"Le-akh lepas... Bi," rintih Laura. Dia memegangi kedua tangan Bian guna menahan pria itu mencekik lehernya lebih kuat. Alhasil, nyaris bermenit-menit Laura merasa oksigennya kian menipis. Laura tak habis pikir kenapa Bian mendadak datang lalu langsung mencekik lehernya.
Menyepelekan rintihan wanita itu Bian justru menguatkan cekikannya, bahkan dia sampai mendorong Laura membuat wanita itu terpaksa berjalan mundur hingga punggungnya menyentuh tembok.
"Tidak akan, sebelum kamu mengakui semuanya di hadapanku penjahat!"
"I-iya akh.. aku... ngaku." Laura tidak punya pilihan. Bian sepertinya sudah tidak waras! Pria itu bisa saja membuatnya meregang nyawa.
Melepaskan cekikan dari leher Laura dengan kasar, Bian berucap, "Apa pengakuanmu? Cepat katakan sekarang!"
Masih dengan wajah memucat dan mulut terbatuk hebat, Laura menghirup oksigen sebanyak mungkin. Tubuh wanita itu meluruh ke lantai.
<Bian sudah biasa meladeni banyak wanita yang mencoba mendekatinya. Ada banyak nama seperti Bella, Alana, Jessie dan masih banyak lagi. Namun yang paling kebal dengan penolakannya adalah si wanita penyihir bernama Laura. Lalu bagian terpenting yang perlu digaris bawahi ketika wanita-wanita itu berusaha mengambil hatinya adalah, Bian tak pernah tertarik sedikit pun pada pesona yang mereka tunjukan. Sekali pun untuk meluluhkan hatinya dengan menonjolkan kebaikan, mereka jauh dari kata 'dekat'. Akan tetapi, kali ini Bian menemukan banyak perbedaan ketika bersama Anjani. Tanpa susah payah wanita itu untuk mengambil perhatiannya, Bian sudah tersihir oleh kebaikan hatinya. Bertatapan selama puluhan detik sembari memegangi bahu wanita itu, Bian mengamati wajah mulus Anjani, hidung kecil yang mancung, serta mata bulat dengan bulu yang lentik, memunculkan perasaan hangat dalam raga Bian. Ia tak tahu mesti menyebutnya apa.
Ada banyak hal yang Anjani syukuri di dunia, tetapi salah satunya bukanlah pengakuan pria bernama Bian Pradipta di hadapannya sekarang. Ia menghargai Bian sebagai teman dan pria yang baik hati, yang selalu membantunya di kala susah.Sekalipun tidak pernah terpikir olehnya menaruh rasa lebih pada Bian, mengingat di hatinya masih tertanam rasa cinta pada Aldevaro. Entah sampai kapan rasa itu akan menetap, namun Anjani tidak menampik jikalau nanti Tuhan membalik perasaannya untuk mencintai pria lain. Anjani akan pasrah. Sebab Anjani yakin Tuhan selalu memberikan apa yang ia butuhkan dan mendatangkan seseorang yang terbaik untuknya di masa depan."Aku sudah kalah dalam tantangan kita, An. Aku menyayangimu dan Clara. Aku tidak mampu lagi membohongi perasaanku sendiri," ungkap Bian menyuarakan isi hatinya. Wajah pria itu kusut bercampur khawatir.Anjani menunduk diam, ia bingung menjawab bagaimana, perasaannya pun jadi tidak kar
"Anjani."Seseorang memanggil namanya membuat Anjani menoleh ke samping, sontak langkah wanita itu dan Bram pun terhenti.Mengetahui yang memanggil Anjani adalah Bian ekspresi Bram berubah masam. Ia risih kenapa rekan bisnisnya itu selalu saja hadir saat mereka sedang asik berbincang.Apalagi Bian, seolah tanpa peduli akan kehadirannya langsung menghampiri Anjani dan bertanya, sambil memamerkan senyum menawannya pada wanita itu."Kamu sudah lama datang?" tanya Bian dan Anjani pun mengangguk. Dia tetap tersenyum, Anjani mencoba melupakan kejadian antara mereka kemarin. Ia pikir tidak penting mengingat semua hal itu. Biarlah ia dan Bian menjalankan hari-hari seperti biasa. Namun, apakah pria itu sanggup?"Baguslah. Pas sekali sebentar lagi makan siang, kamu bisa menemaniku, An?"Bram menaikan alis, kenapa nada bicara Bian terdengar sangat lembut. Atau apakah
Meeting perusahaan Pradipta hari ini berjalan cukup lancar, bertempat di hotel ternama berbintang lima bernama La Verta.Keputusan meeting tersebut adalah kerja sama untuk meluncurkan produk baru antara Pradipta Group milik Bian Pradipta dan Wijaya Group milik Bram. Mungkin ini jadi langkah pertama perusahaan mereka meraih keuntungan besar. Terlebih lagi, perusahaan mereka sama-sama menggeluti bidang industri fashion dan busana.Selesai berbincang dengan beberapa rekan ahli yang ikut andil dalam proyek ini, Bian menepi sebentar dari kerumunan karena Vanya tiba-tiba menghampiri dan mengatakan bahwa gawai milik Bian--yang sedari rapat disimpan oleh wanita itu, bergetar dengan layar menyala menampilkan panggilan masuk atas nama Mama.Bian pun menempelkan ponselnya ke telinga, sesaat sebuah teriakan menusuk telinganya."Sayanggg, kenapa lama sekali mengangkat panggilan mama? Kamu dimana sekarang hah?"
Mobil mewah berwarna silver berhenti di depan rumah mewah berwarna putih, kaca mobilnya perlahan turun menampilkan figur seorang pria berjas yang menatap penuh senyuman ke arah rumah tersebut. Pria itu mengeluari mobil lalu melepas kacamata hitamnya, mengamati sekeliling rumah putih itu, lantas wajah tampannya pun menarik perhatian kedua ibu sosialita yang kebetulan lewat sehabis arisan. Mereka menatap pria itu mesem penuh minat. "Wah. Ya ampun! Mas ganteng nyari siapa toh Mas?" tanya salah satu ibu yang bertubuh gempal serta rambut dicepol. Pria tersebut, tidak lain adalah Bram tergelak lalu tersenyum tipis. Semakin memesona bagi mereka. "Rumah Anjani Zelena, benar yang ini bu?" tunjuk Bram pada rumah tersebut. Maka ibu yang bertubuh lebih kurus menyahut. "Iya benar pak. Ini rumah Anjani ibunya Clara, yang pakai tongkat itu loh." Bram menghembuskan napas lega, matan
Puas menumpahkan kerinduan lewat air mata, Anjani mematikan lampu kamar, menarik selimut sebatas dada, dan bersiap tidur. Namun baru saja memejamkan mata, tiba-tiba ponsel jadulnya di nakas berdering.Dia mengernyit ketika layar gawai itu menampilkan panggilan masuk dengan nama Pak Bian. Maka, mau tak mau Anjani menekan tombol hijau untuk menerima panggilan. Sempat beberapa detik sebelumnya wanita itu menguap."Selamat malam, Anjani," sapa Bian lembut di seberang sana.Dengan mata sayup-sayup hendak terpejam, Anjani menjawab tak kalah lembut, khas nada bicara wanita itu, "Iya selamat malam juga. Bapak ada perlu apa ya tiba-tiba nelpon saya?""Ada satu permintaan penting yang ingin kuberitahu."Anjani mengernyit, "Tidak bisa besok saja ya pak. Saya ngantuk hehe," ujarnya jujur. Di seberang sana Bian terkekeh."Sebentar aja nggak sampai lima menit kok.""Eng
Untuk kedua kalinya Anjani melangkahkan kaki ke mansion mewah milik CEO Pradipta Group, Bian Pradipta. Tidak ada perbedaan mencolok seperti terakhir kali ia bertamu, hanya saja, area taman depan lebih berwarna oleh tanaman yang disusun cantik dalam pot. Sepertinya, orang spesial yang baru datang itu suka menanam banyak bunga.Satu lagi perbedaan, kala netranya tak sengaja bertubruk dengan netra seorang perempuan cantik yang sibuk menyemprotkan cairan pupuk. Dia mengenakan pakaian biasa bukan pakaian pelayan. Mungkin saja, dia adalah salah satu anggota keluarga Bian.Dia melempar senyum manis hingga kedua lesung pipinya terlihat begitu jelas, Anjani pun membalas sama lebarnya. Perempuan itu menaruh cairan semprotan tadi lalu menghampiri Anjani dan membungkuk sopan."Selamat pagi, Nona. Selamat pagi, Tuan."Anjani tersenyum kikuk, dia sangat canggung ketika perempuan itu harus membungkukan badan. Padahal Anjani merasa dirinya tak perlu sampai diberikan peng
"Emm... maaf, maksud mama dia ini yang akan jadi calon istrimu?" koreksi Cintya, maklum dia tadi kaget dan malah kelepasan bicara. Terlebih melihat Anjani yang langsung menunduk, Cintya merasa tidak enak."Ah? Bu-bukan tante. Saya cuman teman pak Bian," jawab Anjani menggeleng cepat. Dia pun heran kenapa Cintya menyebutnya calon istri Bian, memang, ada dia memperkenalkan diri begitu sebelumnya? Huh, pasti ini kerjaan Bian.Anjani melirik pria itu, benar saja Bian langsung merespon dengan menggaruk tengkuk sambil menyengir. Ingin rasanya Anjani mencubit perut Bian sekeras mungkin. Belum minta izin, bisa-bisanya nyebut calon."Ouh begitu, tapi kata Bian tadi..."Bian memotong ucapan mamanya, "Bian kan bilangnya mau memperkenalkan seseorang aja, Ma. Bukan mau mempertemukan mama dengan calon mantu. Tapi semoga aja sih mantu mama tetap Anjani.""Loh pak?" Anjani tak habis pikir maksud pria itu.