All Chapters of Selubung Memori: Chapter 51 - Chapter 60
496 Chapters
50. MISI PERTAMA #4
Rangkaian itu terjadi ketika kami berada dalam satu garis lurus.Dalton paling depan, Atlas di tengah, aku yang paling belakang. Titik biru masih belum mendekat, sementara kontur tanah semakin naik—bagiku itu harapan karena mereka bilang Lembah Palapa berada di kedalaman bukit. Jadi, ketika tanah yang licin semakin naik, aku merasa kami mendapat kemajuan.Sayangnya, aku yang pertama kali sadar.“Tidakkah kabutnya semakin tebal?”“Kau ini bicara apa, sih,” sahut Atlas, tampaknya tidak mau diganggu.Aku tahu ada yang mulai tidak beres. Suasananya semakin dingin, dan mau seberapa kuat kemampuanku dalam mendeteksi sesuatu, rasanya kabur. Kabut putih seperti mengacaukan persepsiku. Sebelum ini, aku masih bisa lihat seberapa tinggi semak di depan atau seberapa menjulang pohon itu mengintimidasi, tetapi kali ini, kabut semakin tebal hingga area depan mulai sulit terdeteksi mata telanjang. Satu-satunya harapanku hanya kemampua
Read more
51. MISI PERTAMA #5
Selama beberapa saat, aku hanya merasakan sentakan angin.Aku melihat ke bawah, tanah masih jauh, dan hawa dingin di punggungku seperti menandakan akhir garis waktuku. Jadi, aku memejamkan mata, memusatkan kemampuanku di punggung dan kaki, berharap kecepatan angin ini mampu berhenti karena angin yang menerbangkan tubuhku. Aku membayangkan tubuhku melayang di udara, seperti terbang, tetapi kecepatan jatuhku tidak mengizinkan itu.Tidak ada yang bisa kuharapkan lagi. Mataku terpejam.Kalau aku memang akan gugur, kuharap aku bisa pergi tanpa harus merasa sakit karena membentur keras permukaan air—atau tanah di bawah sana.Jadi, aku membayangkan semua yang terlintas di kepalaku.Dan tampaknya itu membawaku menuju ke sesuatu yang tidak lagi mampu kumengerti. Tiba-tiba saja aku tidak lagi merasa jatuh. Sentakan angin di sekitarku tidak lagi terasa. Aku seperti berhenti dalam ombang-ambing udara bebas, seolah sesuatu menahanku agar tidak terjatuh. A
Read more
52. MISI PERTAMA #6
Aku tidak percaya kejadian sekejap mata sudah menghilangkanku hampir lima jam. Aku berani sumpah Dalton sudah kembali, menyebarkan kehilanganku, yang membuat semua orang panik. Jadi, aku berlari, mengejar waktu. Namun, baru saja aku keluar dari gua—barangkali karena cahaya kelewat menyilaukan membutakan mataku yang berdiam dalam gua gelap, aku menabrak seseorang sampai dia—lebih tepatnya—kami terjatuh. Aku terlempar, berusaha segera menggenggam pedang. “Forlan?” Andai aku tidak bertemu di hari keberangkatannya, mungkin aku tidak akan tahu. Namun, aku ingat siapa yang disebut Dalton, “Profesor Merla?” Profesor Merla terkesiap, tetapi dengan cepat, berusaha menyadari situasi. Dia melihat arah datangku, yang jelas-jelas merupakan gua. Kemudian kilat mata tajam itu mengamatiku, seolah memastikan aku sungguhan Forlan yang punya aura paling dikenal di seluruh muka bumi. “Kita simpan ceritanya nanti,” ujarnya, bangkit, mengajakku sege
Read more
53. MISI PERTAMA #7
Ruangan klinik penuh.Terutama karena Kara, Profesor Neil, dan Reila masuk ruangan, sementara mereka yang di dalam sama sekali tidak keluar. Jadi, ruangan yang hanya sanggup memuat beberapa orang terasa kekurangan oksigen.“Sepertinya ruangan ini terlalu sempit,” cetus Profesor Merla.“Sayangnya, tempat ini paling aman,” kata Profesor Neil. “Sepertinya tidak ada pasien selama beberapa waktu. Benar, para dokter?”“Harapannya begitu,” kata Dokter Gelda.Kami tidak pindah, jadi aku mulai bercerita apa yang kualami.Namun, aku tidak menceritakan semuanya. Aku semata tidak bisa memaksa diri membicarakan soal hantu alam liar. Jadi, kurang lebih hanya kabut tipis yang berujung pada hilangnya Dalton dan Atlas, pertemuan dengan musuh, vila tengah hutan, dan sesuatu tentang mereka yang mencoba mendobrak masuk vila. Maka aku menjelaskan pertarungan singkat, sampai aku terlempar ke jurang. Semua itu benar,
Read more
54. MISI PERTAMA #8
Satu hal yang membuatku tercengang, Lavi menghampiriku bukan dengan niat duduk, tetapi mengulurkan tangan. Tanganku otomatis menyambutnya, jadi dia memelukku. Aku tidak tahu dia sadar atau tidak, tetapi aku tidak sadar. Aku refleks menerimanya, jadi itu pertama kali Lavi membuatku sungguhan kosong. “Kau membuatku jantungan,” gumamnya. Suaranya sangat dekat. Perutku teraduk-aduk. Mataku sepenuhnya terbuka. Indraku berfungsi sempurna. Aromanya seperti lemon, tercium sampai membuatku berdebar-debar. Rasanya aku bisa menghitung berapa banyak helai rambut pirang Lavi. Itu membuatku teringat akan gagasan Isha tentang Lavi—bagaimana dia bisa tetap percaya ketika Dalton hilang tiga minggu. Kupikirkan itu yang baru terjadi—bahwa Lavi masih percaya pada setiap detik ketika aku hilang. “Mm ... maaf. Aku tersesat.” “Jangan bodoh. Hilang di antara kabut bukan tersesat.” Aku bisa merasakan kecemasan dalam cengkeraman di punggungku—betapa dia memikirkan semua hal bu
Read more
55. RAHASIA KECIL #1
Kali berikutnya aku terbangun sudah malam hari, tetapi aku tidak yakin itu malam yang sama saat aku tertidur atau sudah pagi. Klinik kosong. Selimut masih membungkus tubuhku. Dokter Gelda tidak ada di ruangan, tetapi surat tergeletak di samping mangkuk hangat. Supnya sungguhan terjaga sejak aku tidur.“JANGAN LUPA ISI PERUTMU.”Benakku masih hangat, tetapi ketika sup itu masuk ke tenggorokanku, yang hangat bukan benakku lagi, tetapi semuanya—seolah makanan ini memiliki sesuatu yang dibutuhkan tubuhku sejak mulai tertidur. Gelenyar itu menggerakkan tangan, bahkan tanpa perlu berpikir. Hanya terus makan, makan, dan makan.Semangkuk itu membuatku dipenuhi semangat baru.Jadi, aku membawa diri keluar klinik. Padang rumput langsung terlihat. Itu pertama kali aku melihat Padang Anushka dalam kegelapan malam yang sunyi saat semua penghuni terlelap dalam keheningan memabukkan. Tenang, dingin, tetapi juga indah. Bintang gemerlapan—jutaan bi
Read more
56. RAHASIA KECIL #2
Kembali ke Gerha, aku bawa seember ikan siap dibakar.Aku tidak ada minat tidur. Sepertinya Dalton juga, tetapi ketika fajar tiba, kami memutuskan kembali ke Gerha. Ember kami penuh—milikku bahkan sampai tidak cukup. Aku punya ide membakar ikan bersama, tetapi Dalton tidak berminat, jadi, pada akhirnya, aku membersihkan semua ikan di halaman belakang, berusaha menumpuk batu dan kayu bakar yang kukumpulkan, lalu bersenang-senang. Kali ini aku punya bumbu. Rasanya tidak akan hambar.Pagi baru tiba, jadi kabut masih di sekitar.Pemandangan di depan halaman juga lumayan. Di balik semak-semak agak terdengar suara air terjun, jadi suasananya menyegarkan.Menurutku, ini kasta terindah merokok. Menghirup asap pembakaran ikan yang sedap, lalu mengembuskannya dengan perut berbunyi. Luar biasa. Sayangnya, kali ini sup Layla sudah cukup membuatku perutku penuh.Aku sempat khawatir akan dimarahi tim stok karena memancing seenaknya, tetapi Dalton bilang, s
Read more
57. RAHASIA KECIL #3
Aku sedang menikmati jus apel saat Jesse memanggilku ke ruangannya.Kuakui cara memanggilnya inovatif. Dia menelepon Gerhaku yang suara deringnya memekikkan telinga. Aku baru mau mengomel, tetapi dia hanya bilang, “Ke ruanganku. Lima menit,” lalu menutup telepon.Kalau dia pikir aku bakal menurut—kali ini dia benar.Namun, Dalton menghadangku di depan Gerha. “Mau ke mana?”“Tim peneliti.”“Pesananmu.” Dia memberiku sesuatu. “Sudah jadi.”Aku tidak akan kaget dia bisa membuat sesuatu sangat cepat, tetapi untuk ini keterlaluan cepat. “Kau seperti bukan manusia, tapi makasih.”“Habis dari tim peneliti, temani aku main bola.”Kami sepakat, lalu aku meluncur ke Balai Dewan. Ruangan Jesse, tidak lain dan tidak bukan ruangan tim peneliti. Dia punya otoritas tertinggi di antara anggota tim peneliti—terutama karena Nuel tidak mau cari masalah
Read more
58. RAHASIA KECIL #4
Untuk pertama kali sejak tiba di Padang Anushka, mimpi menemukanku.Cuacanya mengamuk.Langit meluapkan amarahnya. Hujan turun bagaikan badai, angin berembus layaknya puting beliung yang terus berputar. Di kejauhan, petir berderak menggila di segala arah, guntur bersahutan mengguncangkan tanah.Kondisi sekitar kacau balau. Tanah hancur layaknya telur pecah. Beberapa orang bergelimpangan penuh darah. Dunia bagaikan jatuh dalam kegelapan pekat. Darah tersebar. Tidak ada bintang, bulan—hanya awan segelap kematian.Kemudian di tanah terbuka berdiri dua orang misterius.Hujan menyiram darah di tubuh mereka. Salah satunya hitam pekat, penuh pendar hitam yang melayang-layang. Hanya lengan dan telapak kaki yang terlihat punya warna. Sabit besar di tangannya layaknya dewa kematian yang terbentuk dari kegelapan. Bilah tajam memancarkan sensasi meminta darah.Satunya lagi, pria bertopeng. Memakai jubah hitam dengan topeng penuh bercak darah. Di t
Read more
59. RAHASIA KECIL #5
Sejatinya saat itu masih gelap, tetapi sebentar lagi fajar tiba.Beruntungnya, aku tidak punya masalah dengan kegelapan. Ini jam rutinku terbangun untuk lari gunung. Padang Anushka membuatku terlena. Kenyataan aku tidak perlu bangun sebelum fajar membuat alam bawah sadarku terbebas, dan, pada akhirnya, aku kesiangan. Bulan yang bercahaya di ujung malam sukses membuatku bernostalgia pada momen-momen itu.Lampu minyak membantuku menembus semak-semak, tetapi ketika berada di lembah air terjun, bunga biru itu tidak terlihat. Itu membuatku enggan mencari. Suara air terjun yang biasanya menyegarkan, kali ini agak menekan seperti menolak kedatanganku. Kuputuskan berkeliling sedikit—dan mataku tiba-tiba menemukan sesuatu yang berkelip. Tersembunyi di antara semak tinggi.Bunga biru itu berkilauan indah.Tidak ada larangan memetik, jadi aku membawa seikat, lalu membawa satu mahkota ke halaman belakangku, menanamnya begitu saja. Aku sedikit mengerti soal berk
Read more
PREV
1
...
45678
...
50
DMCA.com Protection Status