“Mbak Afi ngapain di situ?” Ani melotot heran melihat Afi makan apel sambil duduk di depan kulkas yang terbuka. Wanita yang menyengir tipis itu masih mengenakan piyama. Rambutnya terkuncir asal-asalan. Maklum, dia baru bangun sejam yang lalu.
Yati yang sedang menggoreng bakwan sayur menimpali. “Lagi ‘ngadem’, Ni. Mungkin habis ‘pemanasan’ sama Mas Egi.”
“Bu Yati ngomong apaan, sih? Enggak kayak gitu.” Afi membela diri. Dia menyesal tidak langsung menjawab pertanyaan Ani.
“Ini memang kebiasaan saya, Bu. Dulu waktu saya tinggal sendirian di rumah, saya kalau bangun tidur, ya, duduknya di sini. Di depan kulkas yang terbuka kayak gini. Kalau ditanya kenapa, saya juga enggak tau. Saya suka aja sama hawa dinginnya. Punggung saya rasa adem,” paparnya cukup rinci agar tidak ada lagi kesalahpahaman yang menyudutkannya.
“Kalau gitu habis sarapan kita ke toko elektronik, ya.”
“Mas Egi keterlaluan banget enggak, sih? Kasian Mbak Afi. Bilangnya sayang, tapi malah bawa perempuan nakal ke rumah? Maunya apa, sih? Mbak Afi itu dijadikan apa? Saya mau nangis, loh, lihat Mbak Afi yang tadinya ketawa-ketawa berubah jadi murung kayak gitu. Jadi ingat sama mantan suami yang selingkuh,” sungut Yati sambil membilas cucian piring dan cangkir.Ani yang sedang minum teh di kitchen Island menggumam membenarkan. “Tapi, saya justru heran sama Mbak Afi. Kok, dia diam aja, ya? Mau-mau aja lagi diajakin ke apotek beli pengaman. Apa dia enggak sakit hati sama kelakuan Mas Egi? Kalau saya jadi dia, pipi Mas Egi pasti udah habis saya gamparin.”Yati mendecakkan lidah. Dia meletakkan piring ke tumpukan dengan agak keras. Tindakannya mendapat teguran dari Ani.“Kesal, sih, boleh, Ti. Tapi, ya, jangan ngorbanin piring juga. Kalau pecah gimana? Mau gaji kamu dipotong?”Alih-alih menanggapi omelan Ani, Yati justru memuta
“Ha ... lo,” sapa Afi penuh keraguan.Pada akhirnya, Afi menjawab panggilan yang masuk ke nomor Egi. Panggilan itu berasal dari Tiara.Afi tidak menempelkan HP itu ke telinga. Dia mengapungkan benda pipi itu di tengah jarak antara dirinya dan Egi.Dia mengaktifkan loudspeaker agar Egi juga bisa mendengar apa yang dikatakan Tiara. Kalau perlu, pria itu harus mengambil alih jawaban jika dia tidak bisa menjawabnya.“Afi?”Suara di seberang juga terdengar ragu. Penuh kehati-hatian. Takut salah menebak. Namun, juga tidak ingin tebakannya benar.“Iya. Ini saya. Eginya lagi nyetir. Ini saya loudspeaker. Egi bisa dengar, kok, kamu ngomong apa,” papar Afi cukup detail agar Tiara tidak salah paham soal kenapa dia yang menjawab panggilan. Afi tidak ingin dituduh sebagai wanita posesif yang selalu ingin tahu tentang siapa yang berhubungan dengan pasangan.“Ooh. Aku cuma mau ketemu. Sebentar lagi kalian sa
“Hati-hati, ya, Bu,” pesan Afi kepada Yati dan Ani yang hendak menaiki taksi online.Beberapa menit yang lalu, Egi hendak turun dari mobil untuk membuka gerbang. Namun, belum sempat kakinya menginjak tanah, seseorang sudah membukakan gerbang dari dalam. Ternyata orang itu adalah Ani yang hendak pergi ke toko elektronik bersama Yati.Masih dalam mobil, Egi memberikan kartu kreditnya kepada Ani. Dia juga menyebutkan warna, merek, dan satu barang lagi yang harus dibeli, yakni dispenser.Selain kartu kredit, Egi juga memberikan beberapa lembar uang seratus ribuan sebagai ongkos dan uang jajan untuk keduanya. Tentu saja uang itu disambut keduanya dengan penuh suka cita.Setelah taksi yang dinaiki Ani dan Yati melaju, Egi pun tancap gas masuk ke halaman rumah. Dia menurunkan Afi di depan tangga teras.“Gerbangnya biar saya yang tutup. Kamu masuk aja duluan,” pesan Egi sebelum berlalu menuju garasi.Tadinya Afi hendak
Benarkah cinta mengubah seseorang menjadi bodoh dan dungu? Jika iya, berarti Afi sudah terjangkit.Definisi bodoh dan dungu yang Afi rasakan adalah ketika dia menuruti permintaan Egi untuk menyuapinya makan mie. Selain itu, dia juga tunduk dan patuh ketika Egi memintanya membasuhkan tangan yang kotor akibat perbuatan binal bersama wanita lain.“Nanti malam buatkan mie lagi, ya,” pinta pria itu ketika Afi menggosok tangannya menggunakan sabun cair.Afi mengangguk saja. Tidak ada keinginan untuk menolak ataupun mengabaikan. Sayangnya, dia tidak bisa mengukir senyum setipis pun. Hatinya terlalu perih untuk biaa mencetak senyuman.“Are you okay?” tanya Egi sambil memeluk Afi dari belakang. Kedua tangannya selesai dibasuh dan dikeringkan. Namun, posisi mereka masih di depan wastafel toilet dapur.“Iya.” Afi menjawab seadanya sambil menatap pantulan dirinya dan Egi di balik cermin.“Kamu merasa dikhianati?
Afi sedang membaca novel di teras depan rumah ketika HP-nya berdering. Panggilan dari Dian, abangnya.“Halo, Bang!” sapanya tanpa melepaskan buku yang terbuka.“Kamu jual mobil, Dek?” tanya Dian to the point. Terdengar nada shock dalam suaranya.Afi mengiakan dengan tenang. “Abang tau dari mana?”Dian menyebutkan situs jual-beli barang bekas yang mewadahi iklan mobil Afi kemarin. “Kenapa, Dek? Kamu butuh uang? Mobilnya udah laku?”Afi baru ingat kalau dia belum menghapus iklan itu. Pantas saja hingga saat ini masih banyak yang menanyakan soal mobilnya.Afi menggaruk kepala. Bingung harus menjawab apa.Kalau dia mengatakan mobilnya sudah laku dan uangnya digunakan untuk tambahan membeli rumah, Afi yakin Dian akan mengontrol rumah itu. Sayangnya, rumah itu tidak jadi ditempati karena bujukan Egi. Rumah itu terpaksa diiklankan untuk kontrak atau sewa.Sekarang dia harus menjawab apa?
Afi mengekori ke mana pun Egi melangkah. Pria itu menuju kulkas, dia mengiringi. Masuk toilet, dia pun menunggui. Mencuci mug, dia berdiri di belakang.Sayangnya, meskipun sudah menempel seperti permen karet, Egi tampaknya tidak terganggu sama sekali. Pria itu tetap diam. Bahkan menatap Afi pun enggan.“Saya salah apa?” tanya Afi pada akhirnya. Dia nyaris putus asa menjadi bayang-bayang yang tidak dianggap keberadaannya.Sejak obrolan bersama Dian berakhir, sikap Egi berubah. Dia tidak berbicara sepatah kata pun, baik kepada Afi maupun Dian yang kini beristirahat di kamar tamu. Bahkan dia tidak melirik Afi barang hanya sedetik.Tentu saja Afi menyadari perubahan yang begitu signifikan. Egi yang biasa selalu menempel, tiba-tiba menjauh. Egi yang selalu mengumbar kalimat manis dan membuat hatinya menghangat mendadak bungkam tanpa alasan. Egi yang selalu menatapnya penuh kekaguman kini enggan melakukan kontak mata dengannya.Hanya ada satu
“Udah, dong, Dek. Jangan nangis mulu! Malu sama umur,” ledek Dian setelah memasangkan plester luka untuk mengunci perban yang membalut betis Afi.Setelah terperosok di antara papan yang patah, kaki kanan Afi mendapatkan banyak luka dan memar. Mulai dari mata kaki, betis depan dan belakang, lutut dan pertengahan paha. Luka yang paling parah terdapat di betis depan. Luka itu cukup banyak mengeluarkan darah. Bahkan ada serpihan kayu yang sempat menancap.Dengan semua luka yang didapat tentu saja membuat Afi tersiksa. Dia menangis sepanjang Dian mengobati lukanya. Bahkan ingusnya sampai meler, tidak terkira banyaknya.“Sakit, Bang.” Afi membela diri. Dia tidak akan menangis separah ini kalau lukanya tidak seberapa.“Iya. Abang tau. Tapi, nangismu itu, loh. Kayak anak kecil. Jaga image dikitlah. Udah tua juga.”“Sakit kayak gini mana bisa peduliin image dan usia, Bang. Ini kakiku udah kayak mau copot aja rasanya
“Mbak Afi!” pekik Ani dengan mata terbelalak. Sapu di tangannya dilempar begitu saja. Dia berlari menuruni tangga teras untuk membantu Dian yang memapah Afi berjalan.“Mbak kenapa? Kok, bisa kayak gini?” tanyanya sambil memindai kaki Afi. Dimulai dari paha sampai ujung kaki yang sudah tidak memakai sendal.Baru saja Afi hendak menjawab, suara lain yang jauh lebih besar dan sedikit serak menginterupsi perhatiannya. “Oleh-oleh dari mana itu?” tanya pria itu sambil menuruni tangga tergesa. Raut wajahnya tidak santai sama sekali. Gurat kekhawatiran menghambur di mana-mana.Sama seperti yang dilakukan Ani, pria itu memindai kaki Afi penuh ketelitian saat mereka berhadapan. Bedanya, Egi memindai mulai ujung kaki hingga paha.“Jadi ini alasan kamu enggak jawab pertanyaan saya di telepon?” Egi mulai menyerang Dian yang mengangguk apa adanya.Egi membuang napas sambil meraup kasar wajahnya. Sebenarnya dia ingi