All Chapters of Gara-gara Tunangan Posesif: Chapter 71 - Chapter 80
100 Chapters
71. Aku Yang Cacat
Bara mencengkram hendle pintu ruangan Nadia. Dokter Ryan tengah menangani Nadia di sana. Bara tidak berani mendekat karena di sana papa Nadia menatapnya dengan tajam dan menyuruhnya untuk tidak mendekati Nadia. Jari-jemari Nadia perlahan bergerak, membuat semua orang di sana terharu. Nadia melewati masa kritisnya. Bara refleks mendekati Nadia dan tidak peduli akan kemarahan papa Nadia nantinya. "Ayo kamu bisa, Sayang. Nadia-nya Bara bisa." Bara menggenggam tangan Nadia. Aldi ingin menghentikan nya, namun melihat kesungguhan di mata Bara, ia mundur perlahan dan membiarkan Bara untuk memberikan penyemangat untuk Nadia, putrinya. "Buka mata cantik kamu, Sayang. Kita semua menunggumu."  Nadia membuka matanya perlah
Read more
72. Mereka Telah Menderita
Candra memperhatikan interaksi mereka berdua di kejauhan. Tidak tentang apapun, namun mengenai Nadia yang akan pulang besok pagi.  "Bagaimana keadaan sahabat saya, Pak? tanya Maya. Ia cukup hormat dengan dosen nya ini. Sehingga bertanya dengan selembut mungkin, walaupun sebenarnya ia paling malas melakukannya. Untuk Lala, gadis itu tidak bisa ke rumah sakit hari ini, karena izin mengantar mamanya ke pasar membeli stok kulkas yang telah kosong. Nanti siang, gadis itu akan datang ke rumah sakit. "Keadaan Nadia sudah membaik." "Bagaimana dengan kaki sahabat saya, Pak? Hem … begitupun dengan trauma Nadia?"  
Read more
73. Kepulangan Nadia dari Rumah Sakit
Hari ini adalah hari yang mereka semua tunggu-tunggu. Nadia diperbolehkan pulang karena kondisinya telah membaik. Terlihat Bara sangat sibuk membersihkan brangkat Nadia dan menenteng tas berisi semua perlengkapan gadis itu. Nadia duduk di kursi roda bersama dengan Aldi. Aldi sempat terharu melihat bagaimana sibuk nya Bara karena kepulangan Nadia. "Bara! Sudah?" tanya Aldi. Bara menghela nafas lega dan mengangguk. Tas berwarna pink ia tenteng keluar mengikuti Aldi yang mendorong kursi roda putrinya. "Terima kasih, Dokter."  Di luar Ryan dan kedua sahabat Nadia menunggunya di sana. "Sudah tugas
Read more
74. Simpati yang Sulit
"Mau ke rumah Nadia?" tanya Rani, mengoleskan selai roti rasa vanilla dengan telaten. Bara mengangguk, "Iya, Ma. Bara telah menyewa lima asisten pribadi untuk Nadia." Rani mengangguk setuju. Semoga Nadia bisa memaafkan Bara dan juga segera melaksanakan pernikahan mereka.  "Papa kemana, Ma?" tanya Bara mengedarkan pandangannya ke segala penjuru ruangan. "Papa kamu sibuk, gantiin kamu." Ya, untuk bulan ini Bara tidak ingin meninggalkan Nadia barang sedikitpun. Bara harus selalu ada di samping Nadia-nya. "Kapan Nadia mulai terapi nya?" tanya Rani kembali. 
Read more
75. Hampir Menyerah
Setelah membersihkan Nadia dan memakaikannya dengan pakaian yang nyaman. Kinara membawa Nadia ke depan meja makan. Raut kebahagiaan di wajah wanita paruh baya itu terlihat sangat jelas. Nadia akhirnya mau keluar kamar. "Selamat pagi kesayangan, Papa," sapa Aldi seceria mungkin. Walaupun terlihat sangat aneh, karena dirinya tidak biasa melakukannya. Namun ini hanya untuk Nadia, putri kesayangan nya. Nadia menatap sang papa dan mengangguk. Aldi menghela nafas pelan melihatnya. Kapan putrinya akan seceria dulu? Aldi sangat merindukan putrinya. "Sayang! Papa dan Nenek, bahkan Bara tidak akan pernah meninggalkan kamu. Jadi, jangan sedih ya? Princess nya, Papa." Kinara menggeser nasi goreng seafood ke depan Nadia. Gadis i
Read more
76. Perlahan Mulai Luluh
Hari ini Nadia dan Bara ke rumah sakit, hanya berdua. Tidak ditemani beberapa asisten yang bertugas mengurus Nadia.    Bara ingin melakukannya sendiri. Bara dengan enteng membawa segala keperluan Nadia di dalam tas. Seperti seorang ayah yang akan mengantarkan anaknya untuk ke dokter.   “Bagaimana, Nadia? Apakah sudah siap?” tanya dokter Ryan menyambut mereka berdua.   Nadia sebenarnya tidak yakin dirinya akan bisa berjalan kembali. Kedua kakinya terasa mati rasa.   Melihat tidak ada kesungguhan di dalam manik mata Nadia. Dokter Ryan seakan sudah terlatih untuk menghadapi situasi ini.   “Nadia, yakinkan pada dirimu sendiri. Kamu bisa melakukannya.”
Read more
77. Cinta Pertama
Bara menatap tajam keempat teman-temannya. Mereka menertawakannya tanpa henti, tidak menyadari dirinya ingin sekali mencabik-cabik wajah mereka. "Hahah …. hahah … gue ngak nyangka sih, seorang Barata Mahendra, cowok yang terkenal dingin dan sangat tampan. Incaran para gadis, sekarang ditolak mentah-mentah sama junior kita hahah …." "Lo perlu kaca mungkin, Bar. Aura ketampanan lo pasti berkurang." "Eh! Tapi, junior yang menolak Bara tuh, gila cantik dan mulus banget. Mana manis lagi." "Diam kalian!" bentaknya membuat mereka semua bungkam. Bisa mati mereka melawan Bara yang temperamental itu. "Dia nolak gue karena ngak mau pacaran."
Read more
78. Trauma Itu Kembali Muncul
Di ujung sana, Bara tengah duduk di atas kursi. Tepatnya di atas panggung sebari memegang gitar. Sedangkan Nadia bersama dengan kedua sahabat nya menemaninya di meja paling depan. Mereka berada di sebuah restoran milik keluarga Mahendra yang terlihat sangat ramai. Maya dan Lala tersenyum melihat Bara yang sangat romantis di atas sana. Mata Bara tidak terlepas dari Nadia sedari tadi. Mereka saling memandang begitu dalam. Menyalurkan segala kerinduan di lubuk hatinya. Kenapa takdir mereka begitu menyakitkan. Musibah selalu berdatangan tanpa henti. Namun Bara bersyukur masih diberikan kesempatan untuk merawat gadisnya. Mencium aroma tubuhnya dan memandangnya setiap hari. "Selamat malam. Di sini saya akan menyampaikan sebuah lagu untuk perempuan yang paling berarti dalam hidup s
Read more
79. Dia yang Selalu Ada
"Maaf, Sayang. Aku ngak bisa antar kamu. Celina lagi sakit."   "Aku janji akan barubah dan jahuin Celina."   "Maaf, Sayang. Aku salah."   "Dia lagi sakit, Sayang."   "Mama sudah ngak ada, Nadia. Ikhlaskan."   "Ma! Nadia rindu masakan, Mama."   "Ini bukan tempat kamu, Nak."   "Mama dan kakek tidak akan basah karena hujan, Sayang."   "Mereka bersama Tuhan!"    "Ma, Nadia rindu."  
Read more
80. Lamaran Di Terima
 “Tuan muda!” mereka segera menunduk dengan sangat sopan. Bara menatap mereka dengan wajah datar tanpa minat.   “Nona Nadia tengah berada di dalam kamar mandi.”   Bara menghela nafas pelan dan mengangguk. Tidak mungkin dirinya di sini. Bara kira, Nadia belum bangun dan masih menutup mata. Ternyata Nadia sedang bersiap-siap.   “Saya tunggu 15 menit!” tegas Bara.    Mereka bertiga langsung mengangguk. Setelahnya Bara keluar dari kamar Nadia. Ketiga gadis itu bernafas lega. Kedua temannya menatap tajam Yuriko.   "Ini semua gara-gara dirimu, Yuriko. Hampir pekerjaan kita hilang begitu saja. Tuan muda bukan pria sembarangan. Jangan pernah mencari masal
Read more
PREV
1
...
5678910
DMCA.com Protection Status