernah terwujud.
Tiba-tiba, terdengar suara berderit keras dari pintu kamar mandi yang berada di sebelah kanan. **Kriet!** Aku menoleh, merasakan ketegangan dalam diriku. Pintu kamar mandi terbuka sendiri tanpa ada angin. Aneh. Tak ada yang bisa menjelaskan itu. Ketakutanku semakin tumbuh.
Kriet!
Suara pintu itu terdengar lagi. Aku langsung bergegas keluar dari kamar Marcell, namun sebelum melangkah, aku merasakan ada angin dingin yang tiba-tiba berhembus. Rasanya seperti ada sesuatu yang sedang mengawasi. Bulu kudukku meremang.
Brug!
Aku buru-buru menutup pintu kamar Marcell, dengan perasaan semakin takut. Rasanya, aku ingin segera menjauh dari tempat ini.
Namun, rasa takut itu tidak berhenti begitu saja. Aku ingat tentang kamar Sandy, adikku yang lain. Mungkin aku harus mengeceknya juga. Dengan hati-hati, aku melangkah menuju pintu kamar Sandy yang terletak di sebelah kamar Marcell. Saat membuka pintu, aku terkejut. Kamarnya berantakan, dengan koleksi mobil mainan yang tergeletak di lantai dan kertas-kertas berserakan di meja.
Aku melangkah lebih jauh ke dalam, menyingkirkan beberapa mobil mainan yang menghalangi jalan. Tempat tidur Sandy terlihat sangat berantakan, dengan pakaian sekolah yang masih tergantung di balik pintu. Aku duduk di tempat tidur, memandangi sekeliling. Mungkin Mbok Ikah belum sempat merapihkannya.
Tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah buku gambar yang tergeletak di meja belajar. Buku itu milik Sandy, yang memang dikenal suka menggambar. Sejak kecil, dia sering memenangkan lomba menggambar dan mewarnai. Aku membuka halaman pertama, melihat gambar mobil berwarna hitam yang tampak cantik. Kemudian aku membuka lembaran berikutnya. Gambarnya masih seputar mobil. Namun, ketika sampai pada lembaran tengah, ada yang aneh. Sandy menggambar keluarga kami, tapi dengan satu tambahan yang tidak pernah aku kenal. Ada seorang wanita dengan rambut panjang, tetapi setengah tubuhnya tidak digambar. Siapa wanita itu?
Lembar demi lembar, aku terus membuka buku itu hingga akhirnya aku sampai pada gambar terakhir yang cukup mencengangkan. Gambar itu didominasi oleh warna hitam, berbentuk seperti... ular? Aku terkejut dan hampir menjatuhkan buku itu.
"Tunggu," suara Mbok Ikah terdengar tiba-tiba dari belakang, membuatku terlonjak kaget. "Maaf, Non. Tadi Mbok cari di kamar, gak ada. Ternyata ada di kamar Den Sandy."
"Mbok tahu tentang gambar ini?" tanyaku, mencoba menenangkan diri.
"Iya, Den Sandy pernah cerita," jawabnya, dengan raut wajah serius.
Aku pun memutuskan untuk bertanya lebih lanjut, "Mbok masih ingat ceritanya?"
"Masih," jawab Mbok Ikah, sambil duduk di sampingku di tempat tidur.
Dengan suara pelan, Mbok Ikah mulai bercerita. Sejak kepergian Marcell, sikap Sandy berubah drastis. Dia sering kali ketakutan sendiri, bahkan pernah meminta Mbok Ikah untuk tidur bersamanya karena merasa takut. "Apa yang dia takutkan, Mbok?" tanyaku, ingin tahu lebih banyak.
"Katanya, sering ada suara-suara aneh dari kamar Den Marcell," jawab Mbok Ikah dengan wajah bingung.
"Suara apa?" tanyaku dengan penasaran.
"Suara benda jatuh, Non," jawab Mbok Ikah, matanya mulai terisi kebingungan.
Saat mendengar cerita itu, aku mulai berpikir. Bagaimana bisa suara benda jatuh terdengar jika kamar Marcell selalu terkunci rapat, bahkan Mbok Ikah yang menguncinya setiap hari? Aku merasa ada yang aneh, sangat aneh.
"Jadi kamar Marcell selalu dikunci, Mbok?" tanyaku, mencoba memastikan.
"Iya, Non," jawab Mbok Ikah dengan yakin.
"Eh, tadi aku masuk ke sana," kataku, merasa semakin bingung.
"Kenapa? Kok bisa?" Mbok Ikah tampak terkejut.
"Yuk, kita cek!" kataku, berusaha meyakinkan dirinya. Kami berdua menuju kamar Marcell, dan aku mencoba membuka pintu, tetapi—
krek!
—pintu itu tidak terbuka. Aku mencoba berkali-kali, namun tetap saja tidak bisa.
"Udah, Non," ucap Mbok Ikah pelan, menatapku dengan wajah penuh keraguan.
"Beneran, Mbok! Tadi aku masuk ke sana!" kataku, masih berusaha membuka pintu.
"Iya, Mbok percaya," jawabnya pelan, namun ekspresinya tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.
Aku melepaskan gagang pintu dan menatap pintu kamar Marcell dengan penuh tanya. Jika selama ini pintu selalu terkunci, siapa yang membukanya tadi? Aku merasa ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan akal sehat. Apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini?
BERSAMBUNG...
Sejam berlalu dengan hening, kami hanya duduk diam di dalam kamar, memproses segala yang baru saja terjadi. Keheningan ini hanya dipecahkan oleh suara pintu yang tiba-tiba terbuka."Kriet!" Pintu bergerak, dan seorang perawat masuk untuk memeriksa kondisi Mama. Kami segera menoleh ke arah pintu.“Zara, kamu tidak mau keluar cari sarapan?” tanya Mama, sambil melirikku saat perawat sedang memeriksanya.“Iya, Bun. Sebentar,” jawabku sambil melirik ke arah Andre, yang masih tenggelam dalam pandangannya pada ponsel."Udah aman," bisik Tante Vira, memberi isyarat bahwa situasi sudah terkendali.Aku kemudian bangkit, menarik tangan Andre yang masih terbuai dengan layar ponselnya. Dengan langkah ragu, aku melangkah keluar kamar.Kami memilih untuk membeli sarapan di sekitar rumah sakit, tidak ingin pergi terlalu jauh. Tubuhku memang sangat lelah, dan kurang tidur membuat langkahku semakin berat.Setelah sarapan, kami m
Aku berdiri di dekat pintu kamar rumah sakit, menatap ke arah tempat tidur tempat Mama berbaring. Mataku penuh haru, seolah tak percaya bahwa Mama akhirnya sadar setelah sekian lama koma. Aku merasa gugup, hatiku dipenuhi banyak perasaan yang sulit dijelaskan."Mama!" Aku memanggilnya pelan, sedikit gemetar. Langkahku menuju ranjang Mama semakin mendekat."Zara..." Suara Mama terdengar lembut, namun penuh kesedihan. Matanya yang sembab menunjukkan betapa lelah dan terlukanya hati seorang ibu."Apa yang terjadi, Bun? Kenapa Mama bisa begini?" Tanyaku, mencoba untuk mencari jawaban atas semua yang sudah terjadi. Air mata mulai menggenang di pelupuk mataku."Kenapa kamu enggak bilang kalau Marcell dan Sandy sudah meninggal?" Mama akhirnya bertanya, suaranya terputus-putus. Ia tampak begitu terpukul dengan kenyataan yang harus diterimanya."Maafkan Zara, Mama," jawabku dengan suara yang hampir pecah. Aku menggenggam tangan Mama, merasakan
Mataku terasa berat, saat mendengar kabar tentang kepergian Papa. Meskipun dia telah melakukan hal-hal yang tak termaafkan, dia tetaplah orang tua kandungku. Tidak mudah untuk mengabaikan rasa itu begitu saja."Zara, kamu di mana sekarang?" suara Om Har terdengar penuh kecemasan dari ujung telepon."Zara udah pulang ke Jerman, Om," jawabku sambil berusaha menahan suara yang mulai serak."Jangan bohong, Zara," jawab Om Har dengan nada yang tegas. "Tadi pagi Papa telepon, dia tanya kamu ada di rumah Om. Berarti kamu masih ada di Indonesia, kan?"Aku terdiam. Menghadapi kenyataan ini begitu sulit. Tidak tahu apa yang harus aku katakan."Zara, kamu kenapa sih? Sebenernya kamu ada masalah apa sama Papa?" Om Har kembali bertanya, seolah merasa ada sesuatu yang tak beres."Enggak ada masalah apa-apa, Om," jawabku, meskipun dalam hatiku ada banyak hal yang ingin kuungkapkan.Om Har mendengus pelan. "Zara, bohong lagi. Om tahu ada yang kamu se
Kereta yang aku tumpangi akhirnya sampai di Stasiun Yogyakarta tepat pukul lima sore. Dengan cepat, aku keluar dari gerbong dan langsung mencari transportasi yang bisa membawaku ke rumah Tante Vira. Berdasarkan alamat yang Mama berikan, rumah Tante Vira tak terlalu jauh dari stasiun.Tak lama setelah aku melangkah keluar stasiun, sebuah taksi melintas di depanku. Aku segera melambaikan tangan, menghentikan taksi tersebut. Setelah itu, aku memberitahu alamat yang hendak dituju. Sang sopir pun mengangguk dan segera menyalakan mesin taksi.Di dalam taksi, aku hanya duduk dengan tenang dan memandang pemandangan sekitar. Aku menikmati suasana Jogja yang mulai senja, udara yang terasa segar, dan kedamaian yang hadir setelah dua minggu penuh kecemasan dan ketegangan. Rasanya, sudah lama sekali aku tidak merasa seutuh ini—tenang dan bebas.Setelah beberapa menit berkendara, taksi mulai memasuki kawasan perumahan dengan rumah-rumah bergaya minimalis. Aku menatap se
Aku merasakan tubuhku dihantam keras ke tanah. Rasanya seperti terjatuh dari ketinggian yang luar biasa. Nafasku sesak, dadaku terasa panas dan berdetak keras, namun aku tetap bertahan. Perlahan aku membuka mata. Sesosok wajah yang aku kenal muncul di hadapanku, wajah yang selama ini menjadi simbol perlindunganku, yang seharusnya menjadi tempatku bersandar. Wajah itu adalah Papa."Zara, sayang," Papa memanggil dengan lembut, mencoba mendekatiku. Namun saat mataku menatapnya, amarahku kembali membara. Selama ini, dia lah yang menjadi sumber penderitaanku dan keluargaku. Dia yang menyebabkan kematian Marcell, Sandy, dan Mbok Ikah. Dia juga yang membuat Mama terbaring tak sadar."Papa!" aku berteriak, merasa sakit hati yang dalam. Rasanya aku ingin marah dan mengungkapkan semua kekesalanku, tapi kata-kata itu hanya keluar dalam isakan. "Papa jahat!" teriakku lagi, mendorong tubuhnya yang berdiri di dekatku. Aku tidak ingin ada yang menyentuhku, apalagi seorang pembunuh.
Aku berlari mendekati kamar Papa, jantungku berdebar kencang. Namun, langkahku terhenti tepat di depan pintu kamar. Dari dalam kamar terdengar suara Papa sedang berbicara dengan seseorang, namun kata-katanya terdengar tegang, seperti ada ketegangan yang begitu kuat."Apa yang kamu mau di sini?" suara Papa terdengar keras, menahan amarah."Saya ingin tahu janjimu!" jawab suara seorang wanita dengan nada tinggi dan penuh desakan."Saya sudah bilang, sabar!" Papa membalas dengan nada suara yang semakin meninggi."Waktunya sudah semakin dekat. Kamu masih harus cari dua tumbal lagi!" wanita itu berbicara dengan nada yang semakin tinggi, hampir seperti mengancam."Atau saya akan ambil anak itu!" lanjut wanita itu, yang membuat seluruh tubuhku merasa dingin.Kakiku terasa lemas. Bagaimana bisa Papa terlibat dalam semua ini? Bagaimana dia bisa tega mengorbankan anak-anaknya? Bahkan, sekarang aku menjadi sasarannya. Tiba-tiba, semua terasa seperti mi