Semua Bab Istri Sebatas Status: Bab 11 - Bab 20
82 Bab
11. Wanita yang Sangat Menarik
Siluet sebuah benda yang melayang tepat ke arahnya memicu gerak refleks Aksa untuk segera menangkap benda itu. Sebuah bantal kini berada di dalam genggaman tangannya. Aksa memutar kepala ke kiri. Tampak Agnes sedang merapikan tempat tidur. Bersikap seolah-olah dia tidak tahu apa-apa mengenai bantal terbang yang menyasar tubuh Aksa. 'Ah, nyaman sekali bisa berbaring seperti ini,' pikir Agnes setelah merasakan penat di sekujur tubuhnya akibat prosesi pernikahannya dengan Aksa. Kelopak matanya yang sempat terkatup rapat mendadak terbuka lebar. Dia terlonjak bangkit, lantas duduk bersila di atas pembaringan. “Kamu boleh tidur di atas sofa itu.” Agnes menunjuk sofa besar yang terbentang di bawah jendela kamarnya. Pandangan Aksa mengikuti arah jari telunjuk Agnes. Sebuah sofa besar berwarna ungu gelap seperti memang sudah siap menyambut kehadirannya. 'Yang benar saja!' gerutu Aksa dalam hati. Dia tidak pernah bermimpi bahwa di malam pertama pernikahannya dia akan diminta untuk tidur
Baca selengkapnya
12. Stempel Kepemilikan
Menjejakkan kaki di dalam kamar, Aksa mendapati atmosfer ruang kamar itu seperti sedang dihantam angin badai disertai sambaran petir. Agnes berdiri di depan cermin, lalu balik badan begitu mendengar pintu berderit pelan dan Aksa berdiri di sana. Wajah cantiknya telah beralih rupa menjadi sosok dedemit yang sangat mengerikan. Kedua matanya melotot merah seakan-akan siap memancarkan sepasang sinar laser dari sana untuk meluluhlantakkan sekujur tubuh Aksa menjadi serpihan debu, yang akan menghilang tertiup angin. Gigi gerahamnya saling bertaut dan mengerit kuat. Membayangkan daging dari setiap bagian tubuh suaminya itu sedang dikunyahnya sekuat tenaga. “Masih pagi kok teriak-teriak,” komentar Aksa, berusaha memasang wajah setenang permukaan air danau tanpa embusan angin. “Ada apa?” “Kamu?!” Agnes menggeram. “Apa yang kamu lakukan pada tubuhku?!” Agnes menarik kerah bajunya lebar-lebar dan mengancakkan dua bercak merah keunguan yang menghiasi leher putih jenjangnya. Aksa menyeringai
Baca selengkapnya
13. Pesta Kecil
Kyra mengangkat kepala. Dia sangat mengenali suara itu. Refleks dia memutar kepala ke arah pintu. “Papaaa ….” Jeritan leganya berkumandang ketika melihat sosok Aksa berdiri di tengah pintu dengan kedua tangan terisi penuh. Kyra menghambur ke dalam pelukan papanya, tepat pada saat Aksa menjatuhkan beban di tangannya dan berjongkok menyambut kehadiran Kyra. “Aku kira Papa tidak akan pulang,” cerocos Kyra, bergelayut manja pada leher papanya. “Itu mustahil, Sayang …” sanggah Aksa sambil terus berjalan menuju sofa dengan Kyra tetap berada di dalam gendongannya. Sejuta tanya memenuhi kepala Ainun. Ingin rasanya dia menguntai tanya itu satu per satu, tetapi diurungkannya. Dia tidak ingin melenyapkan senyum bahagia yang merekah di bibir putri kecilnya hanya karena menuruti naluri seorang wanita. Ainun merapikan lagi penampilan Kyra setelah Aksa mendudukkan gadis itu di atas sofa. Kristal bening yang tadi sempat menghujani wajah imut Kyra kini telah sirna, tak berbekas. Digantikan oleh
Baca selengkapnya
14. Kelindan Tanya Dalam Resah
Ainun melangkah gontai menuju kamar tidur Kyra. Dibukanya pintu secara perlahan. Pemandangan Aksa mendekap hangat tubuh Kyra yang sudah tertidur lelap langsung terekam jelas dalam retina matanya. Sudut bibirnya spontan melengkung naik, membentuk seulas senyuman. Ada kehangatan yang menjalari hatinya saat mendapati betapa besar kasih sayang Aksa untuk Kyra. Lelaki itu benar-benar bertindak sebagai seorang ayah yang menjadi kekasih pertama bagi putrinya. Seiring pendar rembulan yang kian memudar di luar sana, senyuman Ainun pun turut sirna ditelan resah. Apa yang salah dengan dirinya hingga lelaki itu tidak pernah lagi tertarik untuk menyentuhnya? Seminggu setelah pernikahan mereka, Aksa pamit untuk berangkat ke luar kota sehubungan dengan pekerjaannya. Janjinya hanya dua hari, tetapi ternyata suaminya itu pulang terlambat. Sebenarnya Ainun tidak mempermasalahkan hal tersebut. Melihat Aksa kembali pulang saja dia sudah sangat lega setelah sempat dirundung gelisah. Hanya saja, dia tid
Baca selengkapnya
15. Sepertinya Kau Butuh Bantuan
Pagi ini cuaca lebih dingin dari biasanya. Namun, dinginnya hati Ainun yang dipagut sunyi jauh lebih membekukan aliran darah daripada tebalnya gumpalan halimun yang menyelimuti puncak gunung. Sepintas lalu tidak ada yang salah dalam rumah tangga mereka bila dilihat oleh orang luar. Mereka tak pernah bertengkar. Selalu rukun dan damai. Aksa sangat bertanggung jawab terhadap segala kebutuhan keluarga secara finansial. Kalau saja Aksa memenuhi kebutuhan nafkah batinnya sebagai seorang wanita, sungguh Ainun merasa hidupnya benar-benar sempurna. Hidup dalam kesederhanaan, tetapi cukup dan penuh dengan kasih sayang, akan lebih membahagiakan daripada tinggal di sebuah mahligai indah dan bergelimang harta. Namun, selalu diwarnai dengan pertengkaran serta sikap saling curiga. Akankah mimpi itu mewujud di dunia nyata? Ainun melayangkan pandang pada sosok Aksa yang sedang menikmati sarapan pagi, sepiring nasi goreng dan secangkir kopi. Tatapan teduhnya terpaku pada wajah tampan Aksa. Suaminya
Baca selengkapnya
16. Ambigu
“Stop!” Agnes merentangkan tangan kanannya bak seorang polisi wanita yang sedang menghentikan laju kendaraan dari arah depan. Detak jantungnya menggila seperti telah berolahraga selama berjam-jam. “Jangan bergerak!” Aksa semakin memangkas jarak di antara mereka. Ketika lelaki itu mengulurkan tangan, Agnes kontan mematung. Kedua kakinya tercacak dan tak mampu bergerak. Sekujur tubuhnya kini bagai ditotok pada setiap titik sehingga hanya bisa tegak bergeming. Bola matanya bergerak liar, mengikuti setiap gerakan Aksa. Lelaki itu kian memepet dirinya. Saking dekatnya, kini dia dapat menghirup aroma parfum yang menguar dari tubuh suaminya itu. Keharuman musk tercium sangat sensual dan hangat. Memberi kesan lembut dan elegan sehingga menghadirkan rasa nyaman sekaligus membangkitkan reaksi feromon dalam diri Agnes. Tanpa sadar, Agnes memejamkan mata. Menikmati sensasi tenang yang didapatnya dari wangi tubuh Aksa. Dia sangat menyukai aroma itu. Aksa menangkap sesuatu yang merayap lambat
Baca selengkapnya
17. Jaga Ucapan Anda!
“Aku tak menyangka jam kerja Anda sangat santai, Nona Agnes!” Kehadiran Agnes di kantornya disambut dengan sapaan bernada sindiran oleh Nevan. Tangan kiri lelaki itu bersembunyi di dalam saku celana, sementara sebelah tangan lainnya sibuk mengembang buku desain Agnes. Tak sedikit pun Nevan berpaling kepada Agnes. Tatapannya fokus pada skesta desain setengah jadi, hasil karya imajinasi Agnes. Dia harus mengakui bakat dan kemampuan istimewa rekan bisnisnya itu. “Aku baru tahu seorang Tuan Nevan terbiasa bersikap bebas seperti di rumah sendiri saat sedang bertamu dan tuan rumah tidak ada.” Gerakan jari-jari Nevan sontak menegang. Dia melepaskan buku desain Agnes dan secepatnya balik badan. Giginya mengerit erat. Wanita yang berdiri di depannya itu benar-benar terlihat angkuh. Wajah datar Agnes membuat Nevan ingin menghukum wanita itu dengan caranya. “Jadi, begitu caramu menghormati rekan bisnis yang sedang bertamu?” Nevan terpaksa meredam kejengkelannya lantaran ia sadar bahwa saat
Baca selengkapnya
18. Kita Tidak Seakrab Itu
Agnes tiba di kantor Nevan sepuluh menit lebih awal dari jadwal seharusnya. Dia memilih untuk langsung menemui para model yang menunggu di ruang khusus. Bercengkerama dengan mereka lebih menyenangkan daripada menghabiskan waktu dengan obrolan kosong yang membuat tegang urat leher bersama Nevan. Seperti menemukan bongkahan berlian, para model tersebut semangat sekali berbincang-bincang dengan Agnes serta berkonsultasi seputar dunia mode. Agnes pun tak segan-segan berbagi tips dan trik untuk menyiasati penampilan agar tetap terlihat gaya dan trendi, walaupun dengan stok pakaian lama. “Kenapa Anda tidak memberitahuku kalau Anda sudah datang, Nona Agnes?” Suara bariton Nevan menghentikan obrolan santai Agnes dan para model cantik tersebut. Semuanya langsung terdiam seperti baru saja melihat hantu lewat di depan mereka. “Kalau aku tahu, aku tidak akan membiarkan mereka mengganggu Anda seperti sekumpulan semut mengerubuti sebutir kembang gula.” Nevan melanjutkan komentar pedasnya tanpa
Baca selengkapnya
19. Asal Rasa Benci Itu Bermula
Keberadaan mahasiswa yang tidak diketahui identitasnya itu dapat mengurangi sedikit rasa takut Agnes. Namun, beberapa detik kemudian pikirannya berubah. Bagaimana kalau ternyata mereka adalah preman kampus yang suka mengisengi gadis-gadis? Terbayang aksi brutal beberapa mahasiswa berandal yang pernah melecehkan teman sejurusannya, Agnes bergidik. Dia pun berinisiatif untuk mengambil langkah seribu. “Oke. Akan kubuktikan pada kalian bertiga!” lantang sebuah suara, menghentikan langkah Agnes. Rasa penasaran menggiring kaki Agnes untuk bergerak mundur alih-alih melarikan diri dari sana. Merasa mengenali suara tersebut, Agnes menempelkan kuping pada daun pintu. “Jangan panggil aku Nevan kalau aku tidak berhasil membuat Agnes bertekuk lutut dan tergila-gila padaku!” Riuh tepuk tangan bergema seperti deru air bah di telinga Agnes. Tubuhnya membeku. Ketakutan yang tadi sempat menggerogoti keberaniannya telah beralih rupa menjadi gelegak amarah. Dia merasa terhina karena dirinya telah dija
Baca selengkapnya
20. Menggantang Asa Dalam Angan
Embusan angin membelai permukaan kabut tebal yang menggantung, menariknya perlahan ke atas dan mengajaknya menari seperti awan tipis berarak gemulai. Ketika kabut tipis itu menghilang, Agnes mendapati sebuah ruangan mewah bak istana, mengambang di atas gumpalan awal tebal yang tetap bertahan di tempatnya, tak ikut melebur bersama tarian bayu yang mencabik-cabik sebagian dari ketebalannya. Iris mata Agnes menatap kagum pada seorang bocah perempuan berusia lima tahun yang sedang asyik bermain boneka. Kulit beningnya terbalut gaun putih dengan mahkota tiara, bertakhtakan intan permata. “Bundaaa! Kakak nakal lagi ….” Bocah tersebut tiba-tiba berteriak nyaring tatkala seorang bocah laki-laki berusia tujuh tahun merampas dan membawa lari boneka kesayangannya. Seorang perempuan berparas cantik berjalan menghampiri si gadis cilik. Jubah kebesaran seorang ratu menambah anggun penampilannya. Diusapnya pipi mulus bocah kecil itu sembari tersenyum lembut. “Kakak hanya menggodamu,” komentarny
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
9
DMCA.com Protection Status