"Kita bukan manusia biasa." Forlan, yang kehilangan ingatannya, dibawa pergi oleh Aza ke pondok di tengah gunung dan hidup bahagia bersama seorang nenek. Namun, begitu menginjak 18 tahun, Forlan mengetahui rahasia yang disembunyikan Aza: dunia sedang berperang sejak 500 tahun lalu. Manusia normal hampir punah. Dunia dikuasai para pemilik kemampuan, dan Forlan salah satunya. Tetapi itu hanya sebagian kecil dari rahasia yang disembunyikan Aza. Masalah semakin rumit ketika Forlan mengetahui dirinya memiliki adik perempuan yang tidak diketahui keberadaannya. Dirinya juga merupakan golongan langka di antara pemilik kemampuan. Kini Forlan memutuskan pergi dari pondok untuk mencari adiknya, ingatannya, dan mengetahui segala kebenaran yang telah disembunyikan selama 500 tahun. Hanya saja, tantangan Forlan begitu besar. Dia harus menghadapi musuh yang tidak pernah dia tahu bersama monster mitologi yang telah menguasai permukaan tanah selama manusia normal bersembunyi. Tanpa dia sadari, perang telah berada di ujung tanduk kekalahan.
View MoreMimpi terakhirku bagaikan kiamat.
Terakhir kali aku memejamkan mata adalah ketika jaring laba-laba di langit-langit pondok membuatku membayangkan apa yang akan kulakukan pada baju-baju kusut. Aku berpikir akan menyetrika. Tubuhku—aku yakin sudah bergerak, tetapi tiba-tiba aku meringkuk di tengah hujan deras, punggungku basah, dadaku sesak, dan pita suaraku menjerit penuh tuntutan paling menyakitkan.
Seseorang berdiri di sebelahku. Kami di padang rumput luas.
Dan di pangkuanku, terbaring gadis berwajah penuh nuansa gelap, dengan sesuatu yang hitam, samar—seperti bayangan hitam—menutupi wajahnya.
Air mataku juga tiba-tiba sudah mengalir deras.
Aku tidak mengerti, tetapi benakku sesak. Air mataku tak mampu berhenti. Hujan—gemuruh terdengar keras, seperti tak mengizinkan isak tangisku terdengar. Aku kacau. Entah bagaimana aku ingin memeluk gadis ini layaknya kami saling mengenal. Namun, aku tidak mengenalnya. Aku tidak tahu siapa gadis ini.
Sayangnya, saat tanganku yang bergetar kuat mengusap wajah gadis manis itu—saat tanganku melewati selubung hitam—darah merah langsung menguasai jemariku. Darah yang segar, dan hangat, seolah baru mengalir dari sayatan di wajahnya. Benakku terguncang. Jantungku seperti pecah. Gadis ini—hampir menghadapi garis akhirnya.
Namun, aku bisa merasakannya. Dalam batas sekarat dan kematian—dalam tubuh gadis yang hampir beku ini—kehangatannya masih memancar layaknya menyambutku yang hanya orang asing. Dia seperti merasakan kehadiranku, karena dari selubung samar itu, senyumnya terlukiskan. Gadis dengan senyum kecil yang manis, seolah bahagia dengan kondisinya yang telah sekarat. Barangkali rangkulan ini berharga untuknya. Lelaki yang kuhinggapi ini barangkali orang yang sangat penting. Dia seperti berakhir pada orang yang tepat.
Jadi, aku berusaha mengerti segalanya, menatap sekitar.
Hujan membentuk genangan air. Ketika mataku berusaha menolak, arah mataku mengenai genangan air. Cahaya angkasa yang samar, membuat wajah lelaki yang kuhinggapi dalam mimpi ini memantul, terlihat dalam benakku.
Wajahku.
Tidak. Itu wajahku. Penuh isak tangis menyesakkan.
Orang ini... adalah aku.
Aku menggeleng, entah aku yang saat ini, atau aku yang tengah kuhinggapi ini. Segalanya tiba-tiba terkesan dingin, hampa, dan membeku. Semua ingatan aneh tiba-tiba mendobrak masuk kepalaku, layaknya ingatan orang ini mulai menyerang kepalaku habis-habisan. Ingatan tentang padang rumput, suasana yang begitu damai dengan latar belakang danau biru dan senyum lebar. Jadi, aku tahu kami—aku dan gadis ini—memang saling mengenal. Kami begitu dekat, sampai aku bisa melihat di tengah kegelapan malam penuh bintang, kami berada di bawah tenda, menikmati makanan hangat yang baru matang dengan senyum manis darinya. Canda tawa di ingatan palsu ini terkesan begitu nyata, asli, dan murni, seolah kami menghabiskan begitu banyak waktu, menikmati setiap alunan malam, hanya untuk mengganti apa yang telah terbuang. Dan tiba-tiba aku melihat perang. Ya. Medan perang. Penuh darah. Ledakan di segala arah. Hutan membara. Tanah berguncang. Dan gadis ini—dengan senyum manis pilu—meski matanya masih tertutup selubung—menatapku yang tengah menjauh, membuat dirinya terlihat seperti mengorbankan diri untukku, dan menjemput cengkeraman kegelapan yang kosong.
Aku memekik lagi—sangat keras, seperti menuntut kematiannya.
Layaknya aku—dan lelaki ini—tengah menolak kenyataan yang ada.
Ketika aku membuka mata lagi, kesadaranku seperti tidak lagi melayang. Kami seperti bergabung—antara lelaki ini denganku. Aku bisa merasakan jemari gadis ini masih bertautan denganku. Namun, aku juga mengerti. Sensasi ini berusaha menipuku. Genggaman erat jemari ini palsu. Dalam bayangan samar, aku tahu dia tidak lagi menggamitku. Hanya aku yang menggamitnya. Dan sesuatu bagaikan pisau berusaha memutus kami. Ambang realitas memudar. Tiba-tiba saja aku melihat nuansa pendar putih yang pilu.
Citra pendar putih, layaknya aku sedang melihat alam bawah sadarku. Seseorang berdiri di sisiku. Dia. Gadis itu. Namun, dia terkesan begitu jauh. Kami berhadapan. Dan dia seperti tidak di sana. Aku merasa sering melihat ini. Gadis ini tampak terbiasa dengan citra pendar putih. Jadi, aku tahu kami sering berada dalam citra yang sama—barangkali dengan senyum, atau kebahagiaan yang memancar.
Namun, kini, ketika genggaman jemarinya mulai lemah, dia terlihat samar, dengan rambut yang berkibar halus bak angin di antara kami sudah bersiap mengantarnya. Benakku tak karuan, dalam alunan sesak dan nostalgia, entah bagaimana aku mulai mengulurkan tangan.
Dan dia menoleh. Pendar hitam itu tetap di wajahnya. Namun, bibirnya bisa terlihat. Pipinya mungil. Lagi-lagi dan lagi—senyumnya terlukiskan.
Aku berusaha bicara, tetapi suaraku tidak terdengar. Gesturnya seperti akan beranjak, tetapi dia terus menatapku. Sepertinya dia cemas. Dan itu untukku. Aku tidak mengenalnya—aku tidak benar-benar mengenalnya—tetapi aku tahu dia tidak mau aku dalam posisi ini, menatapnya pergi, meratap, menolak masa depan yang mungkin akan datang tanpa dirinya. Itu membuatku sengsara.
Dia seperti terbiasa dengan sikapku—seolah benar-benar tahu seperti apa diriku.
Tiba-tiba aura di sekitarnya berubah. Pendar putih di sekelilingnya terasa hangat, dan itu terasa sampai ke benakku. Barangkali dia tidak bicara—tentu saja dia tidak akan bicara—tetapi dia menunjukkannya dengan cara lain. Bahkan tanpa mengucap sepatah kata, layaknya kami telah saling mengenal sampai hanya dengan aura saja, dia bicara dengan nada yang membuatku nyaman.
“Aku bersamamu.”
Tentu saja aku tersenyum. Untuknya. Senyum palsu terhebat dariku.
Jadi, aku mencoba mengerti. Iya. Segalanya akan baik-baik saja, aku ingin bisa mengucapkan itu. Namun, segaris air mataku tidak bisa berhenti mengalir. Dia tidak akan mengucapkan salam perpisahan. Karena itu, alih-alih mengucap selamat tinggal atau sejenisnya, dia melambaikan tangan. Aku tidak mau dan tidak pernah mau melihat itu. Tangannya bak menggumamkan pemberkatan penuh perpisahan untukku yang asing.
Maka dia berjalan. Awalnya melangkah mundur. Perlahan. Dan begitu dia menemukan momen ketika benakku retak, dia berbalik. Dia memunggungiku, dan punggung kecil yang mulai terbebas itu terlihat istimewa. Kakiku mengeras. Dan begitu kusadari, dinding tidak kasat mata di antara kami mulai mewujud. Aku tahu bukan waktunya berbohong. Aku tidak mau menyesal. Karena itu, suaraku berteriak, seolah dalam kenyataan kami yang tak saling mengenal, aku memintanya kembali. Suaraku menuntut, dan dalam alunan menyakitkan, air mataku terasa kian sesak.
“JANGAN PERGI!”
Aku ingin dia mengerti bahwa di balik teriakan ini, aku ingin dia di sisiku, bukan untuk menjaga tiap kegilaan yang kulakukan, tetapi sebagai orang yang ada untukku. Barangkali aku tidak tahu siapa dia, tetapi kami bisa mencari tahu. Kalau dia di sisiku, kami bisa memulainya dari awal. Dan aku mungkin suka melakukan hal sinting—barangkali itu tidak pernah bisa membuatnya tenang, tetapi semua hal ini tidak lagi bisa kupikirkan. Ketika dia lenyap dalam kegelapan pekat, benakku tiba di ambang kesengsaraan.
Begitu kusadari, dia telah pergi. Sosoknya lenyap ditelan kehampaan.
Kakiku ambruk. Rasa sakitku menjadi-jadi.
Aku mengerjapkan mata. Kilasan itu hilang. Seseorang menepuk bahuku. Seseorang dengan topi putih. Pria dengan kharisma luar biasa.
“Adikmu,” ucapnya. “Sudah waktunya istirahat.”
“…adik?”
“Perang di depan mata, Bocah Alam. Tegakkan kakimu.”
“Perang?”
Langit menggelegar. Kilat berderak. Begitu aku mengangkat wajah, ratusan burung sudah di atasku. Burung hitam. Seperti mengarah dan menukik.
Burung…
…atau anak panah.
Aku tidak mengerti. Medan perang? Adik? Siapa? Aku tidak punya siapa pun selain Aza dan Nenek. Aku tak pernah ada di tanah lapang penuh darah.
Di tengah selang waktu antara anak panah dan kematian itu, aku kehilangan diriku. Rasanya seperti jiwaku ditarik tinggi ke angkasa, meninggalkan raga yang kosong bersama pendar hitam yang dia sebut adikku. Tanah lapang, dalam kejauhan aku bisa melihat danau yang ditutupi hutan pinus, ladang buah-buahan—sepertinya aku pernah memetik buah di sana—lalu mercusuar tinggi dan pondok yang tersebar. Itu seperti kumpulan pondok simetris. Saling mengelilingi titik kecil. Itu area yang paling lama kulihat, seolah sebagian diriku tertinggal di sana.
Namun, kilasan itu tidak ada artinya. Ketika kesadaranku kembali, aku tetap di atas tanah. Terdiam. Seolah menanti kematian pada titik kecil di atas langit. Titik yang siap memotong garis hidupku.
Dan pada saat itulah—ketika anak panah tepat berada di depan mataku, satu suara lembut memenuhi kepalaku. Suara ceria. Yang entah bagaimana membuatku kembali meneteskan air mata.
[“Jangan curang. Diam di situ. Dengarkan aku bicara.”]
Jantungku berdegup kencang. Kilasan itu terdengar begitu nyata. Layaknya dalam dekapan seseorang—dengan mata saling bertautan satu sama lain.
[“Aku mencintaimu. Kau tidak mau balas memelukku?”]
Dan aku tersentak bangun.
Berkat Reila, aku bisa tertidur sampai jam sarapan. Mungkin salah satu yang membuat tidurku terganggu, adalah karena aku terlalu banyak memendam.Masalahnya, aku terlelap di sofa. Dan semua beban di kepalaku tidak hilang. Begitu terbangun, aku merasa segar, tetapi hanya sedikit. Kepalaku masih kelewat berat seolah sesuatu yang mengganjal itu tidak hilang dengan tidur. Ketika mataku terpejam, aku bisa melihat bercak hitam kehampaan di mataku seolah itu jauh lebih gelap dari kegelapan mana pun. Bercak itu bergerak, membuat mataku bergetar—dan setiap mataku terpejam, itu memaksa mataku terbuka. Reila berhasil membuat bercak itu tidak terlalu terasa membara dengan caranya, dan dalam waktu yang tak bisa kusadari, aku sudah tertidur. Yang menjadi masalah: bercak gelap itu kembali, membuat mataku seperti terbakar, dan aku terlonjak bangun.Inilah alasan kedua mengapa aku dan Lavi berangkat terlambat: Lavi ada di sampingku ketika aku terbangun. Di sofa. Tepat di sampingk
Sebelum pencarian ketiga, semua mulai meledak.Aku dan Lavi baru berangkat setelah tengah hari, beda titik dengan Reila yang sudah berangkat sejak jam sarapan habis. Kali ini dia tetap berangkat dengan Profesor Merla, tetapi tanpa Kara. Sebagai gantinya, Elton ikut misi.Dan alasan pertama mengapa aku terlambat berangkat, adalah Reila.Aku tidak bisa tidur lagi—sebenarnya aku tidur, tetapi hanya satu jam. Jadi, ketika bangun, kepalaku pusing. Saat itu dini hari. Aku di dapur, mengambil minum dengan harapan pusing di kepalaku hilang, tetapi ternyata gerak motorik tanganku belum sepenuhnya kembali. Gelas itu tergelincir dari tanganku, dan: prang!Satu-satunya yang keluar kamar: Reila.Begitu dia keluar dengan raut terkejut dan curiga, kami bertautan mata. Di dekat kakiku masih tersebar pecahan kaca. Di malam itu, akhirnya tidak ada yang bisa disembunyikan lagi. Aku mengatakan semuanya.Tentang misi ini, apa yang kupikirkan di ba
Setelah kembali dari misi, aku menghabiskan waktu di gerha. Tidak pergi sama sekali. Kupikirkan aku ingin tidur, tetapi dengan cara apa pun, aku sulit tidur. Sewaktu masih di alam liar, ketika Lavi tertidur di sampingku, aku sama sekali tak bisa tidur. Kesadaranku seperti tidak bisa jatuh. Kepalaku dikuasai hal-hal aneh. Itu masih berlangsung hingga tiba di gerha. Barangkali Tara tidak memberitahu kalau aku seperti butuh tidur, tetapi dua malam terakhir, aku tidur hanya sesaat.Reila menyebut hasil misinya sebagai, “Bukti dari Bibi kalau tidak ada lagi yang bisa ditemukan, jadi dia memintaku tidak merengek berangkat misi.”“Kau merengek?” tanyaku.“Bibi menyebutnya seperti itu.”“Jadi, kau tidak misi lagi?”“Masih misi. Harusnya dua hari lagi. Sama seperti Kakak.”Itu pun kalau aku berangkat dengan Lavi—aku ingin mengatakan itu, tetapi aku menahannya sedemikian rupa. Kalau Lav
Pencarian kedua tidak menghasilkan apa-apa. Kami memutuskan pulang di tengah hari karena kondisi Lavi sudah tidak lagi bagus untuk pencarian. Fisiknya dan benaknya sudah benar-benar habis. Aku yang memutuskan kembali.Lavi menurut. Kami kembali dan memutuskan gunung itu bukanlah tempat mencurigakan. Itu hanya tempat normal. Untuk pencarian berikutnya, kami pindah ke tempat lain. Tentunya belum kami bicarakan. Aku tidak ingin memulai obrolan serius semacam itu ketika kondisi Lavi sedang habis.Aku menggendongnya, membawanya ke Padang Anushka.Kami tiba sekitar pukul dua siang.Dan momen kedatangan kami—bagiku salah—tetapi bagi Lavi sangat tepat. Di pondok perbatasan, Haswin, Yasha, dan Dalton sedang main catur.Kami menapak di bukit perbatasan, disambut oleh Mister seperti biasa. Lavi turun dari punggungku. Haswin berkata, “Kerja bagus. Selamat datang.”“Bermalas-malasan seperti biasa?” tanya Lavi.&
Di pencarian kedua, Reila akhirnya berangkat. Izin misinya kembali.Bukan karena Lavi. Bukan karena Profesor Merla. Namun, tim medis. Izin misinya dikembalikan—secara teknis, tim medis kembali mempercayakan kondisi Reila pada dirinya sendiri. Menurut Isha, semua dalam diri Reila tidak pernah ada yang kacau. Semuanya stabil. Dokter Gelda juga mengatakan hal sama. Jadi, tidak pernah benar-benar ada yang mengaku apa alasan sebenarnya tim medis mencabut izin misinya. Meskipun begitu, tim medis, aku, Profesor Merla, dan—bahkan Reila sendiri tahu alasan sebenarnya.Susunan timku dan Lavi tetap: aku dan Lavi.Susunan tim Reila: Profesor Merla, Reila, dan Kara.Untuk misi kali ini Kara menawarkan dirinya ikut, terutama karena wilayah pencarian Reila adalah sekitar air terjun hingga gua tebing.“Aku ingin lihat langsung wujud gua itu, Nak,” kata Kara. “Omong-omong ke mana tim kalian pergi?”“Negeri atas awan,
Keesokan harinya, kami bergerak ke sekitar gunung hingga hampir bertemu gelap lagi. Lavi punya gagasan menuruni area yang paling terjal—yang semestinya meningkatkan peluang bertemu monster dan musuh. Namun, tak ada lagi yang bisa kami temukan, kecuali alam liar yang jauh lebih brutal dari apa pun. Dengan yakin aku tahu tak ada manusia yang bisa menyentuh daerah ini lagi sejak 500 tahun lalu. Alam liar di puncak gunung terasa lebih alami seolah berada dalam pelindung.Tidak ada bekas monster. Tidak ada musuh. Gunung itu jelas mencurigakan.Kami berjalan cukup jauh sejak turun dari gunung. Tidak terbang lagi.Lavi menandai koordinat ketika aku menyusuri sungai.Sungai itu cukup janggal. Bagian sisinya punya banyak lubang aneh seperti perangkap. Aliran airnya sangat tenang. Sungai ini pasti lebih dalam dari kelihatan. Beberapa lubang aneh di pinggir sungai dan rawa-rawa ini membuatku bisa paham lebih banyak. Aku meminta Lavi menjauh dari sungai.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments