Lahat ng Kabanata ng Jodi Ruman: Kabanata 31 - Kabanata 40
72 Kabanata
BERCERITA SAMBIL MENGGODA
“Saya enggak butuh ini semua, Om.”“Egi. Mulai sekarang saya melarang kamu memanggil saya Om. Panggil saya dengan nama. ‘Sayang’ juga boleh.”Egi merogoh saku celana dan mengeluarkan dua gelang hitam. Dia meletakkan salah satunya di laci. Kemudian meraih pergelangan kiri Afi.“Perhiasan yang itu boleh kamu pakai dan lepas kapan aja. Tapi, kalau yang ini ...,” Egi memberi jeda sebentar ketika fokus mengunci gelang, “enggak boleh dilepas.”Dia tersenyum memandangi gelang yang warnanya sangat kontras dengan kulit pergelangan Afi. “Kalau kamu tanya kenapa,” dia berhenti sebentar untuk mengecup bagian dalam pergelangan tangan yang putih dan mulus itu, “karena saya juga pakai gelang yang sama.”Kemudian Egi mengambil gelang yang satu lagi, lalu memberikannya kepada Afi. “Help me!” pintanya sambil mengulurkan pergelangan tangan kiri dalam keadaan terbalik.
Magbasa pa
WANITA HAMIL
Afi menuruni tangga rumah sambil memeriksa chat. Matanya hanya terpaku pada layar gawai. Bukan pada undakan yang bisa saja membuatnya terguling jika salah memijak.Dua jam yang lalu--tepatnya sebelum pulang kantor--dia mendapatkan chat dari Egi. Katanya, pria itu sudah sampai di bandara dan on the way menuju rumah.Tentu saja Afi antusias. Dia bergegas pulang. Bahkan ikut memasak bersama Yati dan Ani untuk menyambut kepulangan pria itu.Anehnya, sejak setengah jam yang lalu, chat pertanyaan tentang sudah sampai di mana Egi sekarang masih centang dua. Belum biru. Entah sudah dibaca melalui pop bar, tapi tidak dibuka di aplikasi atau pria itu memang belum menyadari balasannya.Afi merasa eneh. Pasalnya, jarak antara rumah dan bandara tidak lebih dari 8 kilometer. Satu setengah jam seharusnya sudah cukup untuk Egi sampai ke rumah ini. Namun, kenyataannya pria itu belum juga tiba.Awalnya, Afi berniat menelepon. Tidak enak rasanya memendam kekhawatiran
Magbasa pa
SENIMAN BANDEL
 “Are you okay?” tanya Egi. Mukanya pucat pasi. Tangannya gemetaran saat mengusap kepala Afi yang masih berada dalam dekapannya.Alih-alih menjawab, Afi malah menangis keras. Dia sampai meremas dada yang terasa sangat sakit.Egi memahami bahwa Afi belum bisa diajak bicara. Satu-satunya hal yang bisa dia lakukan adalah mendekap erat tubuh yang menggetar itu sambil mengecup puncak kepalanya. Dengan penuh rasa sesal, dia merapalkan permohonan maaf dalam bentuk bisikan.“Kamu ngapain, Gi? Ngapain?” tanya Afi yang masih menangis.Rasa kesal yang menyesakkan dadanya membuat Afi refleks menganyunkan kepalan tangan, memukuli dada Egi. Bukan jenis pukulan keras. Bahkan bagi Egi, pukulan itu tidak terasa sama sekali.“Kamu tau, ‘kan, saya butuh orang untuk melampiaskan sesuatu dalam diri saya?” Egi menjawab dengan pertanyaan retoris. “Saya enggak bisa melakukan itu ke kamu, jadi ....”
Magbasa pa
ROSMALINA DI JARI MANIS
Egi dan Afi sampai di lantai dua ruko. Berbeda dengan lantai dasar, di ruangan ini sangatlah sepi. Hanya ada suara dialog sinetron dan kucing anggora putih yang tidur di depan pagar tangga.Ruangan itu lega tanpa sekat. Terdapat TV LED yang menempel di dinding, sofa L yang menghadap TV, meja kaca berkaki pendek, kulkas di sudut ruangan, dispenser, lemari kecil, dan ranjang hitam seperti di tempat pijat atau spa.Pada salah satu sofa, duduklah seorang pria yang langsung menangkap kedatangan mereka. Pria itu tersenyum lebar, lalu beranjak mendatangi keduanya.“Halo, Mas!”Egi mengulurkan tangan kepada pria yang tubuhnya dipenuhi seni warna-warni. Pria itu balas menjabat tangan Egi dengan penuh antusias. Mereka juga membenturkan dada, pelukan ala pria.“Lama banget enggak main ke sini. Dengar-dengar kesasar di Kalimantan, ya?” Pria berkepala licin itu menepuk-nepuk lengan Egi yang berotot.“Iya, Mas. Kemarin belum
Magbasa pa
TRACK RECORD
Ketegangan yang dialami Afi rupanya dirasakan oleh Egi. Tentu saja. Tangan mereka masih berpagut. Perubahan kecil saja dapat Egi rasakan. Apalagi ketegangan yang sampai membekukan tangan itu.Tidak ingin Afi mencerna pemahaman yang salah, Egi pun buru-buru menjelaskan. “Sama kayak saya, Mas Bara ini langganannya Maddam Jane. Kamu ingat sama Maddam Jane, ‘kan?”Tidak menunggu Afi merespons, Egi lanjut menerangkan. “Yang namanya pelanggan dalam urusan begituan, otomatis kami udah ngerasain banyak perempuan. Mulai dari yang udah bersuami, tapi nekat cari uang tambahan dan kepuasan, sampai anak putus sekolah yang enggak tau bisa kerja apa, tapi mau dapat duit banyak.”“Tapi, seperti yang sudah pernah saya bilang, saya cuma berhubungan sama perempuan yang sama berengseknya dengan saya. Soal anak di bawah umur, saya enggak pernah tertarik. Mas Bara doang yang doyan sama begituan,” tambahnya yang ditanggapi Bara dengan taw
Magbasa pa
JODI RUMAN
Goresan tinta hitam saling terangkai, tersambung membentuk dua objek gambar; rumah dan kunci yang terpatri bersebelahan. Di atas keduanya terdapat akronim menarik dan menggelitik. Jodi Ruman.Tiga objek hitam itu terlukis kekal di kanvas berotot. Kanvas yang akan terus dibawa ke mana-mana. Kanvas yang menjadi pelindung organ penting dalam tubuh manusia, yakni hati.“Keren enggak, sih?” tanya si pemilik kanvas yang kini bertelanjang dada. Merangkak di atas ranjang. Mendatangi wanita yang duduk bersila sambil mengasuh bantal dan menopang dagunya.“No comment.”Meskipun menolak menjawab, senyum yang terlukis di wajah wanita itu sudah cukup bagi Egi. Dia merangkul Afi dan memberikan satu kecupan tipis di pelipis.“Saya boleh tanya beberapa hal?” tanya Afi. Dia tidak mempermasalahkan kecupan colongan yang Egi berikan. Ada beberapa hal yang mendominasi pikirannya sehingga masalah kecupan itu berlalu begitu saja.
Magbasa pa
SERANGAN DIMULAI
“Mbak Afi ngapain di situ?” Ani melotot heran melihat Afi makan apel sambil duduk di depan kulkas yang terbuka. Wanita yang menyengir tipis itu masih mengenakan piyama. Rambutnya terkuncir asal-asalan. Maklum, dia baru bangun sejam yang lalu.Yati yang sedang menggoreng bakwan sayur menimpali. “Lagi ‘ngadem’, Ni. Mungkin habis ‘pemanasan’ sama Mas Egi.”“Bu Yati ngomong apaan, sih? Enggak kayak gitu.” Afi membela diri. Dia menyesal tidak langsung menjawab pertanyaan Ani.“Ini memang kebiasaan saya, Bu. Dulu waktu saya tinggal sendirian di rumah, saya kalau bangun tidur, ya, duduknya di sini. Di depan kulkas yang terbuka kayak gini. Kalau ditanya kenapa, saya juga enggak tau. Saya suka aja sama hawa dinginnya. Punggung saya rasa adem,” paparnya cukup rinci agar tidak ada lagi kesalahpahaman yang menyudutkannya.“Kalau gitu habis sarapan kita ke toko elektronik, ya.”
Magbasa pa
MEMBATALKAN NIAT
“Mas Egi keterlaluan banget enggak, sih? Kasian Mbak Afi. Bilangnya sayang, tapi malah bawa perempuan nakal ke rumah? Maunya apa, sih? Mbak Afi itu dijadikan apa? Saya mau nangis, loh, lihat Mbak Afi yang tadinya ketawa-ketawa berubah jadi murung kayak gitu. Jadi ingat sama mantan suami yang selingkuh,” sungut Yati sambil membilas cucian piring dan cangkir.Ani yang sedang minum teh di kitchen Island menggumam membenarkan. “Tapi, saya justru heran sama Mbak Afi. Kok, dia diam aja, ya? Mau-mau aja lagi diajakin ke apotek beli pengaman. Apa dia enggak sakit hati sama kelakuan Mas Egi? Kalau saya jadi dia, pipi Mas Egi pasti udah habis saya gamparin.”Yati mendecakkan lidah. Dia meletakkan piring ke tumpukan dengan agak keras. Tindakannya mendapat teguran dari Ani.“Kesal, sih, boleh, Ti. Tapi, ya, jangan ngorbanin piring juga. Kalau pecah gimana? Mau gaji kamu dipotong?”Alih-alih menanggapi omelan Ani, Yati justru memuta
Magbasa pa
KELILIPAN
“Ha ... lo,” sapa Afi penuh keraguan.Pada akhirnya, Afi menjawab panggilan yang masuk ke nomor Egi. Panggilan itu berasal dari Tiara.Afi tidak menempelkan HP itu ke telinga. Dia mengapungkan benda pipi itu di tengah jarak antara dirinya dan Egi.Dia mengaktifkan loudspeaker agar Egi juga bisa mendengar apa yang dikatakan Tiara. Kalau perlu, pria itu harus mengambil alih jawaban jika dia tidak bisa menjawabnya.“Afi?”Suara di seberang juga terdengar ragu. Penuh kehati-hatian. Takut salah menebak. Namun, juga tidak ingin tebakannya benar.“Iya. Ini saya. Eginya lagi nyetir. Ini saya loudspeaker. Egi bisa dengar, kok, kamu ngomong apa,” papar Afi cukup detail agar Tiara tidak salah paham soal kenapa dia yang menjawab panggilan. Afi tidak ingin dituduh sebagai wanita posesif yang selalu ingin tahu tentang siapa yang berhubungan dengan pasangan.“Ooh. Aku cuma mau ketemu. Sebentar lagi kalian sa
Magbasa pa
TANGAN KOTOR
“Hati-hati, ya, Bu,” pesan Afi kepada Yati dan Ani yang hendak menaiki taksi online.Beberapa menit yang lalu, Egi hendak turun dari mobil untuk membuka gerbang. Namun, belum sempat kakinya menginjak tanah, seseorang sudah membukakan gerbang dari dalam. Ternyata orang itu adalah Ani yang hendak pergi ke toko elektronik bersama Yati.Masih dalam mobil, Egi memberikan kartu kreditnya kepada Ani. Dia juga menyebutkan warna, merek, dan satu barang lagi yang harus dibeli, yakni dispenser.Selain kartu kredit, Egi juga memberikan beberapa lembar uang seratus ribuan sebagai ongkos dan uang jajan untuk keduanya. Tentu saja uang itu disambut keduanya dengan penuh suka cita.Setelah taksi yang dinaiki Ani dan Yati melaju, Egi pun tancap gas masuk ke halaman rumah. Dia menurunkan Afi di depan tangga teras. “Gerbangnya biar saya yang tutup. Kamu masuk aja duluan,” pesan Egi sebelum berlalu menuju garasi.Tadinya Afi hendak
Magbasa pa
PREV
1234568
DMCA.com Protection Status