Lahat ng Kabanata ng Jodi Ruman: Kabanata 21 - Kabanata 30
72 Kabanata
PAKET
Masih mengenakan bathrobe dan rambut yang basah, Afi menuruni tangga sebelah kanan. Langkahnya tergesa-gesa. Beberapa kali dia nyaris tergelincir karena kakinya yang basah tidak memakai alas.“Tadi aku dengar suara kayak benda jatuh. Ada apa?” tanya Tiara dari bawah tangga. Sebenarnya dia sudah keluar sejak mendengar suara itu. Dia bahkan yakin bahwa suara itu berasal dari kamar Egi. Dia tidak kembali keluar, menunggu sampai ada seseorang yang keluar dari kamar atas.“Egi kepeleset di kamar mandi,” jawab Afi. Dia masih di pertengahan tangga.“Hah? Kok, bisa?” Tiara ikut panik. “Terus gimana keadaannya?”“Kamu bisa cek sendiri. Saya mau cariin obat dan tukang urut dulu,” kata Afi sambil berlalu menuju dapur. Dia tidak berhenti sedetik pun, barang untuk berbicara dengan Tiara. Sementara itu, Tiara pun bergegas ke lantai atas tanpa bertanya lebih lanjut.“Bu Ani!” Afi memanggil pa
Magbasa pa
WANITA PANGGILAN
Afi menggendong kardus paket ke kamar. Ketika membuka pintu dia terpegun melihat Egi duduk bersila dengan muka mengeras. Kedua tangannya mengepal di atas paha. Sorot tajam yang menghunus ke arahnya membuat Afi gemetaran.Apa yang membuat mata itu menyiratkan amarah? Apakah Afi berbuat salah?“Masuk!” titahnya dingin.Tersugesti, Afi langsung menutup pintu dan mendatangi pria itu. Dia meletakkan kardus paket di atas nakas, lalu duduk perlahan di bibir ranjang. Sepanjang pergerakannya, mata itu terus mengekorinya dengan ketajaman yang sama.“Masih sa--”“Selain kamu, Bu Ani, dan Bu Yati, saya enggak pernah kasih izin perempuan mana pun masuk kamar ini.” Egi memotong tegas. Sorot matanya belum melembut.Kini Afi menelan ludah. Dia sudah menyadari inti kesalahannya.Sekarang permasalahannya adalah bagaimana cara meminta maaf kepada Egi? Apakah pria itu akan memaafkannya dengan mudah? Melihat sorot kemar
Magbasa pa
TAKUT HAMIL?
 Rupanya Egi tidak bercanda. Dia menyuruh Afi memakai HP-nya dan menelepon seorang wanita bernama Maddam Jane.Jelas, pada awalnya Afi menolak keras. Dia bertanya, “Kenapa bukan kamu aja yang telepon sendiri? Nomornya, ‘kan, udah ada.”Egi pun berkilah kalau jempolnya keseleo sehingga sulit menggulir layar HP. Kemudian Afi mengusulkan akan membantu mencarikan kontak Maddam Jane, tapi harus Egi sendiri yang bicara. Lagi-lagi Egi menolak. Dia malas berbicara.Pada akhirnya Afi luluh. Apalagi saat Egi mengaku sudah tidak tahan lagi. Daripada menjadi korban, Afi merelakan nama baiknya hancur karena berurusan dengan gigolo.“Hai, handsome! How are you? Lama enggak telepon Maddam. Gimana-gimana? Mau booking Maddam atau gadis-gadis Maddam yang kinclong? Maddam punya ‘intan’ baru, loh. Masih ‘ting-ting’. Buat kamu, Maddam kasih diskon 40%. Kebetulan malam ini dia tugas perdana. Mau coba?”A
Magbasa pa
TUKANG URUT
Bibir tipis dengan rona merah muda itu terkatup rapat. Kerongkongannya bergerak menelan liur yang terasa kasat. Semua kosa kata yang tertabung dalam otaknya raib. Lenyap entah ke mana. “Gini, ya, cantik. Kalau misalkan kamu takut pregnant, coba kenalan sama yang namanya pil atau suntik KB. Dijamin aman. Lagipula Egi itu pemain andal. Dia selalu pakai pengaman. Kalau enggak, dia pasti ngeluarin di luar,” papar Jane. Masih dalam sambungan telepon. Soal KB, Afi tidak perlu berkenalan. Obat semacam itu sudah sering berlalu-lalang di telinganya. Dia tahu betul apa fungsinya. Namun, tidak pernah terlintas di pikirannya untuk menggunakan obat semacam itu. Sekarang Afi paham, momok menakutkan apa yang membuatnya enggan berhubungan badan. Ini bukan soal kehamilan. Apalagi adat-istiadat. Ini perkara kesetiaan. Dia takut ditinggalkan ketika hatinya mulai terikat. “Kamu enggak perlu cemas soal pengetahuan. Egi itu jam terbangnya udah tinggi. Dia pasti bakal
Magbasa pa
AJAKAN JOGGING
“Maaf, ya, Mbak. Wa Jenggot, tuh, termasuk orang tua yang masih menjunjung tinggi adat istiadat dan norma agama. Laki-laki dan perempuan yang bukan siapa-siapa yang enggak boleh tinggal seatap. Apalagi tidur sekamar. Jadi, saya terpaksa bilang kalian suami-istri supaya dia enggak sewot,” papar Ani ketika Afi mendatangi dapur.Wanita itu baru saja berganti pakaian. Untungnya pakaian kemarin yang sudah dicuci masih tersimpan di ruangan khusus tempat penampungan pakaian bersih yang akan disetrika. Afi jadi tidak perlu kembali ke kamar untuk mengambil pakaian.Sebenarnya Afi sudah melupakan ucapan Ani di kamar. Dia ke dapur hanya untuk mengambil air putih. Haus.“Emmm, sebenarnya tadi saya juga bingung, sih, mau jawab apa.” Afi memindahkan kursi di meja makan ke kitchen island. Dia duduk di sana supaya lebih dekat dengan Ani dan Yati yang sedang berkutat dengan peralatan masak.“Kalau Bu Ani enggak bantu jawab, mungkin saya bakal
Magbasa pa
MENGGAGALKAN RENCANA LICIK
Kala itu, langit masih gelap. Lampu di setiap rumah dan jalanan masih menyala. Kendaraan pun masih sepi meskipun ada beberapa yang melibas dalam kecepatan tinggi. Namun, dua orang wanita yang mengenakan kapucong tengah berlari teratur di trotoar.“Kamu kerja di mana?” Wanita yang mengenakan hoodie merah muda bergambar minnie mouse bertanya kepada wanita di belakangnya. Setiap kata yang terucap dari bibirnya berkejaran dengan napasnya.“Rumah sakit. Bagian IT,” jawab wanita ber-hoodie putih polos. Pertukaran napasnya terdengar begitu payah. Bahkan orang yang mendengarnya saja dapat mengetahui, seberapa tipis stok oksigen yang tersisa dalam paru-parunya.Rupanya bukan hanya napasnya yang begitu sumbang, langkah kakinya pun tinggal menunggu waktu untuk tumbang. Kaki itu mengayun lambat. Terlihat berat. Bahkan terkadang doyong ke kiri dan kanan. Nyaris kehilangan keseimbangan.“Jabatannya? Masih staf?” tanya wanita itu lagi
Magbasa pa
HADIAH PERTENGKARAN
Langit mulai terang. Pemotor pun sudah ramai berlalu-lalang. Beberapa orang bergerumul, mengitari gerobak bubur ayam yang parkir di pinggir jalan. Bukan jalan raya, melainkan jalan kompleks yang luas sehingga kerumunan itu tidak menyebabkan kemacetan.Melewati orang-orang itu, Afi teringat dengan janji Tiara soal membelikannya bubur terenak di dekat rumah. Sayangnya, wanita itu ingkar. Dia pulang lebih dulu setelah perdebatan mereka berakhir.Sebenarnya tidak bisa dibilang berakhir. Bahkan belum selesai. Tiara meninggalkannya setelah mengeluarkan sumpah serapah penuh kebencian.“Egi?”Afi tersenyum tipis melihat pria yang berjalan di seberang jalan dengan arah yang berlawanan. Tidak seperti biasanya, pria itu membiarkan rambut sebahunya terurai. Tampak berantakan. Namun, hal itu tidak mengurangi tingkat ketampanannya.“Dari mana, sih?” tanya pria itu dengan suara keras. Garis wajahnya menunjukkan kekesalan tingkat tinggi.
Magbasa pa
CULUN TAPI CANTIK
Tanpa nurani, pria itu mengempaskan kantong plastik transparan berisi dua kotak styrofoam ke lantai. Rahangnya mengeras.Sejak melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Afi ditampar, rona wajahnya berubah menjadi merah padam. Matanya menatap nyalang ke arah si pelaku.“Kesalahan apa yang dia perbuat sampai kamu merasa berhak menampar dia?” tanyanya sambil melangkah lebar-lebar.Situasi ini jelas tidak menguntungkan bagi Tiara. Dengan statusnya sebagai mantan, apa pun yang akan dia katakan, Egi pasti akan membela wanitanya yang sekarang. Terlebih lagi dia memang salah.Tiara cukup merasa lega untuk sementara waktu karena ternyata Egi berhenti dan memeriksa pipi Afi. Ya, meskipun iri, tetap saja dia sedikit bersyukur. Setidaknya dia punya waktu untuk memikirkan alasan yang bagus terkait tamparan barusan.“Aish! Sialan!” Egi mendesis kesal mendapati merah di pipi Afi. Dia tidak perlu berbasa-basa, seperti menanyakan apaka
Magbasa pa
JUAL MOBIL, BELI RUMAH
Punggung tangan nan putih tengah mengapung di udara. Urat-uratnya yang hijau menyembul seperti akar pohon tua. Tulang dan buku jarinya sedikit menunjukkan eksistensi karena minimnya daging dan lemak.Tidak lama berselang, tangan itu disambut tangan lain yang warnanya sangat kontras. Tangan itu terlihat jauh lebih kokoh dari tangan yang dijabat.“Semoga awet, ya, Mas,” kata si pemilik tangan kurus dan putih yang tidak lain adalah Afi. Bibirnya tengah tersenyum sosial kepada lawan bicara.“Kalau enggak awet boleh saya balikin?” tanya pria berkacamata yang balas tersenyum padanya. Tentu saja hanya bercanda.“Jangan, dong, Mas! Kalau Mas balikin, harganya saya kurangi separo, loh,” ancam Afi yang juga dalam mode bercanda.Keduanya baru saja menyelesaikan transaksi jual-beli mobil di parkiran rumah sakit. Afi menerima transferan sebesar puluhan juta sebagai pengganti kunci dan mobilnya yang kini berpindah tuan.  
Magbasa pa
ONLY FOR YOU
Afi menghirup napas dalam-dalam, lalu mengembuskan perlahan. Tangannya menggenggam handle pintu kamar, tapi ragu untuk menurunkannya.Lima menit yang lalu, Afi baru sampai di rumah Egi. Dia berpapasan dengan Ani dan Yati yang hendak pulang. Wajah keduanya tampak kusut seperti orang yang tertekan.“Kenapa baru pulang, Bu?” tanya Afi sambil menatap keduanya bergantian.Setahu Afi, jam kerja keduanya hanya sampai jam lima sore. Sementara ketika itu, waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam.“Kita dipecat, Mbak,” jawab Yati dengan wajah murung.“Dipecat?”Tentu saja Afi terkejut. Alasan apa yang membuat Egi memecat asisten rumah tangga yang sudah bekerja dengan selama bertahun-tahun? Bukankah sewaktu dia di Kalimantan, mereka tetap bekerja di rumah ini meskipun hanya untuk bersih-bersih dua kali sehari?“Katanya Mas Egi mau pindah ke luar negeri. Rumah ini mau dijual,” terang Ani yang wa
Magbasa pa
PREV
1234568
DMCA.com Protection Status