Lahat ng Kabanata ng Perawan Menjadi Taruhan: Kabanata 21 - Kabanata 30
40 Kabanata
Cemburu
Drrrttt ... Drrrttt ... Drrrttt ....Celine terbangun mendengar suara telepon berbunyi. Dia mengambilnya di nakas, melihat siapa yang meneleponnya pagi-pagi begini.Drrrttt ... Drrrttt ... Drrrttt ....Ternyata bukan ponselnya yang berbunyi. Dia melihat lagi, ternyata ponsel suaminya yang berdering sejak tadi."Kak, bangun. Ada telepon." Dia mencoba membangunkan Bisma yang sedang tertidur disebelahnya. Namun, lelaki itu enggan. Matanya masih tertutup, tak mau bangun sama sekali. Semalaman dia merajut kasih dengan istrinya, sehingga pagi ini hanya tersisa kelelahan."Kak!" Guncangannya kali ini agak keras dari yang sebelumnya. Matanya sempat melirik ke arah jam. Pukul enam pagi. Di harusnya segera bangun dan mandi bersih, menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim."Apa?" Suara serak Bisma terdengar. Matanya setengah terbuka. Tangannya masih melingkar di tubuh istrinya. Tak mau melepaskan. Dia masih ingin bermanja."Ini." Celine me
Magbasa pa
Ketahuan
Sedikit tergesa-gesa wanita itu menarik lengan anaknya menuju travel yang sudah menjemput kedatangan mereka. Tidak ada rencana pulang ke tanah air, hanya hatinya berkata, ada sesuatu yang harus dia ungkap. Beberapa bulan terakhir ini, ada yang mengganjal dari hubungan pernikahan mereka."Ayo, Devan. Cepat sedikit." Langkahnya yang panjang, tidak bisa diimbangi oleh kaki kecil itu."Ma, pelan-pelan jalannya." Anak itu bersungut-sungut, bibirnya menekuk."Maaf, Nak. Mama ngejar waktu. Harusnya kita udah sampai sebelum papa pulang kerja."Wajah anak itu berbinar saat mamanya mengucapkan kata-kata itu. Sudah sekian bulan mereka berpisah, dia rindu kepada papanya. Biasanya mereka bermain apa saja. Namun, karena dia harus mengikuti mama bertugas, kebersamaan dengan papanya menjadi hilang.Mobil travel itu melaju membelah jalanan ibu kota. Pemandangan gedung bertingkat dan hilir mudik kendaraan y
Magbasa pa
Perasaan
Mata cantik itu mengerjap beberapa kali. Suasana ruangan ini sudah tidak asing baginya. Ini kamarnya yang berada di rumah, bukan apartemen di Jerman.Tiara mengangkat kepala yang terasa berat, lalu perlahan duduk dan menyandarkan diri di headboard ranjang. Dia menarik napas dalam, mencoba mengingat apa yang sudah terjadi.Mereka baru tiba dari bandara dan pulang ke rumah, lalu mendapati suaminya sedang menelepon mesra seorang wanita.Ya Tuhan. Kepalanya kembali berdenyut. Rasanya sekeliling kamar menjadi berputar. Lalu, Tiata baru menyadari bahwa dia sendirian di kamar ini.Entah di mana Bisma, Devan dan penghuni rumah yang lainnya. Saat hendak turun, Tiara mendengar suara pintu dibuka. Bisma masuk dengan cepat dan langsung mendekatinya."Jangan bangun dulu. Kamu istirahat aja, ya."Bisma membantu Tiara untuk duduk kembali ke
Magbasa pa
Kecewa
Celine berjalan tegak memasuki gedung perkantoran itu. Bangunan mewah, megah yang tegak menjulang di tengah congkaknya ibu kota.Dia agak ragu sebenarnya melangkahkan kakinya ke tempat ini. Namun, tekad di dadanya sudah bulat. Dia ingin segera menyelesaikan semuanya. Sudah hampir dua bulan ini tidak ada kabar dari Bisma, suaminya.Beberapa kali di menghubungi lewat telepon tapi kurang di respons. Pesannya hanya di balas sesekali, itu juga singkat. Satu hal yang masih rutin dia dapatkan adalah transferan untuk anak-anak.Bisma seperti menghilang begitu saja, sejak telepon terakhir setelah kedatangan istrinya.Celine tidak bisa diperlakukan seperti ini. Dia tidak mau digantung, ingin kejelasan mengenai hubungan mereka. Apakah dia masih dianggap sebagai istri atau tidak. Jika lelaki itu sudah tidak menginginkannya, baiknya dia diceraikan.Hatinya sakit. Merasa diri seperti barang, diambil dan
Magbasa pa
Serah Terima
"Selamat sore. Benar ini dengan Ibu Celina Andini?" Suara seorang lelaki menyapa saat Celine mengangkat teleponnya. "Benar. Ini dengan siapa, ya?""Saya Fauzan. Notaris-nya Bapak Bisma," jawabnya."Oh. Ada apa ya? Saya sudah tidak berhubungan dengan Bapak Bisma lagi." Dia menjawab. Bibirnya gemetaran setiap kali nama lelaki itu disebut oleh siapa saja. Bahkan, di rumah panti mereka, nama itu keramat, Onah dan yang lain tidak boleh menyebutnya. Di tempat kerja juga begitu, Siska memilih untuk diam dan tak mau bertanya apa pun lagi mengenai hubungan mereka. "Saya mengundang Ibu untuk datang ke kantor kami. Ini mengenai jual beli rumah yang akan diproses atas nama Ibu.""Maksudnya?""Bapak Bisma, memberikan rumah yang sudah ibu tempati sebagai hak milik." Begitulah penjelasannya. "Tapi, saya ...""Saya harap ibu bersedia datang ke kantor kami pukul sepuluh besok pagi. Alamat akan kami berikan setelah
Magbasa pa
Kisah Baru
Sebuah mobil Avanza terparkir cantik di depan rumah itu. Suara mesinnya yang menggema, membuat anak-anak yang sedang asyik bermain, berlarian keluar, ingin melihat siapa yang datang. Kaki kecil mereka nampak lincah melenggang. Suara tawa mengiringi langkah menuju teras depan. "Kakaaakk ..." Mereka berteriak saat melihat siapa yang keluar dari mobil itu. Lalu mulai berbisik-bisik saat melihat seseorang lain ikut berjalan bersisian dengan kakak mereka."Siapa itu yang datang sama kak Elin?""Ih, omnya ganteng.""Mobilnya bagus, ya.""Pasti kaya.""Eh, omnya bawa oleh-oleh. Asyik."Entah apa lagi yang diucapkan anak-anak. Mereka terlihat sangat antusias saat Celine dan Fauzan membuka pagar, masuk menuju rumah itu. "Ayo masuk. Kakak bawa kue nih. Cuci tangan dulu, ya." Senyum manis tercipta di bibirnya. Anak-anak itu kembali berlarian masuk ke dalam rumah.Fauzan yang sedari tadi hanya diam memperhat
Magbasa pa
Telepon
Bunyi dering ponsel membangunkannya. Tangannya bergerak meraba benda pipih itu di nakas. Setengah matanya masih tertutup. Dia masih mengantuk. Kepalanya juga terasa berat."Halo.""Pagi, Bos." Terdengar sebuah suara menyapanya."Oh, ya. Gimana?""Udah selesai sesuai dengan pesanan. Serah terima surat jual beli dan sertifikat tanahnya beres. Lu udah bisa bangun perumahan di situ.""Oh, oke. Tengkiu, ya." Dia bangun dan bersandar di headbord ranjang. Melirik ke sebelah, istrinya sudah tidak ada di sana. Matanya menangkap jarum jam yang menunjukkan pukul sepuluh pagi.Ternyata dia bangun kesiangan. Semalam suntuk dia bergadang, menyelesaikan semua laporan proyek yang sudah separuh berjalan. Ada banyak kejanggalan dan kontraktor yang dia temukan. Tapi tidak fatal, mereka hanya nakal sedikit. Masih bisa dimaafkan."Lu baru bangun, ya?" Terdengar suara tawa di seberang sana."Iya, nih. Ngantuk banget gue," jawabnya."Tapi proy
Magbasa pa
Bertemu Lagi
Celine turun dengan tergesa-gesa dari motornya. Setelah membuka helm dan menyimpan jaket di jok, dia segera masuk ke tempat makan itu. Jam di tangannya menunjukkan pukul satu lewat. Itu berarti dia terlambat lima belas menit dari waktu yang disepakati.Hari ini dia berjanji akan bertemu dengan seorang pemilik yayasan yang melindungi anak jalanan. Celine ingin meminta perlindungan, agar anak asuhnya tidak ditarik kembali ke jalanan oleh beberapa preman pasar.Sebenarnya dia takut. Beberapa kali mendapat ancaman. Apalagi sekarang penghuni rumah panti semakin bertambah, dia merasa perlu untuk meminta bantuan dari pihak tertentu yang memiliki pengaruh.Satu hal yang patut dia syukuri, hadirnya Fauzan di kehidupan mereka membawa dampak positif, dia banyak dikenalkan dengan beberapa orang penting, sehingga sampai saat ini rumah panti mereka aman.Hanya dia merasa risih, sepertinya lelaki itu mengharapkan hubunga
Magbasa pa
Penolong
Celine memasukkan barang-barang ke dalam kantong belanja. Sepulang dari restoran tadi, dia mampir ke mini market terdekat. Membeli beberapa barang diskonan.Sebenarnya paling enak jika diantar Fauzan, karena kalau pakai mobil bisa muat lebih banyak. Tapi tak apalah, mumpung hari ini dia off, sekalian saja. Motornya penuh, jadi dia membawanya pelan-pelan.Tak terasa hari sudah sore, bahkan hampir gelap. Dari tadi dia asyik memilih sampai lupa waktu. Ikan yang dibungkus tadi, bakal dihangatkan lagi untuk makan malam anak-anak.Bles!Motornya tersendat dan terguncang. Hampir saja dia jatuh. Dia turun dan menepikan kendaraannya. Semangatnya hilang melihat ban motor yang amblas. Sepertinya bocor, ada paku yang menancap.Dia melihat sekeliling, tidak ada tukang tambal ban. Bengkel juga sudah banyak yang tutup. Hampir pukul enam sore saat dia melirik ke arah jam tangannya.Sediki
Magbasa pa
Rembukan
Enam pasang mata itu terlihat serius membicarakan sesuatu, sampai hidangan yang ada di meja menjadi dingin karena tak tersentuh sama sekali. Di detik terakhir, semua mata tertuju kepada satu orang."Celine, baiknya kamu lepaskan panti asuhan ini untuk kami kelola. Nyawa kamu menjadi taruhan jika tetap bersikeras melanjutkannya." Wanita itu menatap gadis di depannya dengan kasih sayang. Sedangkan yang ditatap, memandang semua orang yang ada di situ dengan perasaan yang gamang. Rumah panti ini sudah bertahun-tahun dia kelola dengan susah payah hingga mengorbankan segala sesuatu, termasuk masa depannya. Betapa cintanya begitu dalam kepada anak-anak itu membuatnya lupa untuk membahagiakan diri sendiri. Baginya, melihat mereka tertawa dan bahagia itu adalah pencapaian terbesar dalam hidup. Cukup, sekalipun dia tak dilimpahkan materi berlebihan. "Tapi saya tetap boleh menjenguk mereka kan, Bu?" Air mata yang sedari dia tahan perlahan menetes. Tak sanggup r
Magbasa pa
PREV
1234
DMCA.com Protection Status