Semua Bab Istri Lima Belas Ribu: Bab 91 - Bab 100
608 Bab
Bagian 93
 “Setelah ini, kamu boleh memilih lelaki mana pun, sesuai keinginan kamu sendiri. Asalkan, dia sayang sama Dinta dan Danis.”Aku mengangguk lagi. Sepertinya, ini waktu yang tidak tepat untuk membahas hal tersebut. Namun, aku bahagia mendengar ucapan Bapak barusan.“Kita pulang ya, Pak?” ajakku setelah semua barang sudah siap untuk dibawa.“Ajak Pak Irsya ke rumah. Bapak mau bilang sesuatu hal.”Derit pintu terdengar, kami semua menoleh. Entah kebetulan macam apa, Pak Irsya sudah berdiri di sana.“Sudah siap? Saya udah mengambil obat dan surat kontrol. Kalau sudah, kita turun. Maaf terlambat, tadi ada rapat,” ucapnya, terdengar agak canggung.“Nak Irsya, kemarilah,” panggil bapak dengan suara lemah.Pak Irsya berjalan pelan, dan ikut duduk di lantai bersamaku.“Titip Nia dan anak-anaknya, ya.” Kata-kata bapak terhenti, embun itu telah berubah menjadi te
Baca selengkapnya
Bagian 94
“Terima kasih, ya?” Aku menatapnya dan tersenyum.Pria di sampingku menepikan mobilnya, aku kembali menatap dengan penuh tanya.“Ulangi lagi!” ujarnya, sambil memandang wajahku.“Yang mana? Kenapa musti diulang?” tanyaku, bingung.Pak Irsya tersenyum. “Ucapan terima kasih dari kamu tadi. Kamu mengatakan itu sambil menatapku penuh cinta, Nia. Aku bahagia melihatnya.”“Apaan sih? Udah, ah. Ayo lanjut. Atau, aku yang nyetir?” Kilahku sambil memalingkan wajah, memandang pada jalan di depan.“Beneran, kamu mau nyupir? Aku, sih, mau-mau saja. Untung malahan, bisa terus menatap wajah kamu sepanjang kebersamaan kita. Tapi, yakin kamu gak bakalan grogi?”Kenapa wajahnya manis sekali hari ini? Ditambah lagi, sorot matanya itu. Ah, kenapa aku sejenak melupakan, bahwa diriku pernah mengandung dua kali?“Kita mau tatap-tapapan atau lanjut jalan, Bapak Kepala Sekol
Baca selengkapnya
Bagian 95
Jam tiga sore, tamu sudah berdatangan, Pak Irsya bangun, salat dan menemui mereka.“Calon suami Mbak Nia, ya?” Salah satu dari mereka memberanikan diri untuk bertanya.“Doakan lancar, ya, Pak.” Hanya itu jawaban yang diberikan Pak Irsya.Setelahnya, acara dimulai. Seperti permintaan bapak, pria itu memberi sambutan atas nama keluarga. Dia sudah biasa berpidato di depan umum, tentu hal ini tidak menyulitkannya. Selesai acara, satu per satu tamu pulang. Tersisa kami berdua yang duduk kelelahan di ruang tamu.“Nia, aku malas pulang. Kita nikah sekarang aja, ya?” Pertanyaan konyol keluar begitu saja dari mulutnya.“Jangan aneh-aneh! Nikah itu perlu daftar ke KUA,” jawabku sewot.“Tapi, aku gak mau jauh dari kamu, Nia.”“Gombal!”“Kamu janji, ya, jangan berubah pikiran.”Aku terkekeh. Saat bersamaan, terdengar deru mobil berhenti di halaman. L
Baca selengkapnya
Bagian 96
Apa urusannya Bu Diah menanyakan hal ini sama aku, coba?“Sudah, Bu. Sangat mengenal.”“Pekerjaannya, agamanya, latar belakangnya?”Alangkah tidak sopannya wanita ini, bertanya hal yang sensitif di depan orang yang bersangkutan“Pekerjaannya kepala sekolah. Agamanya Islam, dan kami akan belajar bersama, jika memang ilmunya tidak sedalam seorang ustaz. Beliau sangat menyayangi anak-anak. Latar belakangnya, bukan pria beristri. Itu sudah lebih dari cukup. Ada lagi yang ingin ditanyakan Bu Diah?”“Oh, maaf, Bu Nia. Sebagai seorang teman, saya hanya khawatir Bu Nia tidak mendapatkan pasangan yang tepat. Makanya saya kemarin berniat menjodohkan Bu Nia dengan Ustaz Zaki.”“Termasuk seorang pria beristri, Bu Diah? Selama ini, saya sangat menghormati dan menghargai Anda. Terhadap masalah apa pun, saya tidak pernah berkeluh kesah. Tapi Anda malah melakukan sesuatu yang sangat menyinggung perasaan
Baca selengkapnya
Bagian 97
 “Lecet lutut sedikit. Ayo, diobati dulu,” kata Pak Irsya. “Fan, ada betadine, gak?” tanyanya kemudian.“Ih! Kok, Mas Irsya suka banget nyuruh aku, sih?” Fani, yang sudah berkalung handuk, berdecak sebal.“Anak gadis harus sering gerak, Fan. Biar enteng jodohnya,” kilah Pak Irsya.Fani mengulurkan sekotak perlengkapan P3K yang sengaja aku siapkan untuk berjaga-jaga.”Kamu duduk di kursi, Nia. Biar aku yang mengobati.”Aku menurut saja, duduk di kursi sambil memangku Danis. Pak Irsya jongkok di depan kami dan mulai membersihkan luka anak sulungku.“Tadi kamu lihatin apa, Dek, sampai kesandung batu?” Pak Irsya bertanya di sela-sela kegiatan membersihkan luka Danis.“Lagi cari bintang jatuh,” jawabnya polosKami pun tertawa bersama. Pak Irsya melanjutkan kegiatannya sambil geleng kepala. Dan dari jarak sedekat ini, aku bisa lihat pesona wajahn
Baca selengkapnya
Bagian 98
Sampai rumah, rutinitas pertama yang kulakukan adalah menyiram bunga. Wajah manis Pak Irsya menari-nari di pelupuk mata ini. Hingga sebuah bunyi klakson menyadarkan diriku yang sedang dimabuk asmara.Sesosok pria berdiri di atas motor, memandangku dengan senyum sinis. Ah, untung aku sedang bahagia, jadi kehadirannya tidak terlalu membuatku jengkel.“Hai, Umar! Apa kabar?” sapaku dengan riang.“Nia, kamu aneh,” jawabnya dengan mengangkat sebelah bibir. Manusia sombong!“Mari duduk di teras. Pasti ada perlu, ya?” ajakku.“Jangan merayuku, Nia! Gak akan mempan meski muka kamu dimanis-manisin gitu.”Percaya dirinya tinggi sekali!“Apa wajahku terlihat seperti tukang rayu?” tanyaku sambil mengedipkan mata. Menghadapi orang semacam dia, hanya perlu dibuat becanda saja. Biar tidak buat darah tinggi.“Aku ada penting sama kamu. Gak usah banyak basa-basi gitu.”
Baca selengkapnya
Bagian 99
 “Aku telepon, gak diangkat. Di-WA juga gak bales. Ke mana aja, sih?” protesnya dengan muka kesal.“Maaf, lagi ada tamu gak diundang,” balasku.“Maling? Kamu kemalingan?”Aku tertawa, Pak Irsya menyebut Umar maling. Kulirik, laki-laki itu. Dia menatapku penuh jengkel.“Mau maling hati aku, tapi yang punya sudah datang.” Senyum bahagia terukur di bibir ini.“Gombal.” Pria manis di depanku berkata sambil mencubit hidungku.Kemudian, kami berjalan beriringan menuju teras, di mana Umar berada.“Ini, calon suami kamu, Nia?” tanya Umar tidak percaya. Pandangannya terus menyelidik pria yang memakai kemeja navy.Pak Irsya kebingungan dan mengerling padaku, tanda meminta penjelasan. Aku memberi kode untuk dirinya meng-iyakan.“Iya, saya suami Nia,” jawabnya, penuh kemantapan.“Aku pulang, Nia. Kamu memang selalu membuat hariku me
Baca selengkapnya
Bagian 100
Danis merengek minta pulang ke rumah sendiri. Akhirnya, kami berdua memutuskan, untuk berbicara delapan mata di rumahku saja. Dengan berjalan kaki, aku, Pak Irsya serta anak-anak pulang ke rumah kembali.“Om, kapan mau ajak Danis main sepeda di alun-alun? Kan, Ibu sama Om udah baikan.”Aku tersenyum mendengar permintaan Danis. Sepertinya fase menjaga jarak antara aku dan Pak Irsya dianggap sebagai perselisihan oleh anak itu.“Danis maunya kapan?”“Nanti sore!” ujarnya, setengah berteriak.“Gak bisa kalau sore ini, Sayang. Besok aja, ya?”Tanpa membantah, anak bungsuku langsung menyetujui usulan Pak Irsya. Kemudian, Danis sibuk bermain mobil remot yang dibeli waktu di rumah sakit. Sedangkan Pak Irsya tiduran di kasur depan TV.“Nia, aku lapar. Dari pagi gak sempat sarapan.”“Astagfirullah, yang benar? Ya udah, aku buatin mie goreng sama telur, ya?” jawabku,
Baca selengkapnya
Bagian 101
Kujawab dengan anggukan. “Ayo, kita pergi,” aku mengajak, agar kami tidak lama-lama berduaan. “Kamu sudah memikirkan panggilan untukku?” Pak Irsya bertanya sambil meletakkan dagu di pundak ini.ulai lagi membuat suasana horornya.“Maunya dipanggil apa? Aku nurut saja.”“Papa, sama seperti anak-anak memanggilku.”“Ya, tapi itu butuh waktu. Aku merasa canggung dan malu, beda dengan anak-anak.”“Baiklah, mas aja, gak apa-apa.”“Iya, Mas,” ucapku, lembut.“Nia,” panggilnya,masih menempelkan dagu. “Nikahnya nanti sore, ya? Sepulang kita dari KUA.” Dirinya melingkarkan satu tangan ke pinggangku. “Aku takut khilaf.”“Iya,” jawabku sambil memberanikan diri mencubit hidung bangirnya.Betul juga yang dikatakannya. Kami harus cepat menikah meski secara siri. Menunggu dua belas hari, bila s
Baca selengkapnya
Bagian 102
Entah berapa kali aku mendengar pertanyaan itu. Aku bosan mendengarnya. Aku lebih memilih melanjutkan langkah. Kami berjalan masuk toko, dengan tangan Pak Irsya menggenggam tanganku. Budak cintanya sudah muncul, padahal belum menikah.“Selamat siang, Pak,” sapa salah satu karyawan sambil membungkuk.Kulirik Pak Irsya. Dia seperti mengedipkan mata. Apakah pria itu kelilipan?“Silakan masuk, Bapak, Ibu.”Karyawan tadi mempersilakan dengan sangat ramah. Seperti sudah lama mengenal Pak Irsya. Mungkin dia sudah langganan di sini.Aku berdiri kebingungan. Jujur saja, tempat ini merupakan salah satu surganya wanita. Namun, tiba-tiba rasa sungkan menyeruak dalam dada.“Ayo, kamu pilih yang paling kamu suka,” bisik Pak Irsya.“Pak, barang yang dipesan kemarin ....” Karyawan yang masih setia bersama kami tiba-tiba berbicara. “Maksud saya, ada barang terbaru yang limited edition, Pak. Barangk
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
89101112
...
61
DMCA.com Protection Status