Semua Bab PEWARIS DALAM BAYANGAN : Bab 11 - Bab 20
23 Bab
10
Gedung pencakar langit yang menjadi pusat perkantoran di kota S tiba-tiba dihebohkan oleh sejumlah kerumunan wartawan dari berbagai media cetak dan elektronik. Bahkan beberapa reporter tengah melakukan siaran langsung di halaman gedung tersebut. Para petugas keamanan kewalahan menghalau mereka yang penuh dengan pertanyaan dan rasa ingin tahu. Kerumunan bak lalat tersebut dibuyarkan oleh kedatangan sederetan mobil mewah bersama dengan pengawalan ketat. Satu persatu penumpang mobil-mobil itu keluar dan berjalan memasuki lobi gedung. Para wartawan tak satu pun yang diizinkan mendekat. Mobil terakhir yang datang adalah sebuah limosin hitam dengan seorang penumpang perempuan bersetelan mahal. Melihat kedatangan sosok yang mereka tunggu-tunggu itu, seluruh jajaran staf berdiri di depan lobi untuk menyambut kedatangannya dengan penuh takzim. Perempuan itu turun dari mobil dengan bantuan salah satu staf. Kacamata gelapnya bertengger di pangkal hidung menyamarkan kemarahan di
Baca selengkapnya
11
Jun mengunjungi perusahaan Kamiya Moriuchi sesuai instruksi dari Baviaan. Kini, dia berada di tempat parkir bawah tanah dan berusaha menghubungi Baviaan melalui sambungan aman. “Bagaimana hasilnya?” tanya Baviaan yang terdengar sibuk di seberang saluran. “Sindikat!” jawab Jun singkat. “Informasi apa yang kamu dapatkan?” “Asisten pribadinya mengatakan Kamiya meninggalkan kantor kemarin siang untuk menghadiri janji temu denganku. Dan, ya, kami memang bertemu tapi tiba-tiba dia membatalkannya, lagi! Sang asisten mengatakan bahwa saat itu dia menghubungi Kamiya agar segera kembali ke kantor. Seorang pria datang membuat keributan. Pria itu mengaku sebagai kekasih Kamiya. Dia bercericau di depan seluruh karyawan Kamiya bahwa merasa sakit hati dan terluka. Karena Kamiya memutuskan hubungan pertunangan mereka secara sepihak. Sang asisten juga mengatakan, pria itu mengancam akan menggulingkan bisnis Kamiya jika perempuan itu tidak hadir saat itu juga.”
Baca selengkapnya
12
Seorang perempuan dalam setelan serba hitam tengah membongkar senapan dan mengemasinya ke dalam tas ransel. Saat bangkit, ponsel di kantung celana jinnya bergetar. Dia sandang ransel di pundak sambil menggigit cokelat batangan. Perempuan itu berjalan santai meninggalkan atap gedung pusat perbelanjaan tak jauh dari lokasi ledakan motor. “Misi sudah dijalankan,” ujarnya pendek saat menjawab panggilan telepon. ... “Bukan urusanku! Aku hanya dibayar untuk membunuh satu kepala!” ujarnya kesal sambil menggigit kembali sisa cokelatnya. ... “Aku bahkan harus merelakan dua peluru untuk mengusir seorang bocah dan meledakkan sebuah motor yang tidak perlu, keparat! Jangan mengaturku!” sentaknya sambil mematikan telepon. Perempuan itu menuruni tangga darurat dengan tergesa. Dia remas-remas aluminium foil pembungkus cokelat dan memasukkannya ke kantung celana. “Jangan tinggalkan bukti dan jejak apa pun!” Saat tiba di jalan yang lengang, dia
Baca selengkapnya
13
Baviaan meremas kertas surat tersebut menjadi sebuah gumpalan dan menggenggamnya kuat di cengkeraman. Dia kembali ke depan jendela dan menatap langit yang pekat kebiruan dengan sepasang mata nyalang. Baviaan bahkan tak perlu repot-repot menyalakan lampu, tak akan ada perbedaan baginya. Di kamar tamu, Ben tersadar dalam keadaan remuk redam. Sekujur badannya terasa sakit dan ngilu. Dia singkap selimut dan menarik lepas selang infus dari pergelangan tangan. Antara kebingungan dan kesakitan, dia duduk di tepi ranjang sambil memijit kepala. Matanya melirik pada lengan kiri yang sudah diperban setelah koyak karena peluru. Kaus Boneknya sudah hilang entah di mana. Hanya celana jin belel yang masih melekat di badannya. Luka di sekujur badan tampak sudah terobati. Satu-satunya nama yang segera dia ingat dan menyergap naluri bertahannya adalah Baviaan Marais. Ben bangkit dengan langkah gontai sambil menekan kepala yang berdenyar. Pesan suara terakhir dari kakaknya menyebutkan
Baca selengkapnya
14
Ben duduk di sebuah kursi kayu berpolitur di ruang makan. Tubuhnya tertutup selimut katun dengan punggung yang melengkung. Di kedua tangannya yang gemetar, tergenggam erat secangkir cokelat hangat. Kedua lutut pemuda itu terus saja bergemeletuk, tak bisa berhenti dari bergerak-gerak. “Jadi, kau?” “Aku buta? Iya! Apalagi yang ingin kau tahu, Begundal?” Baviaan masih duduk di kursi roda elektriknya dengan kedua tangan tersilang di dada menghadapi Ben yang masih kebingungan dengan wajah pucat. Tak jauh dari mereka, Kunto duduk di sebuah sofa berlengan sambil bertopang kaki. Kedua tangannya tertaut ke lutut. Wajah kantuk kepala rumah tangga dengan rambut perak sedikit awut-awutan itu masih menampakkan keterkejutan. Pria yang biasa tampil sempurna itu, kini sampai melupakan untuk bersalin pakaian. Kaca mata Kunto tertambat di pangkal hidung dengan asal. Sesekali dia mendenguskan napas tertahan sambil memperhatikan kedua pria yang sedang bersitegang tersebut.
Baca selengkapnya
15
Bunga berjalan menuju rumah kontrakannya yang sederhana. Dia melepas jaket kulit hitam yang dikenakan setelah melemparkan helm sekenanya ke sofa usang. Dengan masih mengenakan pakaian lengkap, jin hitam dan kaus katun tanpa kerah, dia masuk ke kamar mandi membuka katup keran. Air panas dan air dingin dinyalakannya bersamaan hingga menimbulkan uap di seluruh partisi kaca. Bunga duduk di bak mandi, di bawah pancuran air, dan membiarkan sekujur tubuhnya basah. Kepalanya menengadah, merasakan guyuran air hangat dengan mulut sedikit terbuka. Perempuan itu menggeram dan memukulkan tinju kirinya ke partisi kaca terdekat. “Brengsek! Tunjukkan di mana dirimu berada, Baviaan Marais!” Pertaruhan Bunga hari ini cukup beresiko. “Jika memang Baviaan berada di dalam mansion terpencil itu, maka dia pasti tahu apa yang tertulis di dalam suratku. Jika tidak, maka siapa pun yang berada di sana pasti dengan segera akan menyebarkan keributan bahwa ada seorang wanita gila yang mencoba mel
Baca selengkapnya
16
Ben sudah bersiap melambaikan tangan untuk meminta tumpangan saat mobil itu mendekat. Akan tetapi, begitu dia menyadari para penumpang mobil tersebut adalah gangster anak buah Apoy, Ben seketika mundur dan kembali bersembunyi di balik batang pohon trembesi tua di sisi jalan dengan tubuh yang bergetar hebat. “A-apa yang mereka lakukan di sini? Ba-bagaimana bisa?” resah Ben sambil terus-menerus memukul-mukulkan kepalan tangan kanan ke telapak kirinya. Berulang kali dia mendesah, berputar-putar, hingga akhirnya memutuskan untuk berlari meninggalkan tempat persembunyiannya sekarang. “Aku harus bisa mencapai dermaga dan pergi dari sini, entah dengan getek atau perahu nelayan! Jika mereka bisa masuk ke sini, artinya mudah juga bagiku untuk keluar meninggalkan tempat ini.” Ben mulai berlari hingga beberapa meter menuruni bukit tapi tiba-tiba dia berhenti dan berbalik arah. “Ah, sial! Kenapa aku tidak bisa membiarkan mereka begitu saja?” Ben sungguh-
Baca selengkapnya
17
Mereka bertiga terlantar di pelabuhan kota S. Kerlap-kerlip lampu dari perahu-perahu nelayan di kejauhan menambah muram suasana. Mereka bersembunyi tak jauh dari tempat bongkar muat kapal. Di sana, banyak kayu-kayu palet yang bisa mereka jadikan perlindungan. Baviaan duduk di kursi rodanya sambil merasakan kesiur angin laut yang semakin meremangkan kulit. Kunto terus saja mondar-mandir dan hampir setiap menit mendatangi Baviaan untuk menanyakan, “Apakah kau membutuhkan sesuatu? Apa kau baik-baik saja? Adakah yang terluka?” “Hei, Pak Tua! Tidakkah sikapmu itu terlalu berlebihan? Dia bukan bayi yang harus selalu kau khawatirkan!” pekik Ben yang tengah berbaring telentang di salah satu dek perahu nelayan yang tertambat. Kunto sudah akan melontarkan kemarahan tapi Baviaan memberikan tanda dengan satu lambaian tangan, “Cukup! Kinca benar, aku bukan bayi yang harus selalu kau khawatirkan, Paman.” Kunto menganga dan hampir menumpahkan air mata. “Astaga! Kau
Baca selengkapnya
18
Berita ledakan di sebuah pulau terpencil itu dengan segera menemukan muaranya. Setiap reporter dan wartawan berlomba-lomba mencari kebenaran akan kabar burung yang tiba-tiba berembus dari sebuah portal berita online yang belum diketahui kevalidan sumbernya. Portal berita itu dengan gamblang menyebutkan bahwa CEO perusahaan pupuk terbesar di negeri ini dikabarkan meninggal dalam peristiwa ledakan di sebuah pulau terpencil tadi malam. Jun tiba di kantornya menggunakan porsche kesayangan. Di lobi kantor sudah berkerumun para wartawan dan repoter yang ingin memastikan kabar tersebut. Sebelum turun dari mobil, Jun menyambar kacamata hitam dan memasang wajah paling sedih yang bisa dia lakukan. Cahaya blitz kamera berulang-ulang menerpa wajah dan tubuhnya dari berbagai arah. Bermoncong-moncong mikrofon disodorkan dan menghalangi pergerakannya. Sejumlah petugas keamanan perusahaan berusaha menghalau kerumunan wartawan itu, tapi mereka terus saja berteriak-teriak mel
Baca selengkapnya
19. Kafe Morbeus
Gadis itu meletakkan remote tv kembali ke tempatnya dan berujar lirih, “Siapa pun Anda, semoga Anda tenang dan bahagia di luar sana,” lalu, dia keluar dari apartemen tua milik Kunto itu. Di depan lift, dia melihat seorang pria duduk di kursi roda seorang diri. Tangan kiri pria itu menggapai-gapai tombol lift. Gadis itu sudah akan membantu, tapi pria berkacamata gelap itu sepertinya tak memerlukan bantuan. Dengan cekatan, dia meraba tombol dan menekan angka yang menuju lantai dasar. Gadis itu berdiri di sana. Dia melihat pria cacat itu memutar kursi roda dan berjalan mundur untuk memasuki lift saat pintu terbuka. “Kau tak akan masuk?” Suara pria itu Gadis itu gelagapan. “Ah, iya, maaf.” Mereka berada di dalam lift dengan sikap canggung. Gadis itu berdiri di samping kursi roda Baviaan sambil melirik ke arah pangkuan pria itu. “Apa Anda bermain biola?” Baviaan duduk tenang di kursi rodanya dengan wajah menatap lurus ke arah pintu lift yang bercer
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123
DMCA.com Protection Status