Semua Bab Istri Lima Belas Ribu: Bab 81 - Bab 90
608 Bab
Bagian 83
“Baiklah, bila memang kalian menyuruhku meninggalkan Nia, akau akan melakukannya. Apa yang orang tua perintahkan, itulah yang terbaik untukku. Dan itu, adalah rida Allah,” ujarku memantapkan niat. “Kamu memang kebanggaaan kami, Gam. Tidak sia-sia ibu berjuang menyekolahkan hingga kamu menjadi PNS. Kamulah tumpuan hidup keluarga ini. Ibu hanya ingin, setelah ini, hidup kita akan bahagia. Tuntun adikmu agar dia bisa menjadi orang sukses.”“Pasti, Bu. Aku akan mengorbankan apa pun demi kalian.”Begitulah diriku, tidak akan ada yang pernah mengalahkan kasih sayang ini terhadap mereka, orang-orang yang paling berharga. Terlebih Aira, si kecil yang menjadi ratu dalam keluargaku. Apa pun permintaannya, hati ini begitu tidak tega bila tidak menuruti. Wajahnya yang cantik—mewarisi sang ibu—semakin menambah bangga kami terhadapnya.Pakde berjanji, akan menggantikan derita ayahmu saat kecil, dengan membahagiakan
Baca selengkapnya
Bagian 84
Sebetulnya, aku ingin sekali mundur dari kegiatan rutin ini, tapi tidak enak hati pada Bu Diah. Aku merasa risi dengan cara ibu-ibu jemaah memperlakukanku. Sikap mereka berbeda dengan yang lainnya. Seakan aku adalah wanita yang istimewa. Aku jadi curiga, memang ada sesuatu yang tidak kuketahui sebelum ini.Pada Minggu ke empat, aku sengaja tidak ikut kajian. Rasa enggan sudah tidak bisa lagi aku lawan. Kukirimkan pesan pada Bu Diah kalau anak-anak tidak mau ditinggal. Sebenarnya, Dinta dan Danis mengajak ke kolam renang hari. Aku juga mengajak Fani. Aku tidak  terlalu suka bila harus ikut berbasah-basahan.Di dekat kolam, ada sebuah tempat menunggu dengan fasilitas karpet tebal juga terdapat beberapa mainan. Aku memilih berselancar di dunia maya sambil tiduran.“Mbak.” Suara Fani mengagetkanku. Ia berdiri di dengan badan basah kuyup.“Kamu kenapa sendiri? Di mana anak-anak?” tanyaku cemas.“Ambilin baju gantiku sa
Baca selengkapnya
Bagian 85
“Ada tamu, Bapak memanggil, ingin bicara dengan kamu,” ucap ibu. Terpancar iba dari netra ibu.Ada apa lagi? Gegas, kuikuti wanita yang melahirkanku menuju ruang tamu.Seketika, aku terpaku saat melihat yang duduk di deretan kursi yang terbuat dari kayu jati. Melihat mereka, aku sudah tahu apa yang ingin bapak bicarakan. Dengan malas, kududukkan tubuh ini di samping bapak, menghadap sosok yang beberapa kali aku temui di majelis ta’lim.“Bu Nia, maaf datang tanpa memberitahu. Tanpa ada rencana, Ustaz Zaki minta diantar kemari.” Wanita paruh baya yang berkedudukan sebagai kepala sekolah itu, berujar tidak enak.“Nia, kamu sudah kenal sama Ustaz Zaki, kam?” tanya bapak, semringah.Aku mengangguk saja.“Kalau begitu, bapak tidak perlu memperkenalkannya.” Bapak menatapku sambil tersenyum. “Ustaz Zaki ingin mengkhitbah kamu. Bapak rasa, kalian tidak membutuhkan waktu lama untuk saling ber
Baca selengkapnya
Bagian 86
Sepekan telah berlalu sejak kedatangan Ustaz Zaki. Meskipun hari ini jadwal mengikuti kajian, tapi aku malas. Di sekolah pun, aku berusaha menjauhi Bu Diah. Dan sepertinya wanita itu paham kalau aku tidak suka dengan apa yang dilakukannya.Pagi ini, aku memilih bersih-bersih rumah dan meminta Mbak Wati tidak usah datang. Danis dan Dinta diajak bapak pergi ke pasar. Untunglah, mereka tidak menagih ke kolam renang lagi. Habis zuhur, kedua anakku baru pulang.“Nia, bagaimana keputusan kamu?” Saat di dapur, bapak bertanya padaku, tentang Ustaz Zaki.“Keputusanku tetap tidak, Pak. Aku merasa ada janggal dengan pria itu. Jangan karena dirinya seorang ustaz, Bapak menerima khitbahnya begitu saja. Kita belum tahu seluk beluk kehidupannya, Pak.”“Bapak yakin, dia bisa menjadi sosok ayah yang baik untuk Dinta dan Danis.”“Bukankah dengan Umar, Bapak juga begitu yakin? Akhirnya, apa yang terjadi?” Sengaja kuinga
Baca selengkapnya
Bagian 87
 “Nia,” panggilnya. “Kamu kenapa, Nia? Kenapa malam-malam ada di sini?” Pria di depanku memegang kedua bahu ini.Aku menangis sejadi-jadinya. Merasa saat ini ada orang yang bisa menjadi tempat untuk berkeluh kesah, menyampaikan duka yang tengah merundung diri ini. Jika dirinya perempuan, pastilah aku sudah menghambur dalam pelukannya. Untung, pikiranku masih waras. Jadi bisa menahan untuk tidak melakukan hal memalukan itu.“Ayo, duduk dulu,” ajaknya sembari membimbing tubuh ini untuk duduk di trotoar kembali.Aku menceritakan semua yang terjadi malam ini. Termasuk kekhawatiranku bila meninggalkan Dinta dan Danis di rumah.“Mas Agam pernah meminta Dinta menjadi pendonor ginjal Aira, keluarganya sampai memaksaku. Aku takut mereka akan menculik Dinta saat aku tidak ada.”Lengan yang tertumpu pada lututnya terlihat mengepal. Lalu, mengusap pelan punggungku, walau sentuhan itu dilakukannya dengan rasa
Baca selengkapnya
Bagian 88
 “Nak Irsya,” panggil Ibu lirih.“Iya, Bu?”“Terima kasih sudah menolong kami. Maafkan atas sikap suami saya selama ini. Dinta dan Danis sedang dalam keadaan bahaya juga. Mereka harus selalu dijaga Nia.”“Jangan pikirkan apa pun, Bu. Yang penting, bapak bisa melewati masa kritisnya. Selama bapak di rumah sakit, saya dan Doni yang akan bolak-balik ke sini.”Ibu mengangguk pasrah.Kami berjalan beriringan menuju tempat parkir. Jarak tubuh yang sangat dekat, membuat beberapa kali lengan dan telapak tangan kami harus saling bergesekan. Akan tetapi, tidak ada yang berusaha merenggangkan jarak.Entah mengapa, aku menikmati kebersamaan ini, meskipun terjadi di saat suasana yang menegangkan. Kulirik lelaki tinggi di sampingku, meski harus mendongakkan kepala. Dia menoleh, menatapku lama, dan tersenyum.Ya Allah, ingin kuhentikan waktu, agar aku bisa berlama-lama dengannya.Sampai di
Baca selengkapnya
Bagian 89
“Ya, Allah,” lirihku.Sebenarnya, aku tidak nyaman tetap di rumah dalam situasi seperti ini. Aku sangat ingin mendampingi bapak melewati masa kritisnya. Namun, apa daya? Ada anak-anak yang harus aku jaga juga.Begitu panggilan selesai, aku segera ke rumah ibu untuk mengambil barang-barang yang dibutuhkan selama di rumah sakit. Dinta kuminta menjaga Danis.“Pintu depan udah dicunci. Ibu lewat belakang. Pintunya langsung dikunci dari dalam, Kak. Bila ada yang datang, jangan buka!” Pesanku berhati-hati.Selesai mengemas barang, aku keluar rumah. Pick-up Kang Jono sudah parkir di halaman. Yang mau ikut juga sudah berdatangan.“Ada berapa orang?” tanya Kang Jono.“Tujuh belas, Kang. Sisanya nanti sore,” jawab salah satu dari mereka.Dari arah jalan, datang wanita berbaju gamis dengan lipstik merah merona. Maklum, hanya acara begini dan pengajian saja, mereka bepergian. Jadi, mereka berusaha m
Baca selengkapnya
Bagian 90
Bu Diah semakin salah tingkah dengan seranganku. Mungkin, beliau tidak menyangka kalau aku berani membantah perkataannya sejauh ini. Karena selama kami bekerja bersama, aku terlalu menurut pada atasanku itu. Salahnya sendiri yang terlalu lancang mengatur perjodohanku dengan Ustaz Zaki.“Kan, ada baiknya bila berjaga-jaga.”Kulirik Mbak Santi yang berada di tengah-tengah bersama kami. Dia hanya menengok padaku saat berbicara, beralih pada Bu Diah saat berbicara. Seperti itu terus. Mulutnya juga tidak berhenti mengunyah.“Betul sekali, memang kita harus berjaga-jaga. Itu sebabnya, saya tidak serta merta menerima Ustaz Zaki. Saya belum tahu latar belakang dan kehidupan beliau. Saya berhati-hati saja, seperti ada yang mengganjal.”Aku sengaja mengulur jawaban, membuat wanita di hadapanku semakin tidak nyaman berbicara denganku. Biarlah, saat ini kutunjukkan sifatku yang sesungguhnya.“Ustaz Zaki itu, kan, ustaz. Pasti beda
Baca selengkapnya
Bagian 91
Sosok ibu terlihat di sana, akan tetapi, beliau tidak sendiri. Ada laki-laki dan perempuan yang berdiri membelakangiku pintu masuk. Dari pakaiannya, mereka seperti tokoh agama. Pria memakai peci putih dan yang wanita bergamis syar’i.“Nia,” panggil ibu.Aku sudah sampai di ranjang bapak. Beliau terbaring dengan berbagai peralatan menempel pada badannya. Aku hampir menangis, saat perempuan bergamis syar’i berbalik dan mendekatiku.“Ukhti, yang sabar, ya?”Tubuhku langsung dipeluk erat. Di tengah kebingungan, aku segera membalas pelukannya meski ragu. Saat itulah, pria yang di sampingnya juga ikut menoleh. Ternyata, dia adalah ….Pria itu menatapku sambil tersenyum. Entah terlalu jujur dengan perasaan sendiri atau karena diriku terlalu jahat, bibir ini enggan membala. Aku juga refleks mendorong pelan tubuh wanita yang memelukku. Aku tidak butuh simpati siapa pun. Kedatanganku hanya ingin melihat kondisi bapa
Baca selengkapnya
Bagian 92
“Maaf jika saya lancang. Tapi, saya penasaran akan sesuatu hal. Anda istri Ustaz Zaki apa bukan?” Aku bertanya dengan nada sedikit jengkel.“Nia, begini. Terkadang, ada sesuatu yang terjadi di luar keinginan kita. Apa yang baik menurut Allah, belum tentu baik menurut kita.” “Tolong Ibu jawab ke intinya saja. Ibu istrinya Ustaz Zaki, apa bukan?” Fani menggertak dengan nada tinggi. “Tidak usah banyak ceramah, Bu. Yang ingin kami tahu, Ibu istrinya apa bukan?”“Dek, jangan emosi dulu. Biar saya jelaskan.” Ustaz Zaki terlihat mengatur posisi duduknya.“Nia, bantulah kami untuk mendapatkan keturunan,” ucapan jujur meluncur begitu saja dari bibir istri Ustaz Zaki. “Aku pastikan, kita akan hisup dengan rukun,” lanjutnya lagi.“Apa Ibu pikir, mbak saya in tempat ternak anak?” Pertanyaan marah keluar dari bibir Fani.Jujur, aku juga merasa tersinggun
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
7891011
...
61
DMCA.com Protection Status