Seharusnya kedatanganku hari ini untuk mengejutkan mereka, tapi kenapa aku yang mendapat kejutan? Jenazah siapa yang ada di dalam ambulan?
"Zara," kini Papa sudah ada di hadapanku.
"Mama, siapa yang meninggal?" tanyaku, penuh kebingungan dan kekhawatiran.
"Kamu ngapain pulang?" Papa bertanya balik, suaranya penuh kejutan.
"Mama, siapa yang meninggal?" aku semakin panik.
"Jawab dulu pertanyaan Papa! Kok kamu bisa di sini?" Papa bertanya keras, tapi aku bisa merasakan kekhawatirannya.
"Aku pengen pulang, Papa. Pengen ketemu Mama. Pengen peluk Sandy. Pengen lihat Papa juga," jawabku dengan emosional.
Tiba-tiba, Papa tertunduk lesu. Tangannya meraih pundakku, lalu memelukku dengan erat. "Mama, jenazah siapa yang ada di dalam ambulan?" bisikku, hampir tak sanggup menahan rasa takut. "Apa itu Sandy?"
Papa melepaskan pelukannya, menggenggam tanganku dengan lembut. Perlahan, ia menuntunku ke ambulan. Kini aku sudah berdiri di pintu belakang ambulan, menatap kantung jenazah berwarna hitam yang tergeletak di dalamnya. Tubuhku mulai lemas saat mengamati ukuran kantung jenazah itu.
"Kamu mau peluk untuk terakhir kalinya?" tanya Papa dengan suara yang hampir tak terdengar.
Aku hanya bisa termenung, tak sanggup berkata apa-apa.
"Mas, boleh dibuka sebentar?" perintah Papa pada salah satu petugas ambulan. Petugas itu membuka kantong jenazah dengan perlahan, dan seketika itu juga jantungku seperti terhenti. Di dalam kantung jenazah itu terbaring tubuh Sandy yang sudah terbujur kaku, hanya mengenakan celana pendek yang lusuh.
"Apa itu Sandy?" tanyaku dengan suara gemetar.
Papa mengulangi pertanyaannya dengan lembut, "Kamu mau peluk Sandy untuk terakhir kalinya?"
Aku merasa pusing, tubuhku kehilangan tenaga, dan pandanganku mulai gelap. Tanpa bisa mengendalikan diri, aku terjatuh dan pingsan.
"Sandy!" teriakku keras-keras, sebelum akhirnya kesadaranku hilang.
***
"Yang sabar, Zara," ucap Bi Ikah yang duduk di ujung tempat tidurku. Aku terbangun dengan napas terengah-engah, tubuhku gemetar. Tangisan yang tak terbendung mengalir begitu saja, dipenuhi dengan penyesalan yang mendalam.
"Zara, minum dulu." Bi Ikah menawarkan segelas teh hangat.
"Kenapa harus Sandy, Bi?" aku terisak, rasanya seperti dunia ini terlalu berat untuk dipikul.
"Sudah jalannya, Zara," jawab Bi Ikah dengan lembut.
"Kenapa harus Zara yang kehilangan dua adik dalam waktu lima bulan?" aku mengeluh, tidak bisa menerima kenyataan yang begitu pahit.
"Zara harus sabar," Bi Ikah mencoba menenangkan.
"Minum tehnya dulu, Zara," Bi Ikah kembali menawarkan. Aku meneguk sedikit, kemudian menarik napas panjang, mencoba mengendalikan diri.
"Bi, sekarang jenazah Sandy ada di mana?" tanyaku pelan, meskipun aku sudah tahu jawabannya.
"Tadi Papa bilang, jenazah Sandy ada di rumah duka dekat rumah sakit Bayu Asih. Mau ke sana, Zara?" jawab Bi Ikah.
Aku mengangguk pelan, tubuhku terasa begitu lelah.
"Zara siap-siap dulu, ganti baju atau mandi. Bi nanti minta Rey pulang dulu," kata Bi Ikah, sebelum berjalan keluar kamar.
"Iya, Bi. Zara lupa, kopernya masih ada di taksi," kataku.
"Sudah Bi pindahkan, Zara. Itu ada di samping kasur," jawab Bi Ikah sambil menunjuk koper kecil di samping tempat tidurku. Lalu ia menutup pintu kamar dengan perlahan.
Aku bangkit, mengambil koper yang berisi pakaian. Kamarku masih terlihat bersih dan terawat, seperti biasa. Selama setahun lebih, Bi Ikah benar-benar menjaga semuanya dengan penuh perhatian. Aku menghela napas, kemudian berjalan menuju lemari pakaian. Pakaian-pakaian lama masih tertata rapi. Aku mencari pakaian berwarna hitam—aku harus mengenakan pakaian yang layak untuk berduka. Aku menemukannya, lalu bergegas pergi ke kamar mandi.
Setelah mandi dan bersiap-siap, aku keluar dari kamar. Rumah ini terasa agak gelap, beberapa lampu memang sengaja dimatikan. Saat melangkah menuju ruang tengah, mataku menangkap sesuatu dari sudut pandang. Seorang sosok berdiri di tengah lorong yang mengarah ke dapur, membelakangiku.
"Bi?" panggilku pelan.
"Iya, Zara," sahut Bi Ikah dari ruang tengah.
Aku menoleh cepat ke ruang tengah, tetapi ketika aku melihat lorong, sosok itu sudah tidak ada.
Aku tidak berpikir macam-macam. Mungkin karena kelelahan, aku mulai berhalusinasi. Lalu, aku melanjutkan langkah menuju ruang tengah.
"Bi, tadi ada orang di dapur, siapa itu?" tanyaku, mencoba menghilangkan rasa penasaran.
"Enggak ada siapa-siapa di rumah, Zara," jawab Bi Ikah.
"Oh ya udah, salah lihat berarti," kataku sambil mengangguk.
"Iya, Zara. Mobil sudah datang. Mau pergi sekarang?" tanya Bi Ikah lembut.
"Iya, Bi," jawabku, mencoba menenangkan diri.
Kami berjalan ke luar rumah. Jupri, supir kami, sudah menyambut kami di samping mobil.
***
Sepanjang perjalanan ke rumah duka, aku terus menyeka air mata yang tak henti-hentinya mengalir. Bayangan Sandy, adik kecilku yang kini telah pergi, terus menghantui pikiranku. Sesampainya di rumah duka, aku melihat banyak orang berkumpul—keluarga besar dan teman-teman sekolah Sandy. Kehadiranku membuat beberapa dari mereka terkejut, terutama keluarga besar. Mereka menghampiriku, berusaha menguatkan, sementara beberapa di antaranya mempertanyakan ketidakhadiranku saat Marcell meninggal.
Aku ingin sekali menjelaskan alasannya, tapi aku menahan diri. Ini bukan waktu yang tepat untuk berdebat. Apa mereka tidak berpikir? Kakak mana yang tidak ingin menemani adiknya di saat-saat terakhir? Sampai detik ini, penyesalan itu tetap menghantuiku.
Setelah melewati berbagai ucapan belasungkawa, aku akhirnya berdiri di depan peti mati Sandy. Peti mati yang indah berwarna biru langit, seperti warna kesukaannya. Aku mendekat, menatap wajahnya untuk terakhir kalinya. Sandy tampak tampan, mengenakan setelan jas biru muda yang semakin membuatnya terlihat menawan.
"Sandy, maafin kakak," bisikku sambil memeluk peti matinya. "Kakak sayang Sandy. Sandy yang tenang ya di surga."
Setelah prosesi doa oleh pendeta, jenazah Sandy dibawa ke pemakaman keluarga—tempat Marcell berbaring selamanya. Aku pun ikut serta, mengikuti semua prosesi pemakaman, dan berkunjung ke makam Marcell. "Jaga Sandy di surga ya, Dek," batinku, kemudian berjalan keluar dari area pemakaman.
Di perjalanan pulang, aku lebih banyak melamun. Memikirkan reaksi Mama ketika ia bangun nanti. Bagaimana dia harus menghadapi kenyataan bahwa dua buah hatinya telah pergi.
Sesampainya di rumah, aku langsung masuk ke kamar. Hanya Bi Ikah yang kuizinkan masuk untuk mengantarkan makan malam. Papa? Aku masih kesal padanya.
Aku berbaring, menangis sambil menatap beberapa foto keluarga yang ada di kamar. Siapa sangka, dua tahun lalu kami masih terlihat bahagia, liburan bersama. Sekarang, hanya tinggal aku, Papa, dan Mama yang masih terbaring di rumah sakit.
Mata mulai terasa berat. Namun, sebelum aku benar-benar tertidur, aku melihat ada bayangan hitam berdiri di belakangku—terpantul di kaca lemari yang ada di hadapanku. Dengan cepat aku membalikkan tubuh, tetapi bayangan itu menghilang.
"Udah waktunya tidur," batinku, sambil memeriksa jam di ponselku yang menunjukkan pukul 11 malam. Lalu aku menutup mata, dan tak lama kemudian, aku tertidur.
***
Zara!
Zara!
Sayup-sayup terdengar seseorang memanggilku dari luar kamar. Aku bangkit dari tempat tidur, berjalan menuju suara itu.
Zara!
Arah suara itu berasal dari dapur. Kulangkahkan kaki menuju dapur, melewati lorong yang gelap gulita.
Zara!
Mataku tertuju pada sosok yang sedang berdiri di dapur, membelakangiku.
"Zara!" ucap sosok itu lirih.
Aku baru tersadar bahwa suaranya mirip sekali dengan...
"Marcell?" tanyaku, terkejut. Sosok itu perlahan membalikkan tubuhnya.
"Marcell, bukannya kamu sudah...?" tanyaku dengan suara tercekat. Sosok itu perlahan membalikkan tubuhnya, wajah yang dulu sangat kukenal mulai terlihat samar-samar dalam cahaya remang. Mataku seakan tak bisa mempercayai apa yang kulihat.
"Zara, kenapa... kenapa kamu enggak datang?" suara Marcell terdengar lirih, seperti bisikan yang datang dari dunia yang jauh.
Aku mundur selangkah, jantungku berdegup kencang. "Tapi... kamu sudah... kamu sudah meninggal, Marcell. Aku..." aku tak bisa melanjutkan kalimatku, bibirku kaku, kata-kata seperti tercekat di tenggorokan.
Marcell tersenyum, tapi senyumnya terlihat begitu pahit, begitu jauh. "Zara, aku... aku enggak bisa pergi. Aku enggak bisa tenang kalau kamu masih seperti ini." Dia mengangkat tangan, seolah ingin menyentuhku, namun tubuhnya tetap jauh, bagaikan bayangan yang sulit dijangkau.
Aku terdiam, mataku terbuka lebar, bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Apakah aku sedang berhalusinasi? Apakah ini hanya mimpi yang sangat nyata? "Marcell, kamu... kamu bukan dia. Kamu enggak bisa jadi dia. Marcell sudah... sudah meninggal." Suaraku nyaris tak terdengar, namun aku tahu dia mendengarnya.
"Zara, kenapa kamu harus menyiksa diri sendiri seperti ini? Kami semua... kami semua ingin kamu bahagia. Kami enggak bisa beristirahat tenang kalau kamu terus merana seperti ini," kata Marcell lagi, suaranya semakin memudar.
"Jangan! Jangan tinggalkan aku!" aku berteriak, hampir terisak, tapi saat aku berusaha mendekat, sosok itu perlahan menghilang, seperti kabut yang tertiup angin. Aku berdiri di tempat, tubuhku terasa kaku dan dingin. Tidak mungkin. Tidak mungkin ini terjadi. Marcell... Marcell tidak mungkin muncul begitu saja.
Aku melangkah mundur dengan hati yang berdebar kencang. Pintu dapur di depanku semakin menjauh, dan lorong yang gelap semakin terasa mengerikan. Aku berlari, kaki-kakiku seakan tak mampu menggerakkan tubuh ini lebih cepat. Sepertinya lorong ini tak ada ujungnya, seperti sebuah ruang tak berkesudahan yang terus menyedotku semakin dalam.
"Ada apa, Zara? Kenapa kamu lari?" Suara Bi Ikah terdengar di belakangku, dan aku menoleh dengan cepat.
Namun, di belakangku, bukan Bi Ikah yang kulihat. Melainkan sosok yang jauh lebih familiar, yang sangat aku kenal.
"Sandy?" aku berguman tak percaya, memandang sosok adikku yang sudah tiada.
Sandy tersenyum, wajahnya tampak lembut dan penuh kasih sayang. "Kak, kenapa kamu selalu kayak gini? Kamu harus bangkit, Kak. Aku... aku enggak mau kamu terus begini." Suaranya penuh dengan kehangatan yang membuat hatiku semakin teriris.
"Aku enggak kuat, Sandy... aku enggak bisa kehilangan kamu juga." Aku terisak, jatuh berlutut di tengah lorong yang terasa semakin panjang. Semua rasa sakit yang sudah terkubur dalam hatiku tiba-tiba meledak begitu saja. Aku merasa terperangkap dalam kenangan yang tak bisa kulepaskan.
Sandy menatapku dengan mata yang penuh pengertian. "Kak, kami semua cuma mau kamu bahagia. Kamu harus kuat. Kalau kamu terus terpuruk, kami enggak akan tenang di sana. Mama juga pasti ingin kamu bangkit."
Aku terdiam, air mataku terus mengalir tanpa bisa kubendung. "Tapi aku enggak tahu bagaimana lagi... aku enggak bisa hidup tanpa kalian berdua. Tanpa Marcell, tanpa Sandy... Rasanya dunia ini kosong."
Sandy melangkah maju, mengulurkan tangannya. "Kak, kalau kamu enggak bisa berdiri untuk diri sendiri, coba berdiri untuk Mama dan Papa. Mereka butuh kamu. Kami semua butuh kamu, Kak."
Aku menatap tangan Sandy yang terulur. Dengan perlahan, aku menggenggamnya, meskipun aku tahu bahwa tangannya tidak benar-benar ada. Itu hanya bayangan—bayangan yang aku ciptakan dalam pikiranku. Tapi rasanya, aku merasa lebih kuat.
"Sandy... aku akan mencoba, aku janji," bisikku, berharap kata-kataku bisa sampai kepadanya, meski aku tahu ia tak benar-benar bisa mendengarnya.
"Terima kasih, Kak," jawab Sandy dengan senyum lembut. Kemudian, ia mulai menghilang, semakin jauh, seperti sebuah embusan angin yang tak terlihat lagi.
Aku berdiri, tubuhku terasa lebih ringan, meskipun rasa sakit itu tetap ada, aku tahu kini aku harus berusaha lebih kuat. Aku tidak bisa membiarkan kenangan itu menghantuiku selamanya. Aku harus menghadapi kenyataan, untuk Sandy, untuk Marcell, dan untuk Mama serta Papa.
Aku berbalik, menatap lorong yang kini terasa lebih terang, seperti jalan baru yang terbuka. Tanpa sadar, aku melangkah keluar dari dapur dan menuju ruang tengah.
Bi Ikah melihatku dengan mata khawatir. "Zara, kamu baik-baik saja?"
Aku mengangguk pelan, meski hatiku masih terasa berat. "Iya, Bi. Aku... aku baik-baik saja." Aku mencoba tersenyum, meskipun itu terasa sangat dipaksakan.
"Tapi, Zara..." Bi Ikah ragu, "Kamu baru saja terlihat seperti... seperti orang yang hilang."
Aku menghela napas panjang. "Aku... aku hanya butuh waktu, Bi. Butuh waktu untuk sembuh."
Bi Ikah tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya menatapku, kemudian dengan lembut, ia berkata, "Kalau kamu butuh apa-apa, aku di sini."
Aku tersenyum kecil, berterima kasih pada Bi Ikah, meskipun aku tahu aku harus menempuh perjalanan ini sendirian. Aku harus belajar menerima kenyataan, bahwa hidup harus terus berjalan meskipun terkadang rasanya terlalu sulit untuk diterima.
Langkah pertama sudah kuambil. Sekarang, aku hanya perlu melanjutkan perjalanan ini.
BERSAMBUNG
Sejam berlalu dengan hening, kami hanya duduk diam di dalam kamar, memproses segala yang baru saja terjadi. Keheningan ini hanya dipecahkan oleh suara pintu yang tiba-tiba terbuka."Kriet!" Pintu bergerak, dan seorang perawat masuk untuk memeriksa kondisi Mama. Kami segera menoleh ke arah pintu.“Zara, kamu tidak mau keluar cari sarapan?” tanya Mama, sambil melirikku saat perawat sedang memeriksanya.“Iya, Bun. Sebentar,” jawabku sambil melirik ke arah Andre, yang masih tenggelam dalam pandangannya pada ponsel."Udah aman," bisik Tante Vira, memberi isyarat bahwa situasi sudah terkendali.Aku kemudian bangkit, menarik tangan Andre yang masih terbuai dengan layar ponselnya. Dengan langkah ragu, aku melangkah keluar kamar.Kami memilih untuk membeli sarapan di sekitar rumah sakit, tidak ingin pergi terlalu jauh. Tubuhku memang sangat lelah, dan kurang tidur membuat langkahku semakin berat.Setelah sarapan, kami m
Aku berdiri di dekat pintu kamar rumah sakit, menatap ke arah tempat tidur tempat Mama berbaring. Mataku penuh haru, seolah tak percaya bahwa Mama akhirnya sadar setelah sekian lama koma. Aku merasa gugup, hatiku dipenuhi banyak perasaan yang sulit dijelaskan."Mama!" Aku memanggilnya pelan, sedikit gemetar. Langkahku menuju ranjang Mama semakin mendekat."Zara..." Suara Mama terdengar lembut, namun penuh kesedihan. Matanya yang sembab menunjukkan betapa lelah dan terlukanya hati seorang ibu."Apa yang terjadi, Bun? Kenapa Mama bisa begini?" Tanyaku, mencoba untuk mencari jawaban atas semua yang sudah terjadi. Air mata mulai menggenang di pelupuk mataku."Kenapa kamu enggak bilang kalau Marcell dan Sandy sudah meninggal?" Mama akhirnya bertanya, suaranya terputus-putus. Ia tampak begitu terpukul dengan kenyataan yang harus diterimanya."Maafkan Zara, Mama," jawabku dengan suara yang hampir pecah. Aku menggenggam tangan Mama, merasakan
Mataku terasa berat, saat mendengar kabar tentang kepergian Papa. Meskipun dia telah melakukan hal-hal yang tak termaafkan, dia tetaplah orang tua kandungku. Tidak mudah untuk mengabaikan rasa itu begitu saja."Zara, kamu di mana sekarang?" suara Om Har terdengar penuh kecemasan dari ujung telepon."Zara udah pulang ke Jerman, Om," jawabku sambil berusaha menahan suara yang mulai serak."Jangan bohong, Zara," jawab Om Har dengan nada yang tegas. "Tadi pagi Papa telepon, dia tanya kamu ada di rumah Om. Berarti kamu masih ada di Indonesia, kan?"Aku terdiam. Menghadapi kenyataan ini begitu sulit. Tidak tahu apa yang harus aku katakan."Zara, kamu kenapa sih? Sebenernya kamu ada masalah apa sama Papa?" Om Har kembali bertanya, seolah merasa ada sesuatu yang tak beres."Enggak ada masalah apa-apa, Om," jawabku, meskipun dalam hatiku ada banyak hal yang ingin kuungkapkan.Om Har mendengus pelan. "Zara, bohong lagi. Om tahu ada yang kamu se
Kereta yang aku tumpangi akhirnya sampai di Stasiun Yogyakarta tepat pukul lima sore. Dengan cepat, aku keluar dari gerbong dan langsung mencari transportasi yang bisa membawaku ke rumah Tante Vira. Berdasarkan alamat yang Mama berikan, rumah Tante Vira tak terlalu jauh dari stasiun.Tak lama setelah aku melangkah keluar stasiun, sebuah taksi melintas di depanku. Aku segera melambaikan tangan, menghentikan taksi tersebut. Setelah itu, aku memberitahu alamat yang hendak dituju. Sang sopir pun mengangguk dan segera menyalakan mesin taksi.Di dalam taksi, aku hanya duduk dengan tenang dan memandang pemandangan sekitar. Aku menikmati suasana Jogja yang mulai senja, udara yang terasa segar, dan kedamaian yang hadir setelah dua minggu penuh kecemasan dan ketegangan. Rasanya, sudah lama sekali aku tidak merasa seutuh ini—tenang dan bebas.Setelah beberapa menit berkendara, taksi mulai memasuki kawasan perumahan dengan rumah-rumah bergaya minimalis. Aku menatap se
Aku merasakan tubuhku dihantam keras ke tanah. Rasanya seperti terjatuh dari ketinggian yang luar biasa. Nafasku sesak, dadaku terasa panas dan berdetak keras, namun aku tetap bertahan. Perlahan aku membuka mata. Sesosok wajah yang aku kenal muncul di hadapanku, wajah yang selama ini menjadi simbol perlindunganku, yang seharusnya menjadi tempatku bersandar. Wajah itu adalah Papa."Zara, sayang," Papa memanggil dengan lembut, mencoba mendekatiku. Namun saat mataku menatapnya, amarahku kembali membara. Selama ini, dia lah yang menjadi sumber penderitaanku dan keluargaku. Dia yang menyebabkan kematian Marcell, Sandy, dan Mbok Ikah. Dia juga yang membuat Mama terbaring tak sadar."Papa!" aku berteriak, merasa sakit hati yang dalam. Rasanya aku ingin marah dan mengungkapkan semua kekesalanku, tapi kata-kata itu hanya keluar dalam isakan. "Papa jahat!" teriakku lagi, mendorong tubuhnya yang berdiri di dekatku. Aku tidak ingin ada yang menyentuhku, apalagi seorang pembunuh.
Aku berlari mendekati kamar Papa, jantungku berdebar kencang. Namun, langkahku terhenti tepat di depan pintu kamar. Dari dalam kamar terdengar suara Papa sedang berbicara dengan seseorang, namun kata-katanya terdengar tegang, seperti ada ketegangan yang begitu kuat."Apa yang kamu mau di sini?" suara Papa terdengar keras, menahan amarah."Saya ingin tahu janjimu!" jawab suara seorang wanita dengan nada tinggi dan penuh desakan."Saya sudah bilang, sabar!" Papa membalas dengan nada suara yang semakin meninggi."Waktunya sudah semakin dekat. Kamu masih harus cari dua tumbal lagi!" wanita itu berbicara dengan nada yang semakin tinggi, hampir seperti mengancam."Atau saya akan ambil anak itu!" lanjut wanita itu, yang membuat seluruh tubuhku merasa dingin.Kakiku terasa lemas. Bagaimana bisa Papa terlibat dalam semua ini? Bagaimana dia bisa tega mengorbankan anak-anaknya? Bahkan, sekarang aku menjadi sasarannya. Tiba-tiba, semua terasa seperti mi