Semua Bab Janda Lumpuh Milik CEO: Bab 21 - Bab 30
71 Bab
21 | Diam-Diam Saja
Anjani kaget mendengar pengakuan Bian, ia menatap pria itu dengan alis bertaut. Tidak mengherankan sebenarnya jika seseorang tidak bisa berenang, tapi mendengar kata 'takut kedalaman air' sangat jarang Anjani temui.Dan Bian jadi orang pertama yang Anjani ketahui mengenai kondisi trauma seperti itu. Baginya ini langka."Saya takut, cemas, dan gemetaran ketika melihat kolam, danau, atau sejenisnya yang punya kedalaman," aku Bian dengan wajah sendu. Tersirat kesedihan dari matanya. "Lalu kalau saya memaksakan diri untuk berenang, saya akan sulit bernapas."Dulu Anjani tak pernah sekasihan ini pada pria itu. Kiranya pria seukuran Bian terlampau mustahil memiliki masalah yang rumit, mengingat Bian punya segalanya; wajah tampan, cerdas, dan harta yang sepertinya tak akan habis hingga tujuh turunan."Kamu tahu kenapa?" Pula Bian rasanya tak pernah seingin ini menceritakan beban hidupnya kepada seseorang. Ia sela
Baca selengkapnya
22 | Terciduk
Laura memicingkan mata ke mobil yang ditunjuk Hani, pria itu mengatakan kebenaran, setelah Laura melihat plat nomor mobilnya ternyata persis seperti punya Bian. Bahkan bukan persis lagi, itu mobil nyata adalah milik Bian.           "Sialan! Lo bener Han, itu mobil My Prince gue kenapa bisa disitu sih?! Ngapain Bian di rumah Anjani?" gumam Laura kesal. Ia menggebrak setir dengan kuat menyalurkan amarahnya.Ketika amarah majikannya mode on begini, biasanya Hani lebih berhati-hati, "Eike juga nggak tau nyonya, baru nyadar.""Apa jangan-jangan..." Hani menggantung ucapannya membuat Laura memicing kesal pada pria itu."Apa?! Lo mau ngomong apa?!""Eh enggak-enggak," elak Hani."Pantesan dari kemarin Bian nggak keliatan! Gue bakal kasih pelajaran itu si wanita lumpuh. Beraninya dia ngurung My Prince gue di gubuk ini." Laura sudah akan membuka pintu mobil
Baca selengkapnya
23 | Dia Kekasihku
Mata Bian melebar mendengar penuturan Anjani, bukannya membela wanita itu malah membuka jalan lebar untuk Laura membawanya pergi. Apalagi sampai membeberkan bahwa dia sering numpang makan di rumah ini."Baguslah, ayo kita pergi Bi." Laura sudah menggenggam pergelangan Bian tetapi dihempaskan kasar oleh pria itu."Lepaskan saya Laura!" perintah Bian tegas. Laura bahkan sedikit tertunduk karna Bian menghempas tangannya barusan. "Saya nggak mau ikut dengan kamu. Lagipula siapa kamu berani memaksa saya?""Tapi Bi--""Loh bukannya ini pacar bapak?" Anjani menatap bingung keduanya."Ya bukanlah," Bian mengusap wajah gusar. Gusar karena Anjani selalu saja tak peka pada keadaan."Kamu ini nggak bisa membaca situasi apa? Kamu nggak lihat saya risih di dekat dia?" tunjuk Bian pada Laura. Wanita itu menghentakan kaki geram."Aduh saya makin bingung." Anjani dibuat ge
Baca selengkapnya
24 | Menguak Pelaku
Nyaris seminggu tdk upđŸ˜„ huhu. Author udh mulai sibuk, maaf yaa. ***Setelah mendapatkan telpon dari rumah sakit Anjani bergegas menuju ruang tempat Clara dirawat. Dan setibanya air mata wanita itu mengalir deras mendapati putrinya terbaring lemas di ranjang putih dengan perban melilit kepala dan impus yang melekat di punggung tangan."Clara..." Anjani melirih, di balik jendela kaca ia menatap putrinya yang ditangani oleh dokter, dapat ia lihat Clara mengalami cukup banyak luka di bagian tangan serta kaki.Bian yang sedari tadi mengekor akhirnya mendekat lalu berdiri di samping wanita itu. Ia hanya terdiam menatap ke dalam ruangan. Entah kenapa rasa kasihan, gelisah, dan sedih juga pria itu rasakan sekarang.Bian mencoba menyentuh pundak Anjani, "An--""Ini bukan waktu yang tepat untuk membuat masalah sama saya pak."
Baca selengkapnya
25 | Sayang
Beberapa jam kemudian Anjani diperbolehkan dokter menemui Clara. Wanita itu lantas masuk ke ruang rawat dengan langkah tergesa-gesa dan langsung mengecup dahi putrinya sambil berlinang air mata.Hati Anjani seperti teriris pisau tajam melihat banyak perban menutupi permukaan tangan serta kaki anaknya itu. Ia sungguh tak sanggup menerima semua ini.Memori kecelakaan dua tahun lalu pun seakan berputar kembali di benaknya. Membuat rasa trauma kehilangan menguak lagi ke permukaan. Anjani takut kehilangan satu orang lagi yang ia cintai, oleh karenanya dengan cara apa pun Anjani berusaha menjaga Clara.Tapi karena kejadian ini Anjani merasa dirinya tidaklah becus menjadi seorang ibu."Cepat sadar ya sayang." Anjani menggenggam tangan Clara, sesaat sebelum kemudian seorang suster memasuki ruangan dengan wajah paniknya."Nyonya mohon keluar. Seorang pria yang bersama nyonya tadi membuat keributan
Baca selengkapnya
26 | Semakin Berbeda
"Bapak nggak perlu melakukannya, ruangan ini sudah cukup nyaman untuk Clara," ujar Anjani pada Bian. Pria itu menawarkan agar Clara pindah ke ruang VVIP. Dan tentu saja Anjani menolak sebab namanya ruang VVIP, biayanya pasti akan sangat mahal.Clara yang berbaring mengganguk, menatap Bian yang berdiri di samping Anjani yang duduk, "Iya Om. Di sini enak kok ada TV-nya.""Televisi mana cukup," Bian bersikukuh, "Lagipula di ruangan VVIP nanti bukan hanya ada fasilitas TV, tapi juga ada AC, Kamar mandi, sofa bed untuk Anjani, kursi penunggu pasien, Lemari pakaian, kulkas, dan lemari mainan. Kamu akan betah di sana.""Pak biayanya pasti lebih mahal. Sebaiknya Clara di sini saja." Anjani menolak lagi."Ck, kamu tidak tahu siapa saya?" Bian membuang udara dari mulut, pria itu mulai menunjukan kesombongan. "Tolong sekali ini kamu menurut, toh, masalah biaya paling gampang buat saya."Memutar bola
Baca selengkapnya
27 | Mulai Merasa
Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam ketika Anjani selesai mencuci piring. Wanita itu mengeluari dapur lalu menghampiri putrinya yang terlelap di ranjang dengan punggung tangan masih melekat impus. Tampaknya Clara begitu nyaman dalam tidurnya sampai Anjani tak sekali pun mendengar anak itu melenguh atau terjaga. Namun Anjani yakin, Clara pasti masih merasa sakit disekujur tubuhnya.Menarik selimut hingga sebatas dada anaknya itu, Anjani mengecup kening Clara seperti kebiasan setelah Clara tertidur."Good Night my princess," ucapnya. Lalu pandangan Anjani beralih pada Bian yang berbaring di sofa bed. Pria itu juga tertidur menyamping sembari memeluk tubuhnya sendiri.Wajah Bian pun tampak kelelahan dengan rambut yang berantakan, bahkan pria itu memakai pakaian yang sama sejak pagi tadi. Yaitu, sweater rajut hitam milik Aldevaro. Anjani memang meminjamakannya sebab kalian ingat sendiri kan? Kalau kemarin Bian nyaris tenggelam
Baca selengkapnya
28 | Rival dan Sang Pelaku
"Shttt pak, bapak ngelamunin apa?" bisikan disertai sikutan itu membuyarkan pikiran Bian, ia menegapkan punggung dan menatap Vanya yang duduk di sampingnya dengan linglung. Suasana ruang meeting pun menghening ketika semua karyawan menatap pria itu."Hah? Apanya?" Bian semakin terheran."Itu loh pak lihat ke depan.""Ekhem."Deheman yang lantas membuat Bian mematuhi Vanya, pria itu menatap ke depan, menelan saliva kasar kala Pak Bram menatapnya cukup sinis. Sial! Bian merutuki kebodohannya melamun di tengah moment meeting. Bisa-bisanya pikirannya terlintas oleh seseorang dalam keadaan penting seperti sekarang.Menstabilkan ekspresi agar tetap terlihat santai, Bian berdehem singkat lalu bersikap layaknya CEO profesional."Maaf pak. Saya kehilangan fokus. Bisa diulang pertanyaannya?"Pak Bram menggelengkan kepalanya beberapa detik tanda kecewa pada teledorny
Baca selengkapnya
29 | Stuck With You
"Le-akh lepas... Bi," rintih Laura. Dia memegangi kedua tangan Bian guna menahan pria itu mencekik lehernya lebih kuat. Alhasil, nyaris bermenit-menit Laura merasa oksigennya kian menipis. Laura tak habis pikir kenapa Bian mendadak datang lalu langsung mencekik lehernya.Menyepelekan rintihan wanita itu Bian justru menguatkan cekikannya, bahkan dia sampai mendorong Laura membuat wanita itu terpaksa berjalan mundur hingga punggungnya menyentuh tembok."Tidak akan, sebelum kamu mengakui semuanya di hadapanku penjahat!""I-iya akh.. aku... ngaku." Laura tidak punya pilihan. Bian sepertinya sudah tidak waras! Pria itu bisa saja membuatnya meregang nyawa.Melepaskan cekikan dari leher Laura dengan kasar, Bian berucap, "Apa pengakuanmu? Cepat katakan sekarang!"Masih dengan wajah memucat dan mulut terbatuk hebat, Laura menghirup oksigen sebanyak mungkin. Tubuh wanita itu meluruh ke lantai.
Baca selengkapnya
30 | Awal Keterbukaan (21+)
Bian sudah biasa meladeni banyak wanita yang mencoba mendekatinya. Ada banyak nama seperti Bella, Alana, Jessie dan masih banyak lagi. Namun yang paling kebal dengan penolakannya adalah si wanita penyihir bernama Laura. Lalu bagian terpenting yang perlu digaris bawahi ketika wanita-wanita itu berusaha mengambil hatinya adalah, Bian tak pernah tertarik sedikit pun pada pesona yang mereka tunjukan. Sekali pun untuk meluluhkan hatinya dengan menonjolkan kebaikan, mereka jauh dari kata 'dekat'. Akan tetapi, kali ini Bian menemukan banyak perbedaan ketika bersama Anjani. Tanpa susah payah wanita itu untuk mengambil perhatiannya, Bian sudah tersihir oleh kebaikan hatinya. Bertatapan selama puluhan detik sembari memegangi bahu wanita itu, Bian mengamati wajah mulus Anjani, hidung kecil yang mancung, serta mata bulat dengan bulu yang lentik, memunculkan perasaan hangat dalam raga Bian. Ia tak tahu mesti menyebutnya apa.
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234568
DMCA.com Protection Status