All Chapters of Bayi Bungkus (Aku Terlahir dengan Mata Batin) (INDONESIA): Chapter 71 - Chapter 80
91 Chapters
Bab 70
 Kenyataan jika teror menyeramkan akan menyerang kami mulai detik ini, membuatku menggigil ketakutan. Kalau itu Sahira atau pun Haqi, rasanya tak ganjil apabila makhluk-makhluk tak kasat mata menyasar mereka. Sahira memiliki indra keenam. Haqi pun sepertinya peka akan hal-hal berbau adikodrati. Lalu, aku? Yang notabene tak memiliki ilmu apapun terkait hal klenik atau pun gaib, mengapa jadi bulan-bulanan mereka.Sahira memperkecil volume suaranya. Mungkin dia takut obrolan tengah malam kami dapat membangunkan yang lain."Kukira tempat ini aman, Fi. Kukira ...," Dia mendongak. Menatapku lekat."Katanya tempat ini aman. Kamu 'kan, yang bilang begitu saat kita sampai?"Sahira mengangguk yakin. "Ya, Fi. Karena pada awalnya itu hanya sebentuk rambut tanpa penghuni. Sayangnya, semakin ke sini, kondisinya semakin nggak terbaca.
Read more
Bab 71
 Setelah menunaikan salat subuh, kami dikumpulkan di depan rumah oleh Subur. Apa tujuannya? Tak ada satu pun dari kami yang tahu. Faris, entah sudah berapa kali dia mengumpat karena kesal. Tidurnya terganggu. Biasanya, setelah salat laki-laki bertubuh tambun itu langganan meminjam kamar perempuan untuk melanjutkan mimpinya yang sempat tertunda. Sedang Rahmad kembaran tak serupa Faris, kelakuannya membuatku dan Sahira----yang kebetulan mengambil barisan di belakangnya---menahan tawa. Dia tertidur sembari berdiri. Tubuhnya bergoyang ke kanan dan ke kiri, persis telur yang berdiri tak seimbang.Tak menyalahkan juga, cuacanya memang cocok di pakai untuk tidur. Mendung dan dingin. Sangking dinginnya gigiku sampai sakit. Oh, bergumul dengan bantal, guling, dan selimut nyatanya menjadi isi otakku satu-satunya."Fi, ada apa, sih ... ada agenda yang aku nggak tahu, ya?"
Read more
Bab 72
 Seorang wanita kisaran usia tiga puluh tahun bersimbah air mata. Rona wajahnya memudar. Semangat hidup seolah tak lagi bersemayam dalam dirinya. Wanita itu menengadah, memandang langit-langit di mana melingkar sebuah tali. Kaki bergetarnya menaiki kursi plastik biru yang sudah tersedia di hadapannya.Perlahan. Namun pasti wanita itu naik. Jemari bergetarnya menguntai tali. Mengalungkannya melewati kepala. Mengetatkannya di area leher. Aku berteriak, memintanya turun. Kakiku mencoba mendekat, tetapi aku seperti terpasak ke bumi.Wanita itu memejamkan mata. Menarik napas dalam, kemudian menendang kursi penahan tubuhnya. Rasa sakit itu kuyakini mulai menyerang. Wajahnya merah pucat. Mulutnya menganga lebar. Pekikan suaranya yang tersendat-sendat, perlahan lenyap bersama napas yang tak lagi bersarang dalam raganya.Aku kehabisan napas, terseng
Read more
Bab 73
 Kejadian itu membuat ketenangan Nabila dan yang lain mengendur. Setelah satu jam, gadis cantik itu pun menghentikan tangisnya, bahkan sudah jauh lebih tenang. Ia bersandar padaku mencari perlindungan. Mencoba meyakinkan diri, selama bersama dia aman.Kami dikepung rasa cemas. Meninggalkan tempat menjadi satu-satunya hal yang tak dilakukan. Diam. Duduk melingkar dan saling pandang. Bermain-main dengan pikiran masing-masing menjadi pengalih perhatian paling tepat. Aku, Sahira, dah Haqi yang pastinya sudah terbiasa dengan kondisi ini, mulai mengkhawatirkan yang lain. Masa KKN masih panjang. Proker baru berjalan. Kami tak mungkin mengeluh pada dosen pendamping terkait kejadian mistis ini. Terlebih lagi pindah lokasi, tak ada opsi itu dalam daftar alternatif lain. Satu-satunya solusi yang bisa terealisikan saat ini, yaitu pindah tempat tidur. Baik aku maupun yang lain pasti tak ingin l
Read more
Bab 74
 Aku bermimpi?Syukurlah ini hanya mimpi. Mimpi yang sejatinya terasa begitu nyata. Aku mendesah. Mengusap dada naik turun. Setelahnya, kembali kupandangi rona wajah Siti yang pucat-lesi."Ti, aku baik-baik saja," tegurku. Dia membisu."Ti, woy!" Kukibaskan telapak tangan ke udara, tepat di depan bola matanya. Siti seolah masuk ke dimensi lain yang tak bisa kuselami. Kesadarannya sedang tidak bersamaku.Kubiarkan sejenak. Kali ini geliat mataku bertemu ruang sepi. Ke mana semua orang? Sirat jendela yang masih tertutup, menggariskan rona putih keperakan. Tegak lurus menyentuh lantai berkeramik  putih tulang. Sudah siang rupanya. Barangkali yang lain telah bergulat dengan proker kerja---walau di tengah ketidak kondusifan keadaan----semua mesti selesai tepat pada waktunya.Kembali kuamati mata Sit
Read more
Bab 75
Bismillah."Ti, padahal kamu itu termasuk pemberani, loh. Tipe-tipe perempuan yang nggak akan menjerit kalau ditakut-takuti.""Lah, kalau demit bohongan, ya, nggak takut. Kalau beneran, aku melempem, Fi."Aku mencoba menahan tawaku. "Ojo, guyu ... ora ono sing lucu. Wes, ayo ... ke rumah Pak Lurah dulu, baru ke puskesmas."Tak ada percakapan lanjutan. Kami tergesah menyusuri jalan desa---yang entah kenapa lebih sepi dari biasannya. Ini sudah siang, tetapi kabut yang turun masih setinggi dada. Berjajar rumah-rumah sempit perkarangan, sebelum akhirnya bertemu satu-satunya rumah dengan pekarangan yang begitu luas. Kediaman Lurah desa.Kaki kami berbelok. Beberapa sendal jepit diletakkan tak beraturan di bawah undakan. Pintu rumah terbuka lebar. Barisan punggung berlapis kain warna-warni  kukenali. Mereka para mahasiswa KKN Universitas *** alias teman-temanku. Jendela rumah ini memang tembus pandang, maka dari itu a
Read more
Bab 76
"Nasib kita bagaimana, Pak? Saya khususnya, sudah nggak mau tinggal di sana. Seperti yang kami inginkan sebelumnya. Tolong, carikan rumah untuk kami bisa tinggal."Dengan wajah tenangnya, Pak Lurah menjawab. Sungguh, pria tua itu memiliki daya tarik sendiri, yang membuatku hatiku teduh saat melihatnya. "Seperti yang sudah, Bapak, janjikan. Bapak akan mencarika tempat tinggal baru untuk adek-adek. Tapi, Bapak mohon, adek -adek bisa sabar. Mencari warga yang mau rumahnya.di tempati itu tidak gampang.""Malam ini ... kami masih harus tidur di sana?" "Betul, Dek Sahira.""Apa nggak ada solusi lain, Pak. Maaf bukan saya lancang." Seketika aku berdiri. "Semakin lama kami tinggal di sana itu sangat berbahaya.""Fi, duduk. Nggak sopan!" sentak Siti pelan."Ora iso, Ti. Iki sudah menyangkut nyawa. Bagaimana kalau hantu sialan itu malah menjadi dan mencelakai kita secara fisik. Lihat itu Faris. Sampai harus dirawat di rumah sakit, k
Read more
Bab 77
"Apakah seperti aku?" Aku menoleh. Sosok yang sebelumnya adalah Sahira, kini telah berganti wujud menjadi wanita dengan muka pucat dan penuh keriput. Keriput tak wajar. Wajahnya hampir tak memiliki daging. Tulang tengkoraknya tercetak jelas.  Aku terdiam. Wanita tua itu tersenyum. Menampilkan deretan gigi hitamya yang seperti arang. Dalam cengkeraman tangannya, pergelangan tanganku perlahan menghangat, dan lama-lama menyengat. Amat panas. Seperti bara api telah ditempelkan ke kulitku. "Nduk, kowe iku aku. Aku iku kowe. Saiki dadi siji." Wanita tua itu mendekat perlahan. Aku terpaku. Terpasak ke bumi. Tak bisa bergerak, sampai akhirnya wanita tua itu mendekapnya.  "Tidak!" aku berteriak,  lantas tergeragap bangun. Ini mimpi. Semua kejadian yang terasa nyata itu hanyalah sebentuk mimpi. Keringatnya mengucur. Jantungku empot-empotan. Dalam ketakutan yang masih terasa, aku mengedarkan pandangan kesekitar. Mendapati Tia dan yang lain
Read more
Bab 78
 B a y i B u n g k u sBab 78Hantu GudangHari ini hari sabtu. Seperti biasanya, jika hari sabtu seluruh dewan guru tetap masuk, tetapi proses belajar mengajar tidak ada. Sekolah libur sabtu dan hari minggu. Sabtu diperuntukan sebagai hari bersih-bersih atau melakukan pekerjaan lain. Seperti hari ini, dewan guru membersihkan area bawa yang sudah dialih fungsikan sebagai kantor. Sebelumnya, area ini kosong. Tak digunakan. Tetapi karena memang sangat dibutuhkan untuk menunjang operasional sekolah. Area bawah dirombak habis -habisan. Sesungguhnya area bawah ataupun atas sama-sama memiliki cerita mistis yang sudah menjadi rahasia umum. Pak Dodi penjaga sekolah. Yang menempati salah satu kamar di bawah sejak sebelum direnovasi menuturkan beberapa kali melihat penampakan yang tak semua orang melihatnya. Sosok besar berbulu kera
Read more
Bab 79
B a y i B u n g k u sBab 79Buang Air PanasTiara hendak memulai prosesi tidur setelah membantu Sri berjualan hingga tengah malam, ketika notif pesan Whatsappnya berdering. Bukan Basri, karena Basri beberapa saat lalu sudah pamit tidur. Malas, Tiara melihat pesan yang tertera dalam aplikasi chatting. Salah satu rekannya di sekolah. Ada hal penting apa sampai rekannya itu mengirim pesan di jam sebelas malam begini? pikir Tiara. Perasaannya mendadak cemas. Adakah tugas tambahan yang harus dikerjakannya di tengah malam, hari ini juga. Tidak! Rasanya mata sudah tak lagi memiliki daya untuk menatap sinar laptop. Pun kepala yang mulai berkunang karena mengantuk. Badan sudah pegal semua---setiap sendinya berteriak meminta direhatkan sejenak. Akan tetapi, mau tak mau Tiara harus membaca pesan itu. Berharap hanya pesan yang tak terlalu penting.
Read more
PREV
1
...
5678910
DMCA.com Protection Status