Accueil / Horor / mungkin esok aku mati / Bab 7. Teror yang Menimpa Adikku

Share

Bab 7. Teror yang Menimpa Adikku

Auteur: erlee story
last update Dernière mise à jour: 2025-01-22 22:17:57

Sejak kecil, aku tidak pernah terlalu percaya dengan hal-hal berbau mistis. Meskipun kami tinggal di ujung timur Pulau Jawa, daerah yang terkenal dengan aura mistisnya, segala cerita tentang hantu, kutukan, atau roh-roh gentayangan hanyalah mitos di pikiranku. Tapi, baru sehari kembali ke rumah ini, aku sudah mengalami banyak kejadian aneh yang sulit dijelaskan dengan logika.

Pikiranku terus mengulang-ulang kejadian tadi pagi, saat aku tidak bisa membuka pintu kamar Marcell. Padahal sebelumnya aku jelas-jelas masuk ke sana dan tidak ada tanda-tanda keanehan. Ketika mencoba menarik kenop pintu lagi, tetap saja terkunci rapat, seperti ada sesuatu yang sengaja menahannya dari dalam. Aku masih berdiri terpaku di depan pintu, mencoba mencerna apa yang sebenarnya terjadi. "Siapa yang tadi membuka pintunya?" pikirku, merasa ada yang tidak beres. Punggungku mulai dingin oleh rasa takut yang merayap perlahan. "Mungkin aku cuma terlalu capek," gumamku mencoba menghibur diri, meskipun firasat aneh terus menghantui. Aku menggigit bibir, merasa ada sesuatu yang salah di rumah ini. Namun, logikaku terus berusaha menyangkal, mencari alasan yang masuk akal untuk setiap kejadian aneh yang mulai terungkap sejak aku kembali.

""Mbok, sarapannya ada di kamar aku, ya?" tanyaku kepada Mbok Ikah, yang masih berdiri di dekat pintu kamar Sandy.

"Iya, Non. Udah Mbok simpen di kamar," jawabnya.

"Ya udah, ceritanya lanjut di kamarku aja, Mbok. Aku juga penasaran sama lanjutan cerita soal Sandy," ajakku dengan nada setengah mendesak.

"Baik, Non. Nanti Mbok nyusul," jawabnya sambil tersenyum kecil, meskipun matanya menunjukkan keraguan. Dia kembali menutup pintu kamar Sandy perlahan, seolah takut membuat suara bising.

Aku memperhatikan gerak-gerik Mbok Ikah sebelum kembali ke kamarku sendiri. Ada sesuatu dalam ekspresinya yang sulit aku pahami, seperti dia menyimpan sesuatu yang tidak ingin diceritakan sepenuhnya. Namun, aku memutuskan untuk tidak memikirkannya lebih jauh dulu.

Aku kembali ke kamar dengan langkah yang sedikit ragu. Di kepala ini, pikiran-pikiran aneh mulai memenuhi ruang. Rasa lelah setelah perjalanan panjang dari Georgia ke Indonesia, bercampur dengan kejadian-kejadian misterius yang baru aku alami, membuat tubuh dan pikiranku terasa berat.

Sekitar lima belas menit kemudian, Mbok Ikah masuk ke kamarku dengan membawa secangkir teh hangat. Aku duduk di pinggir tempat tidur, memberi isyarat kepadanya untuk duduk di sebelahku.

"Tadi ceritanya sampai mana, Mbok?" tanyaku setelah menyeruput teh yang dibawanya.

"Suara benda jatuh di kamar Den Marcell," jawabnya, mengingatkan.

Aku mengangguk pelan, memberi isyarat kepada Mbok Ikah untuk melanjutkan. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya bicara dengan nada yang pelan, seolah takut ada yang mendengarkan. "Non Zara, sejak kepergian Den Marcell, banyak hal aneh yang terjadi. Salah satunya, Den Sandy sering mengeluh mendengar suara benda jatuh dari kamar Den Marcell. Padahal kamar itu selalu terkunci sejak Den Marcell meninggal," ungkapnya.

"Maksud Mbok, suara benda jatuh? Apa nggak mungkin suara dari luar rumah?" tanyaku, mencoba mencari penjelasan logis.

"Nggak, Non. Soalnya suara itu jelas dari dalam kamar. Seperti suara buku jatuh dari meja atau kursi yang terseret pelan. Kadang-kadang, Mbok juga dengar suara itu pas lagi nyapu di dekat situ. Tapi Mbok pikir, mungkin cuma perasaan," jawabnya sambil memandangku dengan raut wajah penuh ketakutan.

"Kenapa Mbok nggak pernah cerita ke Papa atau Mama?" tanyaku lagi.

"Siapa yang mau percaya, Non? Lagipula, Mbok nggak mau bikin suasana makin tegang. Waktu itu, Non kan juga nggak di rumah. Mbok pikir, biar aja semuanya berlalu," katanya lirih, menundukkan kepala seolah menyesal.

Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna ceritanya. "Terus, Sandy pernah bilang apa lagi soal suara-suara itu?"

Mbok Ikah menggigit bibirnya, ragu untuk melanjutkan. "Den Sandy bilang, kadang dia merasa ada yang memperhatikannya dari jendela kamar Den Marcell. Dia bilang, ada bayangan hitam berdiri di sana. Mbok juga pernah lihat sekali, Non, tapi Mbok pikir itu cuma ilusi," katanya dengan suara bergetar.

Aku bergidik mendengar cerita itu. "Bayangan hitam? Mbok yakin itu bukan orang?" tanyaku, meski suara mulai bergetar.

"Nggak tahu, Non. Soalnya pas Mbok dekati, bayangan itu hilang. Tapi yang jelas, Den Sandy nggak pernah bohong soal apa yang dia rasain."

" Sandy juga sering bermimpi buruk, Non," lanjut Mbok Ikah.

"Mimpi apa, Mbok?" tanyaku penasaran.

"Katanya, dia sering dikejar ular besar berwarna hitam. Ular yang dia gambar di bukunya itu," jawabnya sambil menghela napas panjang.

Aku terdiam. Sekilas, ingatanku kembali ke gambar-gambar aneh di buku sketsa Sandy. Terutama gambar wanita berambut panjang yang tidak aku kenali.

"Mbok, Sandy pernah cerita tentang wanita di gambar itu?" tanyaku, mencoba menghubungkan semua petunjuk yang ada.

Mbok Ikah mengangguk pelan. "Iya, Non. Dia bilang wanita itu sering muncul dalam mimpinya. Kadang-kadang, Sandy merasa wanita itu benar-benar ada di rumah ini."

"Maksudnya?"

Mbok Ikah menggenggam kedua tangannya erat-erat, seolah berusaha mengumpulkan keberanian untuk menjawab. "Den Sandy pernah bilang, wanita itu selalu mengikutinya. Bahkan dia merasa wanita itu ada di mana-mana, melihat setiap gerak-geriknya.

Aku bergidik mendengar penjelasan Mbok Ikah. Pikiranku mulai dipenuhi bayangan-bayangan yang tidak masuk akal. Apa mungkin wanita dalam gambar Sandy itu adalah makhluk gaib? Apa hubungannya dengan ular hitam dalam mimpi Sandy?

Mbok Ikah melanjutkan ceritanya. Beberapa minggu sebelum Sandy meninggal, sikapnya semakin aneh. Dia sering mengunci diri di kamar, bersembunyi di dalam lemari, atau bahkan di kolong tempat tidur. Tengah malam, dia sering berteriak histeris, memanggil Mbok Ikah untuk menemaninya tidur.

"Dia bilang ada ular di kasurnya, Non," kata Mbok Ikah.

Aku memiringkan kepala, bingung. "Ular beneran, Mbok?"

"Mbok juga nggak tahu, Non. Soalnya setiap kali dicari, nggak pernah ada ular di sana," jelasnya. "Bapak sama Salim juga pernah bantu cari, tapi hasilnya sama aja."

Aku menarik napas panjang. Tidak mudah bagiku menerima cerita ini. Namun, melihat ekspresi serius Mbok Ikah, aku tahu dia tidak sedang mengarang.

"Terus, Mbok, kenapa Sandy bisa meninggal? Apa hubungannya sama semua ini?" tanyaku.

Mbok Ikah menunduk, menahan tangis yang mulai menggenang di matanya. "Non Zara... Mbok rasa ini semua salah Mbok. Seandainya waktu itu Mbok nggak ninggalin Den Sandy sendirian, mungkin dia masih hidup sekarang."

"Maksud Mbok?" tanyaku bingung.

Mbok Ikah mulai bercerita tentang hari terakhir Sandy. Pagi itu, Mbok Ikah tidak menemukan Sandy di kamarnya. Setelah mencari di seluruh rumah, dia menemukannya sedang duduk di pinggir kolam renang. Sandy hanya menatap kosong ke permukaan air tanpa berkata apa-apa.

Ketika Mbok Ikah mendekatinya, dia mencoba bertanya dengan lembut, "Den Sandy, kok pagi-pagi udah di sini?" Namun, Sandy hanya menjawab pelan, "Aku cuma mau lihat air, Mbok." Jawabannya membuat Mbok Ikah bingung sekaligus khawatir.

Mbok Ikah melanjutkan, "Saya tanya lagi, apa Den Sandy sudah sarapan? Tapi dia malah bilang pengen berenang. Saya langsung larang, Non, karena air kolam itu sudah kotor banget. Sudah lama nggak dipakai. Tapi Den Sandy malah senyum sambil bilang, 'Cuma sebentar aja, Mbok.'"

"Terus, Mbok Ikah nggak sempat panggil Bapak atau siapa gitu buat ngecek Sandy?" tanyaku, penasaran sekaligus khawatir.

"Waktu itu Mbok pikir dia cuma bercanda. Soalnya setelah itu, dia tiba-tiba nyuruh Mbok bikinin nasi goreng," lanjut Mbok Ikah sambil menundukkan kepala. "Mbok kira dia udah baikan. Jadi Mbok turutin aja. Tapi... ternyata Mbok salah." Suaranya mulai bergetar.

"Salah gimana, Mbok?" tanyaku pelan, mencoba menyemangatinya untuk melanjutkan cerita.

"Pas Mbok balik ke kolam, Den Sandy udah nggak ada di tempatnya tadi. Mbok cari-cari di sekitar, nggak ada. Permukaan air kolam keruh banget, Non, jadi Mbok nggak bisa lihat ke dalamnya. Panik, Mbok langsung lari manggil Bapak," ceritanya sambil sesekali menyeka air mata.

"Terus, apa yang terjadi waktu Bapak datang?" tanyaku, meskipun aku sudah bisa menebak jawabannya.

"Bapak langsung suruh Salim ambil pompa buat nguras air kolam. Pas airnya mulai surut, kami temukan tubuh Den Sandy di dasar kolam. Dia... dia udah nggak bernyawa, Non." Suara Mbok Ikah pecah, dan dia mulai menangis sesenggukan.

Aku menggigit bibir, menahan rasa sakit di dada yang mulai menyeruak. "Mbok... Mbok nggak salah. Jangan nyalahin diri sendiri," ujarku, mencoba menguatkan Mbok Ikah meskipun aku sendiri merasa bersalah. Jika aku ada di rumah saat itu, mungkin semuanya akan berbeda.

Papa bergegas menguras kolam renang. Ketika air mulai surut, tubuh Sandy ditemukan terbaring di dasar kolam. Dia sudah tidak bernyawa.

Aku menutup mulut, mencoba menahan isak tangis yang tiba-tiba memenuhi ruangan. Rasa bersalah membanjiri hatiku. Jika saja aku tidak sibuk dengan urusanku sendiri, mungkin aku bisa membantu Sandy.

Mbok Ikah bangkit, mengambil gelas dan piring kosong di meja nakas. "Mbok mau bersih-bersih dulu, Non," katanya sebelum keluar dari kamar.

Aku masih terduduk di tempat tidur, mencoba mencerna semua yang baru saja kudengar. Ada terlalu banyak pertanyaan yang belum terjawab. Siapa wanita berambut panjang itu? Apa hubungannya dengan ular hitam? Dan, yang paling penting, ada apa dengan rumah ini?

Tiba-tiba, bulu kudukku meremang. Aku merasa seperti sedang diawasi. Namun, tidak ada siapa-siapa di kamar ini. Aku membaringkan tubuh, mencoba mengusir rasa takut yang perlahan menyelimuti.

Dalam hati, aku bersumpah akan menemukan jawabannya. Aku tidak akan membiarkan Sandy dan Marcell menjadi korban terakhir. Tetapi, di mana aku harus memulai? Pertanyaan itu terus menghantui pikiranku.

Tiba-tiba, suara ketukan pelan terdengar dari jendela kamarku. Aku terlonjak kaget, menoleh dengan cepat. Namun, ketika kudekati, tidak ada apa-apa di sana. Hanya bayangan malam yang gelap dan suara angin yang berhembus lembut. "Mungkin cuma angin," gumamku, mencoba mengusir rasa takut.

Namun, ketika aku berbalik, aku merasakan sesuatu. Sebuah kehadiran. Aku berhenti, berdiri mematung di tengah kamar. Suasana terasa begitu sunyi, hingga suara detak jarum jam terdengar jelas di telingaku. Aku berusaha menarik napas panjang untuk menenangkan diri.

"Non Zara..." suara serak itu terdengar samar, nyaris seperti bisikan. Aku membeku. Suara itu berasal dari arah pintu kamar Marcell. Tanpa sadar, kakiku melangkah pelan menuju pintu. Ketika tanganku menyentuh gagang pintu, suara itu menghilang begitu saja.

Aku menggigit bibir, jantungku berdetak kencang. Dalam hati, aku bertanya-tanya, apakah semua ini hanya imajinasiku? Atau mungkin ini pertanda bahwa jawaban yang kucari ada di balik pintu itu? Dengan tangan gemetar, aku memutar gagang pintu perlahan. Di saat itulah, firasat aneh menguasaiku, seolah ada sesuatu yang menunggu di balik sana.

Aku tidak tahu apa yang akan kutemukan, tapi aku yakin satu hal: ini baru permulaan dari misteri yang lebih besar.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • mungkin esok aku mati   Bab 25. Tumbal Terakhir

    Sejam berlalu dengan hening, kami hanya duduk diam di dalam kamar, memproses segala yang baru saja terjadi. Keheningan ini hanya dipecahkan oleh suara pintu yang tiba-tiba terbuka."Kriet!" Pintu bergerak, dan seorang perawat masuk untuk memeriksa kondisi Mama. Kami segera menoleh ke arah pintu.“Zara, kamu tidak mau keluar cari sarapan?” tanya Mama, sambil melirikku saat perawat sedang memeriksanya.“Iya, Bun. Sebentar,” jawabku sambil melirik ke arah Andre, yang masih tenggelam dalam pandangannya pada ponsel."Udah aman," bisik Tante Vira, memberi isyarat bahwa situasi sudah terkendali.Aku kemudian bangkit, menarik tangan Andre yang masih terbuai dengan layar ponselnya. Dengan langkah ragu, aku melangkah keluar kamar.Kami memilih untuk membeli sarapan di sekitar rumah sakit, tidak ingin pergi terlalu jauh. Tubuhku memang sangat lelah, dan kurang tidur membuat langkahku semakin berat.Setelah sarapan, kami m

  • mungkin esok aku mati   Bab 24. Teror itu sudah datang

    Aku berdiri di dekat pintu kamar rumah sakit, menatap ke arah tempat tidur tempat Mama berbaring. Mataku penuh haru, seolah tak percaya bahwa Mama akhirnya sadar setelah sekian lama koma. Aku merasa gugup, hatiku dipenuhi banyak perasaan yang sulit dijelaskan."Mama!" Aku memanggilnya pelan, sedikit gemetar. Langkahku menuju ranjang Mama semakin mendekat."Zara..." Suara Mama terdengar lembut, namun penuh kesedihan. Matanya yang sembab menunjukkan betapa lelah dan terlukanya hati seorang ibu."Apa yang terjadi, Bun? Kenapa Mama bisa begini?" Tanyaku, mencoba untuk mencari jawaban atas semua yang sudah terjadi. Air mata mulai menggenang di pelupuk mataku."Kenapa kamu enggak bilang kalau Marcell dan Sandy sudah meninggal?" Mama akhirnya bertanya, suaranya terputus-putus. Ia tampak begitu terpukul dengan kenyataan yang harus diterimanya."Maafkan Zara, Mama," jawabku dengan suara yang hampir pecah. Aku menggenggam tangan Mama, merasakan

  • mungkin esok aku mati   Bab 23: Menemui Mbah Susno

    Mataku terasa berat, saat mendengar kabar tentang kepergian Papa. Meskipun dia telah melakukan hal-hal yang tak termaafkan, dia tetaplah orang tua kandungku. Tidak mudah untuk mengabaikan rasa itu begitu saja."Zara, kamu di mana sekarang?" suara Om Har terdengar penuh kecemasan dari ujung telepon."Zara udah pulang ke Jerman, Om," jawabku sambil berusaha menahan suara yang mulai serak."Jangan bohong, Zara," jawab Om Har dengan nada yang tegas. "Tadi pagi Papa telepon, dia tanya kamu ada di rumah Om. Berarti kamu masih ada di Indonesia, kan?"Aku terdiam. Menghadapi kenyataan ini begitu sulit. Tidak tahu apa yang harus aku katakan."Zara, kamu kenapa sih? Sebenernya kamu ada masalah apa sama Papa?" Om Har kembali bertanya, seolah merasa ada sesuatu yang tak beres."Enggak ada masalah apa-apa, Om," jawabku, meskipun dalam hatiku ada banyak hal yang ingin kuungkapkan.Om Har mendengus pelan. "Zara, bohong lagi. Om tahu ada yang kamu se

  • mungkin esok aku mati   Bab 22. Kecelakaan

    Kereta yang aku tumpangi akhirnya sampai di Stasiun Yogyakarta tepat pukul lima sore. Dengan cepat, aku keluar dari gerbong dan langsung mencari transportasi yang bisa membawaku ke rumah Tante Vira. Berdasarkan alamat yang Mama berikan, rumah Tante Vira tak terlalu jauh dari stasiun.Tak lama setelah aku melangkah keluar stasiun, sebuah taksi melintas di depanku. Aku segera melambaikan tangan, menghentikan taksi tersebut. Setelah itu, aku memberitahu alamat yang hendak dituju. Sang sopir pun mengangguk dan segera menyalakan mesin taksi.Di dalam taksi, aku hanya duduk dengan tenang dan memandang pemandangan sekitar. Aku menikmati suasana Jogja yang mulai senja, udara yang terasa segar, dan kedamaian yang hadir setelah dua minggu penuh kecemasan dan ketegangan. Rasanya, sudah lama sekali aku tidak merasa seutuh ini—tenang dan bebas.Setelah beberapa menit berkendara, taksi mulai memasuki kawasan perumahan dengan rumah-rumah bergaya minimalis. Aku menatap se

  • mungkin esok aku mati   Bab 21: Tak Disangka

    Aku merasakan tubuhku dihantam keras ke tanah. Rasanya seperti terjatuh dari ketinggian yang luar biasa. Nafasku sesak, dadaku terasa panas dan berdetak keras, namun aku tetap bertahan. Perlahan aku membuka mata. Sesosok wajah yang aku kenal muncul di hadapanku, wajah yang selama ini menjadi simbol perlindunganku, yang seharusnya menjadi tempatku bersandar. Wajah itu adalah Papa."Zara, sayang," Papa memanggil dengan lembut, mencoba mendekatiku. Namun saat mataku menatapnya, amarahku kembali membara. Selama ini, dia lah yang menjadi sumber penderitaanku dan keluargaku. Dia yang menyebabkan kematian Marcell, Sandy, dan Mbok Ikah. Dia juga yang membuat Mama terbaring tak sadar."Papa!" aku berteriak, merasa sakit hati yang dalam. Rasanya aku ingin marah dan mengungkapkan semua kekesalanku, tapi kata-kata itu hanya keluar dalam isakan. "Papa jahat!" teriakku lagi, mendorong tubuhnya yang berdiri di dekatku. Aku tidak ingin ada yang menyentuhku, apalagi seorang pembunuh.

  • mungkin esok aku mati   Bab 20. Terungkap

    Aku berlari mendekati kamar Papa, jantungku berdebar kencang. Namun, langkahku terhenti tepat di depan pintu kamar. Dari dalam kamar terdengar suara Papa sedang berbicara dengan seseorang, namun kata-katanya terdengar tegang, seperti ada ketegangan yang begitu kuat."Apa yang kamu mau di sini?" suara Papa terdengar keras, menahan amarah."Saya ingin tahu janjimu!" jawab suara seorang wanita dengan nada tinggi dan penuh desakan."Saya sudah bilang, sabar!" Papa membalas dengan nada suara yang semakin meninggi."Waktunya sudah semakin dekat. Kamu masih harus cari dua tumbal lagi!" wanita itu berbicara dengan nada yang semakin tinggi, hampir seperti mengancam."Atau saya akan ambil anak itu!" lanjut wanita itu, yang membuat seluruh tubuhku merasa dingin.Kakiku terasa lemas. Bagaimana bisa Papa terlibat dalam semua ini? Bagaimana dia bisa tega mengorbankan anak-anaknya? Bahkan, sekarang aku menjadi sasarannya. Tiba-tiba, semua terasa seperti mi

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status