All Chapters of Abby and Her Amulet: Chapter 11 - Chapter 17
17 Chapters
11
Seperti cerita dongeng pada umumnya, aku akan memulai kisah ini dengan kata 'pada jaman dahulu'.Farasia terlahir dari musim dingin dan tawa anak-anak yang bermain boneka salju. Tugasnya mudah, menjaga agar anak-anak tetap tertawa di gempuran dinginnya musim salju. Ia bisa mengubah tekstur salju sesuai dengan keinginannya agar mudah dibentuk. Melihat anak-anak yang berharap bahwa musim salju takkan berakhir, sudah cukup membuatnya bahagia. Hingga suatu hari, Dewa Langit, Agros menghukum salah satu anaknya yang bernama Hogres menjadi manusia turun di bumi untuk merefleksikan perbuatannya setelah ia membuat onar Gnolimpia, rumah para dewa.Bukannya menyesal, Hogres membuat keonaran dan menghancurkan suka cita di musim dingin.Farasia mengamuk dan melahap Hogres ke dalam salju abadi buatannya sehingga ia akan beku untuk selamanya. Agros bukannya marah, melainkan leg
Read more
12
Aku langsung merunduk saat ia berencana terbang ke arahku. Tapi ia langsung terpental begitu jarak kami tinggal beberapa senti."Berkat Farasia! Berkat Farasia!" Pekiknya panik. Akhirnya Lilac si burung gagak, terbang ke arah berlawanan dariku dan kabur dengan menjebol dinding dapur. "Abby? Apa yang terjadi?" Tanya Maxwell yang menghampiriku karena mendengar bunyi yang diciptakan siluman itu. "Max, Lilac berubah jadi burung gagak!" "Ah, Harpie sialan! Jangan-jangan tetua sudah…," "Tolong.." terdengar suara lemah dari dalam salah satu lemari kecil yang berada di bawah cucian piring kotor Maxwell membukanya dan menemukan seorang lelaki tua sekarat di dalam sana. Tubuhnya lemas dan penuh luka tapi dia masih dalam keadaan sadar. "Gawat! Abby, kau bawa kotak obat?" Maxwell nampak jengkel saat melihatku menggelengkan kepala.
Read more
13
"Apakah anda tidak suka hidup lebih lama dari kebanyakan orang?" Aku bertanya murni karena rasa penasaran.Kalau hidup lebih lama, bukankah bisa terus makan makanan yang enak, sekaligus melihat keindahan dunia yang tak ada habisnya. Bukankah itu menyenangkan?Dia tersenyum, "Sejujurnya aku bersyukur. Tetapi, bosan adalah salah satu sifat juga kelemahan manusia. Aku ingin menjelajah belahan dunia lain dimana tidak ada tanah beku yang bisa kupijak. Meski mungkin saja, aku takkan bisa puas menjelajahinya dengan punggung dan kaki yang mudah nyeri. Dan bisa saja, kebebasan itu tak bisa kurasakan dalam waktu yang lama," Kali ini pandangannya menerawang ke arah luar jendela. Memandangi pemandangan yang sama selama bertahun-tahun.Baru kusadari, mungkin, lelaki tua ini kesepian atau seperti yang ia barusan katakan, ingin berlari dengan bebas di padang bunga yang bersemi. "Mungkin Farasia memiliki panda
Read more
14
Aku berani bersumpah bahwa perempuan itu mengatakan sesuatu padaku. Karena bibirnya bergerak  seperti mulut ikan yang megap-megap mencari air.Dikalahkan dengan rasa penasaran, aku mendekatkan telingaku kepadanya hingga jarak diantara kami hanya beberapa senti.Suaranya terdengar jauh dan terpatah-patah, "Kau… harus… temukan… Tusban… segera."Kedua alisku bertautan, "Apa maksudnya? Berarti Tusban adalah tujuan yang benar?"Sosok itu melengkungkan bibirnya membentuk seulas senyuman yang lemah, "Selamatkan… kami."Lalu keluarlah sinar putih yang sangat menyilaukan dan setelah cahaya itu padam, sosok itu kembali ke pose sebelumnya. Diam seperti patung.Berulang kali aku mengucek mata dan mencubit pipiku sendiri untuk memastikan bahwa ini bukan mimpi.Jantungku, entah kenapa, berdebar sangat cepat dan dengan pani
Read more
15
Perjalanan menuju Tusban telah dimulai. Atau setidaknya begitu. Kami meninggalkan rumah si tetua setelah sarapan.Dia sepertinya benar-benar tak ingin merenovasi dindingnya yang hancur tersebut.Max dan aku bukannya menolak ingin membantu. Tapi kami tak bisa melakukan apapun.Meski begitu, sepanjang perjalanan ini, Max menggerutu dan terus mengataiku sebagai penyihir tanpa hati.Kubiarkan saja dia. Ini bukan pertama kalinya ia mengataiku macam-macam. Dan juga, sihir, yang masih belum kukuasai dengan benar ini, lebih mumpuni untuk menghancurkan sesuatu ketimbang memperbaiki.Max menatap langit saat kami berada di area terluar perbatasan hutan timur."Ternyata sudah tengah hari. Perasaanku saja atau kita memang berjalan lebih cepat dari sebelumnya?"Aku membungkuk agak dalam ke arah pegunungan bersalju yang baru kulewati. "Terima kasih, Dewi Fa
Read more
16
"Jadi, ini yang kau bilang keren?" Tanyaku di atas batang pohon.Iya, benar. Max duduk di sebelahku yang memegangi batang pohon besar dengan erat.Lengah sedikit, riwayatku pasti tamat akibat jatuh dari ketinggian sepuluh meter."Dari sini pemandangannya sangat keren bukan. Lagipula, kita bisa melihat keadaan kota." Katanya sambil memegangi dahan pohon yang didudukinya. "Ah, lihat! Ada di sana! Sepertinya masih aman." "Lalu, apa yang harus kita lakukan dengan monster-monster yang ada di bawah kita? Aku bukan pecinta ketinggian, dasar sial!" Kupikir Max akan mengalahkan kumpulan ogre itu dalam sekali sabetan. Tapi aku salah, dia memang menyerang beberapa dari mereka.Setelah dua menit mengayunkan pedang, Max mengangkat tubuhku dan menaruhku di pundaknya sebelum mulai berlari secepat kilat meninggalkan para ogre tersebut.Tidak berhenti disitu, ia
Read more
17
Max mengusap dahinya yang penuh keringat sebelum memanggil namaku. "Abby, kau baik-baik saja? Kenapa diam saja?""Maaf, aku nyaris ketiduran."  Max menyeringai saat menyadari kesinisan dalam nada bicaraku. "Sepertinya aku terlalu bersemangat. Sini, berjalanlah di dekatku. Aku masih bisa mencium bau mereka dalam sepersekian meter." Aku mengangguk dan memutuskan untuk fokus pada jalan yang kulalui. Mayat-mayat Ogre bersimpah darah jatuh berserakan di atas tanah. Baru beberapa langkah, aku menyadari sesuatu yang aneh pada mereka.  "Apa benda hijau di balik lengan mereka ini?" Alis lelaki itu naik sebelah, "Benda hijau?" "Seperti kancing." Kataku sambil mengangguk. Max menggunakan pedangnya untuk menyetuh bagian tubuh yang kumaksud.  Untungnya ia masih memakai sarung tangan hitam saat meraih kancing bulat bewarna
Read more
PREV
12
DMCA.com Protection Status