Semua Bab Miracle You: Bab 21 - Bab 30
46 Bab
Masuk Rumah Sakit
Elisabeth POV. Aku mengikuti para perawat yang mendorong tempat tidur itu dengan ekspresi yang sangat cemas. Lorong IGD rumah sakit yang awalnya tak begitu ramai, kini terdengar gaduh dengan suara derit roda dari tempat tidur yang di dorong dari dalam ambulance tadi. Berkali-kali aku menggigit bibir, merapalkan doa agar kekasihku yang sekarang tidak sadar ini baik-baik saja. Bagaimanapun juga, aku merasa sangat bersalah dengan kejadian ini, meskipun aku tak yakin jika ini sepenuhnya adalah salahku. Aku kira, semua berjalan begitu baik ketika kami sudah sama-sama saling memagut dalam sebuah hasrat yang meletup-letup di tubuh kami. Aku kira, semuanya akan berjalan dengan mulus. Tapi, aku tidak tahu apa penyebabnya. Adrian kembali memegangi kepalanya, berteriak histeris lalu pingsan. “Anda tunggu di sini.” Seorang suster menghadangku tepat di depan pintu resusitasi. Ia lalu menutup pintu dengan cepat, meninggalkan aku yang terpaku dengan cemas. B
Baca selengkapnya
Cemburu
Elisabeth POV. Aku menemaninya duduk di pinggir jendela kamar inapnya dengan tak banyak suara. Pria itu tampak sangat menikmati posisinya saat ini. Matanya sejak tadi terpaku ke luar jendela yang dingin, menatap beberapa tukang kebun rumah sakit yang tengah sibuk membersihkan sekitar. Di udara sedingin ini, aku tak melihat satu pasien pun keluar dari ruangannya untuk menikmati suasana di luar, mungkin mereka enggan. Udara dingin hanya akan membuat mereka bertambah sakit. “Ini mirip seperti de’javu.” Gumamnya tenang tanpa menoleh ke arahku. Aku menatapnya dari samping. Pria yang sekarang mengenakan baju rumah sakit itu tampak menyunggingkan senyumnya sedikit. Meskipun pucat, ia terlihat masih sangat tampan. “Apa maksudmu?” tanyaku. “Aku selalu merasa familiar dengan keadaanku yang seperti ini El.” Ia mendongak menatapku. “Rumah sakit, bau aromatherapy, obat, alcohol, dan duduk di tepi jendela menyaksikan orang-orang beraktifitas di luar sana.”
Baca selengkapnya
Salju Pertama
Elisabeth POV. Sebenarnya aku tidak setuju dengan keinginan Adrian untuk pulang hari ini. Bagaimana kalau dokter Antony atau nenek Anna marah melihat Adrian meninggalkan rumah sakit dan aku yang disalahkan? Bagaimanapun juga, kondisinya belum stabil karena masih harus mendapatkan beberapa obat melalui vena-nya. Namun dari sikap Adrian yang bersikeras dan juga kalimatnya yang merupakan sebuah perintah seperti tadi membuatku mengalah. Aku tahu ia pasti akan sangat marah padaku jika aku tak menurutinya. Salju tiba-tiba turun ketika kami baru saja masuk ke dalam taxi. Cuaca malam cukup dingin, berkali-kali aku mencoba mengeratkan mantel yang menutupi tubuhnya agar ia tidak kedinginan. “Aku tidak kedinginan El….” Katanya ketika aku baru saja selesai memasang sebuah syal di lehernya. Bukannya menerima itu dengan terimakasih, ia malah menatapku tidak suka lalu melepas syal itu dan memakaikannya padaku. “Aku tahu kamu lebih kedinginan.” Gumamnya. “Aku tidak m
Baca selengkapnya
Tentang Masa Lalu
Elisabeth POV. “Aku pikir kau tidak akan datang.” David menyambutku dengan senyuman mengejeknya di balik kemudi. Aku menutup pintu mobil, lalu menoleh padanya. “Kalau aku benar tidak datang, apakah kamu akan pulang?” Pria itu tertawa, lalu menyerahkan segelas kopi padaku. “Ini…minumlah…” Aku menerima kopi itu dengan sedikit ragu. “Tenang, aku tidak menaruh racun sianida di dalam situ.” Aku menimang-nimang kopi itu sebelum akhirnya memegangnya dengan erat. “Aku juga tidak berfikir begitu.” Klik! Aku berhasil memasang seat belt dengan satu tanganku. “Aku hanya berfikir, jika kamu menginginkan sesuatu dariku ketika memberikan sesuatu seperti ini.” David tersenyum sinis sambil melajukan kendaraannya. “Apa kamu selalu berfikiran buruk tentangku El?” tanyanya tanpa menoleh. “Iya.” Sahutku jujur dan langsung membuat mata pria itu melebar sempurna. “Jujur sekali?” tolehnya sekilas. “Semenjak kamu menghil
Baca selengkapnya
Sentuhan Panas
Adrian POV. Aku menatap salju yang kembali mulai turun malam ini. Hatiku resah. Berkali-kali kuayunkan langkahku menuju gerbang hanya untuk memastikan Elisabeth sudah datang. Namun nihil, taka da yang melintas selain anjing liar yang kedinginan mencari makan. Aku mengambil ponselku lalu mencari namanya di antara barisan nama di kontak teleponku. Meskipun ia terlalu bahagia berkumpul dengan keluarganya, namun ia harus segera pulang. Karena hari semakin malam, dan salju semakin turun dengan deras. Aku tidak mau wanitaku kedinginan, dan bahkan tidak bisa pulang karena terjebak hujan salju nanti. Bukannya mendapatkan jawaban, ponsel itu malah mati. Hanya terdengar suara operator yang menyapaku dengan ramah, namun tak semerdu suara gadis yang sedang aku tunggu malam ini. Aku mendengus, lalu memakai mantelku. “Mau kemana Adrian?” tanya nenek ketika melihatku sudah mengenakan sepatu. “menjemput Elisabeth di depan nek.” Sahutku lantas berlalu.
Baca selengkapnya
Restu Mama
Elisabeth POV. Aku melihat Andreas duduk terpekur di kursi tunggu rumah sakit dengan air muka keruh. Di sampingnya, berdiri Rebecca dengan wajah yang tak kalah cemas. Sesekali ia mengintip ke dalam IGD melalui jendela kaca buram itu, namun aku tahu jika hasilnya nihil karena di dalam banyak aktivitas dan ia juga tidak tahu mama di periksa di bagian mana. “Bagaimana mama?” langkahku terhenti tepat di depan Andreas. Pria itu mendongak menatapku, sebelum akhirnya pandangannya beralih pada Adrian yang mengikutiku dari belakang. Mungkin Andreas terkejut karena aku tidak datang sendirian. Begitu juga Rebecca, ia juga menatap Adrian dengan ekspresi yang serupa. “Tadi tiba-tiba ia pingsan El.” Rebecca yang menjawab. Ia berjalan mendekatiku lalu menepuk pundakku pelan. “Tenanglah, dokter pasti bisa merawatnya dengan baik.” Aku mengangguk pelan, meskipun kalimat Rebecca sama sekali tidak bisa mengobati perasaanku. Semua orang pasti terkejut, terlebih ak
Baca selengkapnya
Malam Panas Bersamamu
“Maaf menunggu lama……” Adrian membalikkan badan ketika mendengar suara itu menyapa telinganya. Senyumnya mengembang tiba-tiba dan diam-diam mengangumi gadis yang kini terlihat cantik dengan dress warna brick diatas lutut itu. Wajahnya tampak semakin manis dengan make up tipis serta rambut panjangnya yang dibiarkan terurai. “Kamu cantik!” pria itu tidak bisa menyembunyikan kekagumannya, membuat gadis yang berdiri di depannya itu tersipu malu. “Jadi, kemana kita pergi tuan muda?” ia menyusupkan tangannya di lengan Adrian. Bukannya menjawab, Adrian lebih memilih mengayunkan langkahnya meninggalkan pavillium. Elisabeth hanya mengangkat bahu, ia yakin jika ada sebuah kejutan yang disiapkan pria itu untuknya. Dan benar saja, di depan rumah tampak sebuah mobil limousine terparkir rapi di sisi jalan. Di depan mobil itu berdiri seorang lelaki patuh baya dengan jas hitam. Melihat kedatangan Adrian dan Elisabeth, pria itu lantas membukakan pintu. “Apa in
Baca selengkapnya
Pria Sempurna
Samantha tidak bisa menyembunyikan rona bahagianya ketika pagi ini di meja makan, papanya—Jacob Clark mengatakan bahwa siang ini Samantha harus menggantikannya untuk bertemu dengan Adrian Smith. Biasanya gadis bermata biru itu tidak begitu menyukai apa yang dikerjakan papanya di perusahaan. Ia memang suka dengan bisnis, tapi bukan berarti ia harus menggantikan papanya dan langsung mendapatkan posisi tinggi di perusahaan. Samantha adalah cerminan gadis pekerja keras. Ia pikir hidupnya akan biasa-biasa saja jika ia hanya menerima apa yang diwariskan orangtuanya tanpa usaha susah payah terlebih dahulu. Namun hari ini, ketika ia mendengar nama Adrian Smith disebut di tengah-tengah percakapan saat sarapan, ia langsung girang dan berkata ‘iya’, padahal papanya belum selesai dengan kalimatnya. Gadis itu tidak mau terlihat biasa saja di depan Adrian. Maka setelah sarapan, ia segera mengunci diri di kamar dan mengeluarkan semua bajunya dari dalam lemari. Mencoba satu
Baca selengkapnya
Hasrat Yang Tak Bisa Ku Tahan
Adrian POV. “Apa yang kamu lakukan sampai baru pulang Adrian?” tanya nenek ketika aku menyapanya di meja kerjanya malam ini. Masih ada setumpuk dokumen yang berada di depannya, dan nenek juga terlihat belum ingin meninggalkan ruangan itu sekarang. Terlihat bagaimana Margareth tengah menuangkan teh hangat pada sebuah cangkir dan meletakkannya di samping dokumen-dokumen itu. Aku mencium kening nenek. “Tadi Samantha mengajakku berjalan-jalan dulu nek.” Sahutku berbohong. Aku tidak mau mengatakan bahwa aku sempat masuk rumah sakit dan mendapatkan suntikan penenang. Senyum nenek mengembang. “Apa kalian begitu dekat”? tanyanya kemudian. Aku tidak mengerti dengan ‘begitu-dekat’ yang dimaksud nenek, namun aku mengangguk. Menurutku kami dekat karena kami adalah teman. Itu juga yang Samantha katakana padaku tadi. “Bukankah dia cantik?” tanya nenek lagi. Aku mengerutkan keningku sebelum akhirnya kembali mengangguk samar. Ku lirik Margareth yang tersenyum
Baca selengkapnya
Percakapan
Elisabeth POV.Margareth ternyata adalah seorang wanita yang pandai sekali membuat kue. Siang ini, ketika Reinard masih berada di kantor, wanita itu mengajakku ke dapur dan memintaku untuk membantunya membuat muffin.Tangan wanita itu begitu cekatan saat mencampur adonan, kemudian memasukkannya ke dalam cup-cup kertas dan terakhir memasukkannya ke dalam oven.“Ini muffin coklat kegemaran nenek.” Kata Margareth ketika ia selesai menutup pintu oven. “Mari kita menunggu kue ini jadi dengan minum teh di serambi belakang El.” Wanita itu mengambil dua cangkir dan menuang teh ke dalamnya.Setelah teh melati itu jadi, kami berjalan beriringan menuju serambi belakang, dekat dengan kolam ikan.“Bagaimana dengan pekerjaanmu sekarang El?” Margareth menyesap tehnya dengan penuh perasaan.“Begitulah…aku merasa sedikit menganggur ketika Reinard sudah mulai bekerja.” Sahutku.Wanita dengan rambut
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12345
DMCA.com Protection Status