Semua Bab Ruang Rindu: Bab 11 - Bab 20
31 Bab
Pt. 10 : Pak Juan Ternyata bukan Pria Perut Buncit
Aku masih menampakkan wajah baik-baik saja setelah mak sumi memaksa Alana pergi beberapa menit yang lalu, parahnya teriakan Alana yang mencaci maki ku membuat kerumunan di depan warung makan itu. Beberapa orang menghampiriku dan menepuk pundakku seakan memberi kekuatan, mereka orang-orang berusia paruh baya yang berjualan di sekitar kampus juga, dan pastinya aku sering ngobrol sama mereka. "Aku baik-baik aja kok pak, bu..." kataku beberapa kali dengan senyuman yang ku buat setulus mungkin. Mak Sumi sampai nggak habis pikir, beberapa kali kudengar beliau mengumpati Alana dengan suara lirih, lucu juga rasanya melihat wanita yang biasanya bersikap lembut bisa sekasar itu ucapannya. "Ada apa kok rame kaya gini?" Tanya mak Dayah yang baru masuk aku hanya terkekeh, beberapa orang menatapku prihatin. "Aku habis di labrak rentenir... haha," sahutku terbahak, sakit ya? Gimana enggak? Seingatku aku nggak pernah ngutang ke bank, koperasi atau bahkan rentenir. Sejauh ini aku n
Baca selengkapnya
Pt. 11 : Teror Dari Kos-kosan lama
"Jadi bapak juga tau kalau Ara di lirik lagi?" Tanyaku pada seseorang di balik ponselku. "Cuma nguji kamu masih ingat pesen bapak enggak," jawab bapakku enteng membuatku mendengus. "Katanya ada yang nyusupin kokain pak?" tanyaku tiba-tiba ingat percakapan Pak Juan tadi. "Nggak cuma kokain," "Iya Ara tau pak, bapak inget kan pas Ara ngasih tau temen dari Fikes tingkat dua  ada yang jual mbako aceh yg itu..." "Kenapa?" "Sebelum Ara di kasus sama Rektorat Ara nyobain, ternyata nggak seratus persen mbako pak..." "Kamu nglinting?" Nada bicara bapak sudah tinggi, bakal jadi salah paham ini. "Nggak gitu, kan temen UMKM ada yang beli itu. Trus Ara penasaran... Ara deketin trus pegang teksturnya... kok pas anaknya ngisep langsung kaya gitu, Ara cium aromanya. Ara pernah nyium aroma mbako aceh yang di bawa om Deni, beda pak... terus Ara nemuin dokter Mahar, katanya emang ada ganjanya, kadar 40-60 sama mbakonya..." je
Baca selengkapnya
Pt. 12 : Kalau Bukan Fauzi Lalu Siapa?
 "Berhenti mengikuti dia!" Tegas dan cukup untuk membuatku mematung seketika, aku menoleh dan membola. "Pak Juan?!" Aku masih terkejut menatapnya lalu beralih ke tempat dimana aku tadi melihat orang yang mirip Fauzi, dan aku menelan ludah secara paksa. Disana hanya ada toko-toko yang berjajar rapi tanpa ada seorangpun yang berperawakan mirip Fauzi. "Dia siapa? Emang siapa yang saya ikuti?" tanyaku memasang wajah datar pada lelaki yang menggunakan pakaian kasual itu. "Saya tau kamu ngikutin dia," ujar pak Juan menunjuk jalan yang tidak ada siapa-siapa. "Awalnya di nggak tau kamu bakal ngikutin dia, tapi kalau sampai dia tau? Bang!" sambung pak Juan berlagak menembak kepalaku dengan gerakan jarinya. "Meskipun mungkin dia orang yang kamu kenal, sebuah misi yang terancam gagal menghalalkan petugasnya melenyapkan saksi mata." kata pak Juan lalu berbalik arah, sepertinya dia akan ke perpusda. Aku mengikutinya, menatapnya aneh. "Pa
Baca selengkapnya
Pt. 13 : Siapa Kamu Sebenarnya?
"Fauzi? Lawan?" Tanyaku masih tak mengerti. Otakku seketika menangkap kemungkinan-kemungkinan yang selama ini mampir sejak kejadian Silvi di hubungin orang dengan bilang seseorang datang menemuiku. "Apa yang kamu rasain tadi pas ngerasa liat orang yang mirip Fauzi tapi penampilannya beda?" "Aku merasa perlu meyakinkan kalau itu dia," jawabku setelah berpikir sejenak. "Padahal dia sama sekali nggak mirip Fauzi, dari sisi manapun. Kenapa orang yang pertama kamu pikirkan dia Fauzi?" Tanya Juan membuatku semakin heran, aku juga sempet mikir gitu. Tapi feelku merasa dia Fauzi. "Karena di alam bawah sadar kamu sudah menganggap dia lawan, mau berpenampilan seperti apapun kamu bisa merasakan kalau dia adalah musuhmu." Aku masih diam menatap Juan, aku sempat berpikir ini bukan novel, tapi kenapa yang ku alami hampir sama dengan cerita yang pernah aku baca. Nggak mungkin kan aku masuk dalam tokoh novel, ini semua nyata. "Terus kenapa kamu tau aku ngejar dia
Baca selengkapnya
Pt. 14 : Dalam Kondisi Terdesak Semua Orang Bisa Jadi Penjahat
"Apa menurutmu aku sebaik itu membiarkan saksi mata tetap hidup?" Kata Kang Candra berbisik di telingaku dengan aura dingin ya ku akui, belati itu masih ia tekankan duajari di bawah telingaku. "Kamu emang nggak sebaik itu, tapi terimakasih karena sudah memasang penyadap di rumah ini, jadi pemancarnya mudah di lacak..." kataku berusaha tenang, ini hanya peruntungan saja. Kalau memang dia lah yang pertama kali menaruh penyadap disini itu artinya mudah membalikkan keadaan, bodohnya aku memang tidak paham tentang bela diri, tapi siapapun orang dalam kondisi terdesak selalu bisa menjadi penjahat kan? Persetan kalau nanti akhirnya aku jadi pembunuh. Kurasa kang Candra tidak seperti Juan yang bisa membaca pikiran orang hanya dari sikap yang ditunjukkan, nggak ada salahnya pura-pura tenang sambil bersiap memukul mundur. "Ra! Sebenarnya sejauh mana kamu tau semuanya?!" teriak kang Candra terdengar frustasi melepaskanku dan memasukkan lagi belati ke sarungnya yang ternyata d
Baca selengkapnya
Pt. 15 : Don't Leave Me Gidae!
Aku merasa duniaku berbalik, aku bahkan tidak merasakan sakit. Tidak lagi takut tentang hari esok. Aku bernafas sesukaku. Aku menatap pakaianku, aku nggak suka warna putih polos, tapi aku nyaman menggunakan pakaian ini. Apa ini aku sudah lepas dari duniaku? Untuk pertama kalinya dalam hidupku bisa melihat dengan mata kepala pohon apel dengan buah yang merah menggoda, aku mendekati pohon itu. Saat aku mengangkat tanganku ingin mengambilnya, seperti dahan itu sengaja menundukkan diri agar aku bisa mencapai buahnya tanpa kesulitan."Jangan di makan!" Aku terkejut, apel yang hampir ku makan jatuh entah kemana. Aku berbalik badan melihat seseorang dengan tinggi melampuiku, mata hitam legam yang tampak teduh menatapku. Wajahnya putih bersih, aku seperti pernah melihatnya tapi dimana? Aku menatapnya heran dengan perasaan yang kupikir terlalu tenang, biasanya aku akan marah saat seseorang menghalangiku makan, tapi kenapa ini aku biasa saja? Kenapa aku lebih tertarik den
Baca selengkapnya
Pt. 16 : Kecelakaan Yang Di Rencana
Aku menatap bapak intens, "apa polisi yang mengabarkan kerumah gak bilang apa-apa?" "Mereka cuma bilang ini kecelakaan tunggal, dan kamu satu-satunya yang selamat..." kata kak Farhan, ibuk dari tadi gak ngomong apa-apa. Beliau hanya memelukku dan menangis, aku tau ibukku sangat takut. Aku pernah melewati masa kritis saat kelas 3 SMK, bedanya waktu itu terjadi aku dalam pengaruh gendham yang memang pengirimnya menginginkan nyawaku. Sedangkan sekarang murni kecelakaan. "Biasanya bapak bisa tanya ke polisi apa-apa, kenapa bapak gak tanya?" ujarku ngerasa aneh juga. "Karena yang datang itu orang e sok banget mbak! Junior abal abal merasa bener sendiri ya gitu..." sahut Vian membuat bapak dan kak Farhan terkekeh. Bukan hal baru jika seorang oknum akan merasa hebat saat berhadapan dengan orang awam."Bapak udah bilang sama Juan," kata bapak menjeda ucapannya sesaat, "dia akan membantu pengusutan kecelakaan ini, apalagi dari keterangan yang kamu sampaikan ke p
Baca selengkapnya
Pt. 17 : Gidae Adalah Harapanku
"Mbak belum tidur?" Tanya Vian menyadarkanku dari lamunan, dan melihat ponselku yang sudah mati. "Baru bangun, terus hubungin Silvi..." jawabku akhirnya setelah sadar panggilan tadi sudah berakhir. "Mbak serius mau ngilang?" tanya Vian lalu mendekatiku dan duduk di dekatku. "Serius..." "Temen-temen mbak kan ada juga yang deket sama aku, kalau mereka cariin mbak gimana?" "Bilang aja kamu nggak tau," "Oke, kalau itu bisa ngobatin sakitnya mbak aku dukung aja..." "Janji ya yan, ibuk sama bapak jangan sampai tau aku di usir dari kosan..." "Iya..." "Beneran?" "Iya mbak... kak Farhan juga udah bilang ke aku kemarin, masalah kos mbak jangan sampai bapak ibu tau. Kak Farhan takut bapak sama ibu mikir... nanti kalau aku udah ada duit aku bantuin mbak...""Nggak usah, untuk urusan kos yang satu ini nggak usah. Aku akan menyelesaikannya dengan caraku..." "Mbak jangan sungkan sama aku...""E
Baca selengkapnya
Pt. 18 : Nggak Jadi Nikah
"Mohon maaf, dengan tidak mengurangi rasa hormat saya kepada bapak Andika sekeluarga. Saya menolak pinangan ini..." kataku dengan sekali tarikan nafas, nggak sia-sia semalaman berusaha menghafal kalimat itu. Setelah seharian kemarin aku membuat wajah ibu murung meskipun beliau selalu menampakkan keceriaannya di depanku, setidaknya bapak dan ibu tidak memaksakan kehendak seperti yang Vian katakan beberapa minggu yang lalu. Aku tidak perlu ragu menolak Juan, pada akhirnya dia akan menemukan wanita yang lebih baik dan sempurna untuk berdiri sebagai makmum di belakangnya. Dengan segala basa-basi nya acara lamaran ini berakhir dengan penolakan dariku, aku langsung pergi tanpa harus mengucapkan maaf yang kelewat batas. Untuk alasan dan kawan-kawannya biar bapak yang menjelaskan pada rombongan Juan. Aku memutar roda kursiku menuju taman samping rumah, sore ini suasana yang sejuk membuatku ingin bercengkerama dengan segenap anggrek yang sudah menjadi penghuni tetap tamanku. 
Baca selengkapnya
Pt. 19 : Rapat Ala Vian
"Aku akan pulang ke Gwangju Ra..." Aku masih diam menatapnya yang asik makan malam dari layar ponselku, aku tak tau harus mengatakan apa. Bagiku dia akan berada di pulau yang berbeda denganku terasa berat, meskipun kedekatan kami hanya sebatas teman. "Ah, aku tiba-tiba ingat semua pesan yang kau kirimkan padaku. Jadi kamu perawat ya?" katanya membuatku ingat satu hal, aku cuti sudah hampir satu semester, dan belum mendapat pekerjaan apapun. Ditambah dengan aku yang masih teraphy jalan, bahkan semua artikel yang ku kirim ke perusahaan jurnalis tidak pernah mendapat balasan. Bapak dan ibuku juga sedang dalam masa pemulihan ekonomi, hampir setiap hari orang tuaku pergi pagi dan pulang sore. Vian sudah kembali ke pekerjaannya, dan kak Farhan sudah sibuk dengan magangnya. "Nggak, aku cuti bang.""Cuti?""Iya, sudah hampir satu semester. Entah kenapa aku malah nggak ada keinginan untuk melanjutkan lagi. Aku mau mengejar cita-citaku untuk jadi dokter, meski
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234
DMCA.com Protection Status