All Chapters of Bayi Bungkus (Aku Terlahir dengan Mata Batin) (INDONESIA): Chapter 61 - Chapter 70
91 Chapters
Bab 60
             "Maaf, loh ini ... maaf. Kebetulan rumah yang biasa dipakai anak KKN, pemiliknya sedang berduka. Ibu pemiliknya baru meninggal kemarin. Jadi, untuk sementara, sampai menunggu warga yang bersedia, adik-adik ini tidur di balai desa dulu, ya? Kebetulan di sana ada posyandu. Ada dua kamar biasa buat pemeriksaan. Terus di dalam balai desanya juga ada kamar kosong biasanya buat rapat. Lumayan, besar."Entah kenapa, Nabila yang barusan datang dari kamar mandi, langsung duduk dan merapatkan tubuhnya padaku. Sisa air di tangannya tercetak di bajuku."Kenapa, Na?"Pak Lurah, Rahmad, dan Faris langsung diam. Semua orang di ruangan itu, menatap Nabila, menuntut penjelasan. Ek
Read more
Bab 61
            Pukul delapan malam. Aku dan Bu Lurah duduk di teras rumah. Memandang Arif dan Resti, cucu bu lurah yang sedang bermain pasaran. Peneman kami jangkrik serta kicau burung perkutut milik pak lurah--yang berbunyi lumayan konstan. Jalan raya lengang. Hanya beberapa penduduk yang kebetulan ingin ke toko kelontong di samping rumah ini, atau mengecek pengairan di sawah--itu yang mereka katakan ketika bu lurah menyapa, dan menayakan ke mana mereka pergi malam-malam begini.Iseng, aku ikut memainkan mainan milik Resti yang berupa kompor plastik dan penggorengan ukuran mini. Biji mataku tak bisa diam pada satu pandangan saja. Beberapa kali aku mencuri ke sudut di mana sosok lelaki menyeramkan itu muncul. Ya, meski aku tak bisa melihat pohon mangganya. Letaknya di dalam gang yang terhalangi pagar bambu setinggi dada.
Read more
Bab 62
  "Ini bukan sapu ijuk, Dek Faris. Ini itu rambut kuntilanak." Detik selanjutnya yang terjadi, kami saling pandang dengan raut wajah tak percaya.  Benarkah apa yang dikatakan Pak Lurah, ataukah itu hanya cara agar kami tak seenaknya nanti. Agar kami bisa menjaga sopan santun. Jika itu hanyalah cara untuk mengikat tingkah laku kami, bagiku sangatlah tak lucu. Pak Lurah telah membangun rasa takut, setidaknya padaku. Jika ada tempat lain selain di balai ini untuk ditinggali, aku pasti menjadi orang pertama yang setuju. Rahmad mundur tanpa komando. Begitu pun dengan Faris yang langsung meloncat ke belakang tubuh Subur.
Read more
Bab 63
 "Dia berdiri di sana, mengawasimu." Sahira menunjuk sosok itu.Aku tergemap. Seperti terserap dalam dimensi berbeda. Kerja jantungku mendadak melemah. Ya Allah! pekikku dalam hati. Lamat-lamat kekosongan di depan mataku memudar. Sosok yang digambarkan Sahira termanifestasikan. Tergelak. Melambaikan tangannya--seolah memanggilku. Sosoknya pucat. Membungkuk dengan tangan kanannya diletakkan di punggung. Ketika tersenyum, deret gigi hitamnya terselimut liquit warna pekat. Darah, ya ... itu darah."Tutup mata, Fi!"Teriakan itu amat kukenal ... Sahira. Kumenoleh ke arahnya. Oh, pandanganku jadi kabur. Sahira tertelan dalam kabut merah yang pekat.Sekali lagi ...,"Fi! Tutup mata!"Tutup mata, Fi?Dan aku pun menutup mataku perl
Read more
Bab 64
            "Ono opo, Sah? Ojo meden-medeni." (Ada apa, Sya? Jangan menakuti) Nabila langsung menarik pergelangan tanganku, menggenggamnya erat."Sah, siapa Makhluk itu?" tanyaku penasaran. Pikiranku sudah menduga-duga. Bibir Sahira tertarik cepat. Garis masamnya terganti lengkung yang tersungging lebar. "Nggak ada apa-apa, aku hanya salah bicara," tepisnya. "Oh, kukira ada apa." Nabila melepas cekalannya. Mengelus dada yang kuyakini su
Read more
Bab 65
         Pikiranku sedang merambang kemana-mana. Materi yang tengah disampaikan Pak Lurah pun berakhir masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Aku tertahan pada ingatan tadi pagi, di mana ular yang kutemui untuk kedua kalinya, menghilang tiba-tiba ketika memanggil Sahira dan yang lain.  "Mikirin apa?" Tepuk Sahira pada pahaku, pelan. Aku tergeragap. Refleks menoleh padanya dan menggelengkan kepala. "Yakin, kamu?" lirihnya. "Yakin. Sudah dengarkan," pintaku.
Read more
Bab 66
 "Sah---" panggilku terbatah.Masih dengan kondisi tubuhnya yang mengejang, Sahira bergumam tak jelas. Matanya membelalak. Tangannya mengepal kuat. Sesaat kemudian dia diam. Mulutnya terkatup. Giginya mengerat sampai mengeluarkan suara gemeletuk."Sha?" panggilku sekali lagi. Aku mendekat perlahan. Sedikit merendahkan tubuh. Sahira telentang di lantai. Situasi yang berhasil meningkatkan adrenaliku. Takut. Aku sadar yang bersamaku bukanlah Sahira."Istigfar, Sah."Sahira mengamatiku. Biji matanya bergerak ke atas. Seakan sebagian dari isi netranya sepenuhnya sklera."Hmm ... hmmm ... ngaleh. Minggat!" teriaknya kencang.Aku terseok mundur. Terganjal kakiku sendiri, tubuhku kehilangan keseimbangan dan jatuh dengan posisi duduk.Sahira
Read more
Bab 67
 Sang perkasa siang hampir menyelupkan tubuhnya ke garis cakrawala saat kami berbelok ke kiri dari pertigaan jalan. Rumah yang kami duga milik Samarni berada tepat di sisi kanan dengan pembatas pagar besi hitam berkarat. Cat pagar itu menggelembung dan terkelupas. Rumahnya minimalis. Halamannya tak terlalu luas. Kanan dan kiri diapit lahan kosong. Terasing. Seolah berada dalam dimensi lain penuh jerit, luka dan keprihatinan."Ini rumahnya?" Nada suara Sahira antusias.Aku yang berdiri di belakang perempuan berjilbab hitam itu kian beringsut. Mengenggam erat ujung pakaiannya."Sepertinya begitu," jawab Haqi. Bola matanya menyisir area dalam. "Benar-benar nggak terawat." Kepalanya terdongak. "Atap bangunannya ringkih dan keropos di mana-mana.""Kalian bukan pemburu hantu, kan?" sergahku kesal, "B
Read more
Bab 68
  Majelis bernama evaluasi di bawah komando Subur itu sudah berjalan hampir dua jam. Sebagai ketua, seperti biasa dia bakal bercuat-cuit tanpa jeda. Tak ada hubungannya dengan proker. Lari sana lari sini. Timpal sana timpal sini. Endingnya, lelaki bertubuh jangkung itu bakal memamerkan diri----dialah penjilat ulung yang mampu memikat hati Pak Lurah.Sahira menempelkan pipinya di bahuku. Ya, tubuh bongsorku bisa jadi bantal dadakan. Dia menguap terus menerus. Skeleranya merah. Beberapa kali menggerutu karena rapat tak kunjung usai. Sesekali kutepok pahanya saat uap panas menerpa leherku. Sahira tertidur. Bangun, atau besok pagi dia akan berakhir mengisi tugas dadakan. Mendata kartu keluarga warga desa, program pribadi Subur untuk mempertajam kepercayaan Pak Lurah. Mengingat itu, Sahira mencoba bertahan pada sisa kesadarannya. Menarik ujung kedua kelopak mata den
Read more
Bab 69
 Pukul dua pagi. Insomnia mengakari mataku, mencengkeramnya kuat. Langit-langit berinternit embos bunga satu-satunya pemandangan yang dapat kunikmati. Kenyataannya, Insomnia ini akulah yang mengundangnya. Mataku terlalu takut untuk mengatup. Kegelapan seperti serdadu kejam yang bakal menguliti dan mengoyak tubuhku tanpa ampun.Ya, setiap kali netra terpejam, tubuhku seolah dilambungkan tinggi-tinggi. Seluruhnya ruang kosong nan luas. Lalu, ketika napasku tercekik----tak lagi dapat asupan oksigen----tubuhku dilepas. Terjun bebas. Saat menyentuh tanah, rasa sakit yang nyata itu membangunkanku. Membuat kerja jantung lebih berat dari sebelumnya. Mimpi seperti itu akan terus berulang,  jika mencoba tidur.Kembali indra penglihatanku berpindah dari kotak internit satu ke yang lain. Sebagian bermotif sama. Sebagian lagi berbeda. Belah ketupat dengan sulur-sulur m
Read more
PREV
1
...
5678910
DMCA.com Protection Status