All Chapters of Jodi Ruman: Chapter 11 - Chapter 20
72 Chapters
MEMASTIKAN SESUATU
Afi tidak habis pikir, kenapa Tuhan menjungkirbalikkan hidupnya semudah ini? Dalam kurun waktu kurang dari 12 jam, kehidupannya berubah drastis. Berawal dari kebakaran, sekarang hidupnya diatur oleh seorang pelobi gila. Sialnya lagi, Afi tidak pernah bisa membantah pria ini.Jika dahulu Afi akan menghabiskan waktu berjam-jam untuk memilih pakaian, sekarang tidak sampai 20 menit dia sudah keluar dari satu gerai dan membawa 10 setel pakaian. Bukan dia yang berbelanja, melainkan si pelobi gila. Dia hanya bermodalkan anggukan ketika pria itu memilihkan satu jenis pakaian. Setelah itu, semuanya berakhir di kasir.Berpindah ke gerai pakaian dalam, barulah Afi bebas memilih sendiri. Pria itu hanya menunggu di depan gerai sambil menjaga tas belanjaan. Bukan Afi yang melarangnya ikut, tapi dia sendiri yang tidak mau masuk.“Sorry! Haram buat saya masuk ke toko pakaian dalam perempuan.”Begitu katanya ketika menghentikan langkahnya sendiri. Afi hanya me
Read more
MEALTING
Kemarin Afi gagal memahami maksud ucapan Egi. Apalagi pria itu juga enggan menjelaskan, sengaja ingin membuat Afi penasaran. Semua teka-teki itu terang benderang pagi ini.“Loh? Kamu mau ke mana? Mau jenguk orang?”Afi heran melihat Egi memarkir mobil di halaman rumah sakit. Bahkan tepat di sebelah mobilnya. Dari rumah, mereka berangkat beriringan. Namun, Afi tidak menyangka bahwa Egi akan mengikutinya sampai ke sini.Ya, Afi memang sempat salah paham. Dia mengira bahwa Egi nekat membuntutinya bekerja agar tidak menyeleweng. Maklum, kemarin pria itu benar-benar menegaskan bahwa Afi adalah miliknya. Bahkan Egi tak sungkan melarang Afi dekat-dekat dengan pria lain.Afi merasa beruntung karena prasangka tadi hanya tersimpan dalam hati. Seandainya tadi mulutnya frontal menuduh Egi membuntuti karena over possesive, maka Afi yakin tidak dapat menanggung malu.“Kantor saya di sana.” Egi menunjuk ruko tiga lantai di sebelah rumah sa
Read more
WARNING!
“Pagi!” Afi masuk ke markas IT sambil menyapa anak buahnya seperti biasa.“Loh? Udah masuk, Bu?” Salah satu anak magang yang tadinya bermain game mempertanyakan kemunculan Afi.“Iya. Kok, udah masuk?” Pria berkacamata yang berdiri memegang mug beruap ikut bertanya. “Padahal rencananya, nanti sore kita semua mau ke rumah Ibu,” tambahnya. Kemudian melangkah menuju meja yang berada tepat di samping ruangan Afi.“Saya udah enggak punya rumah. Jadi, sekarang udah waktunya ngumpulin pundi-pundi buat beli rumah baru,” jawab Afi sambil berjalan menuju ruangannya. Namun, begitu melewati meja pria berkacamata tadi, Afi mendadak berhenti. Dia menoleh, menatap anak magang yang duduk di samping dispenser. Anak itu kembali fokus bermain game.“Itu namanya siapa? Saya lupa,” tanya Afi pada pria berkacamata sambil menunjuk si anak magang.“Tito,” jawab si pria.Kemudian Afi
Read more
MINTA PENDAPAT
Afi memejamkan mata. Menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. Kegiatan itu diulangi sebanyak tiga kali, barulah pikirannya terasa tenang.Meski tidak benar-benar merasa plong, setidaknya Afi mendapatkan jalan keluar. Dia bangkit dengan tenang, lalu mengambil tas dan meninggalkan ruangan.“Jer!” panggilnya saat berhenti di depan meja pria berkacamata. “Hari ini saya enggak jadi masuk. Tolong handle kerjaan yang berhubungan sama saya, ya. Saya harus pulang. Mama saya datang ke tempat tinggal yang baru. Enggak enak kalau saya biarin beliau sendirian,” terangnya tenang tanpa ada yang ditutupi.Afi telah berhasil mengurangi kadar kepanikan yang sempat menguasai dirinya. Dia tidak ‘gerasa-gerusu’ seperti saat mendengar berita rumahnya terbakar. Dia menyadari bahwa tingkat urgensi situasi kali ini tidak semendesak kemarin. Mamanya hanya berkunjung ke rumah. Bukankah tidak ada yang salah dengan niat baik itu?Awalnya, hal yang membuat Afi panik adala
Read more
KEJUJURAN MEMBIMBING JALAN
Afi mencium tangan seorang wanita paruh baya yang baru saja menuruni taksi online. Wanita itu adalah Kikan, mamanya.Meskipun sebagian besar rambutnya sudah memutih, keriput di wajah Kikan tidak terlalu kentara. Tubuhnya tidak gemuk dan tidak kurus. Tidak ada lemak di perut dan lengan atas yang menggelambir. Bisa dibilang masih terlihat kencang. Punggungnya masih tegak dan caranya berjalan tidak menunjukkan masalah persendian di lutut. Bahkan dia masih mengenakan heels lima senti. Dia terlihat sangat bugar untuk ukuran wanita berusia 52 tahun.“Enggak sama Papa?” tanya Afi setelah mengintip kursi belakang taksi yang tidak lagi berpenghuni.“Enggak. Papamu lagi sibuk banget.”Sebenarnya, Afi tidak hanya memeriksa keikutsertaan papanya. Dia was-was menunggu, apakah sopir akan keluar dan mengeluarkan koper dari bagasi atau tidak.Diam-diam, Afi mengembuskan napas lega karena sopir melajukan mobil tanpa mengeluarkan apa pun dari bagasi. Sementara itu, m
Read more
AMBIGU
Afi dan Egi was-was menunggu keputusan Kikan. Jika Afi memilih pasrah pada apa pun perintah mamanya nanti, Egi justru mempersiapkan diri untuk menentangnya. Tekatnya sudah bulat. Mantap. Dia tidak akan melepaskan Afi, sesulit apa pun keadaannya.Egi belum pernah seingin ini memiliki wanita. Dia tidak tahu, dorongan apa yang membuatnya enggan melepaskan Afi. Padahal Afi bukanlah orang yang baru dikenalnya. Mereka terikat keluarga dan cukup sering berjumpa. Namun, kebersamaan kemarin membawa dampak besar pada kehidupannya. Dia seolah terbelenggu oleh rantai yang tidak kasat mata. Belenggu itu mengikatnya dengan sang keponakan.“Kamu bisa menjaga kepercayaan Mbak?” tanya Kikan pada Egi.Alih-alih menganggukkan kepala agar segalanya lebih mudah, Egi malah menggeleng. “Enggak, Mbak. Saya enggak mau menjaga kepercayaan orang lain. Nyusahin.”Afi berdeham amat pelan karena kerongkongannya kesulitan menelan ludah. Rasanya sudah seperti menelan benda kasat. Haus.
Read more
KELUAR JALUR
Kikan hendak mendorong pintu mobil, tapi batal karena teringat sesuatu. Dia segera memutar badan menghadap si sopir.  “Apa yang mau kamu lakukan?” tanyanya.“Soal?” Sebelah alis Egi terangkat.“Tiara. Kamu enggak berniat menyatukan mantan dan anak Mbak di bawah naungan atap yang sama, ‘kan?” Kikan tidak perlu mendengar soal cinta dari mulut adik sepupu dan putrinya. Melihat bahasa tubuh keduanya sudah cukup untuknya mengambil satu kesimpulan. Keduanya jatuh cinta.Selama 52 tahun, Kikan sudah melewati banyak masa dan bergaul dengan orang-orang yang membawa ragam kisah cinta. Cinta tidak melulu perkara pandangan pertama. Ada cinta yang baru bertumbuh setelah 20 tahun bersahabat karib. Ada pula cinta yang berawal dari kebencian. Dalam kisah Afi dan Egi, mungkin keduanya belum menyadari. Mereka hanya mengikuti dorongan hati. Si pria penuh obsesi dan si wanita tidak ingin melepaskan diri. Keinginan keduanya untuk tetap bersama me
Read more
STATUS MINE
Egi dan Afi berjalan bersisian menuju ruang tamu. Keduanya sama-sama diam. Bedanya, Afi menatap lurus ke depan, sedangkan Egi menengok lurus ke samping. Tepatnya, Egi sedang memandang keponakannya. Namun, jenis tatapannya bukan memuja, melainkan tanda tanya.Sadar dipandangi, Afi pun merasa risi. Meski begitu, dia tidak menampakkan sikap kikuk. Tanpa menoleh dia bertanya tenang, “Kenapa, sih? Saya cantik banget, ya?” “Biasa aja.” Egi menolak jujur. Namun, dia enggan merotasi kepala dan memindahkan poros pandangannya. “Terus, kenapa melototin saya terus?”“Saya enggak melotot. Biasa aja.” “To the point aja. Kamu mau ngomong apa?” Afi berhenti dan merotasikan tubuh menghadap Egi.Melakukan hal serupa, Egi menelengkan kepala dan menggumam panjang. “Kalau saya enggak salah ingat, kemarin kamu bilang enggak doyan makanan apa pun, apalagi yang berbahan ikan. Benar enggak?”Afi mengangguk. “Kamu bingung kenapa saya mau makan pempek?” teba
Read more
LULUH
Suasana di rumah ruang tamu mendadak hening. Afi menjadi pusat perhatian karena menunduk terlalu dalam.“Kenapa diam?” tanyanya. Wanita itu membunuh keheningan dalam keadaan menunduk.Berhubung tidak ada jawaban, Afi berupaya keras menormalkan ekspresi wajahnya. Dia juga tidak lupa memasang senyum terbaik sebelum mendongak.“Lanjutkan aja. Saya enggak apa-apa,” ucapnya seolah baik-baik saja.Egi tidak bodoh. Dia paham betul bahwa Afi berbohong. Binar mata yang menyiratkan luka itu membuatnya dirundung perasaan bersalah.Ingin rasanya Egi berlutut pada detik itu juga. Memohon maaf dan meluruskan maksud yang sebenarnya. Namun, egonya terlalu tinggi. Menistakan harga diri di depan mantan yang pernah menyakiti bukanlah pilihan satu-satunya. Egi memilih untuk melanjutkan misinya mengusir Tiara.“Baju-baju kamu sudah dikemasi. Cek aja. Siapa tau ada yang belum dimasukkan,” ucapnya dingin.Tidak ada lagi n
Read more
KESIALAN BERUNTUN
Hanya mengenakan pakaian dalam, Afi berdiri di bawah guyuran air shower. Dia menikmati aktivitas ini dalam diam. Dia menyukai suara pantulan air yang menghantam tubuh dan lantai.Sayangnya, ketenangan yang dirasakan Afi tidak bertahan lama. Semuanya raib dalam sekejap ketika seseorang membuka pintu tanpa permisi. Afi refleks memekik terkejut dan menutupi badan sebisa mungkin menggunakan tangan.“Ups! Kaget, ya?”Tidak ada ekspresi bersalah. Justru pria yang baru masuk dan mengunci pintu itu melenggang tenang sambil tersenyum.“Ngapain ke sini?” tanya Afi dengan mata melotot.  Langkahnya bergerak mundur ke sudut kamar mandi. Dia masih berusaha menutupi badan yang setengah telanjang.“Ngapain lagi? Ya, mandi, lah.” Egi menjawab sambil membuka kancing kemeja.“Hah?”Afi semakin terbelalak. Bola matanya seakan hendak melompat dari kelopak yang sempit itu.“Pakai kamar mandi di bawah, ‘kan, bisa. Kenapa harus di sini? Saya belum se
Read more
PREV
123456
...
8
DMCA.com Protection Status