All Chapters of Poor Fatma: Chapter 11 - Chapter 16
16 Chapters
Bab 11
Bapak pria setia. Sepeninggal Ibu, tidak sekali pun ada niatannya untuk menikah lagi. Meski harus bersusah-susah menggendongku dengan selendang di belakang punggung sambil menarik gerobak sampah, statusnya bertahan sebagai seorang duda.Pada usiaku yang ketiga belas, datang seorang wanita yang usianya jauh di atas Bapak. Kutaksir dia seorang yang berkecukupan, sebab tangan dan lehernya berhias perhiasan emas. Dia pun datang dengan mengendarai motor yang tidak kuno modelnya.Kata wanita itu, dia warga desa sebelah. Dengan terang-terangan diutarakannya keinginan untuk menjadikan Bapak sebagai suami—pengganti dari suami yang meninggal beberapa tahun sebelumnya. Kenapa memilih bapakku? Alasannya cukup menarik. Menurut dia, Bapak punya aura lelaki penuh tanggung jawab, tampan, dan pantas menjadi ayah tiri bagi anak-anaknya.Sayang, Bapak menolak hasrat wanita itu. Baginya, hanya ada satu wanita yang terpuja di hatinya yaitu almarhum Ibu. Padahal, sudah terhitun
Read more
Bab 12
Nyawa hanya satu, tetapi tidak mudah lenyap hanya karena segala derita telah kutanggung. Buktinya detik ini hidungku masih kembang-kempis sebagai jendela pernapasan. Kunamai jendela karena fungsinya sebagai pintu telah digantikan sebuah alat yang tersambung ke tabung oksigen.Lagi-aku aku masih hidup dan harus merasakan sakit di sekujur badan. Bedanya, tidak ada kekuatan untuk berdiri apalagi berjalan. Lemah, aku membujur di kasur empuk, di sebuah tempat berpencahayaan terang. Aroma ruangan ini sama seperti ketika memeriksakan kandungan, dulu.“Pasti ada alasan kenapa seseorang memutuskan sesuatu atau memilih sebuah jalan. Seperti Ajeng yang memintamu menjadi madunya, juga Pandri yang terpaksa menyetujui permintaannya. Dan kamu, Fatma. Apa alasanmu tetap bertahan hidup bersama si berengsek itu?”Sedikit sakit, tetapi kupaksa menoleh ke sumber suara. Suara seorang pria yang pernah selentingan teringat di memori. Aku menerka, dan benar saja itu dia.
Read more
Bab 13
 Semalaman aku tak bisa lepas dari bayang-bayang Mbak Ajeng. Terlepas dari semua kebaikan wanita itu, yang yang paling membuat rasa bersalah adalah keadaannya saat ini. Masih teringat olehku binar wajahnya manakala dia menghidu aroma teh saring, lalu menyeruput pelan dengan gaya yang amat anggun; tutur lembut bibirnya yang serasi dengan elegan penampilan; juga tawa-tawa kecilnya saat mengajariku banyak hal.Mbak Ajeng pernah bilang kepadaku bahwa hendaknya minum air lemon setiap pagi agar lemak di perut luruh. Sayangnya, uang di kantung bajuku jauh dari kata cukup untuk membeli buah kuning itu. Dia juga menasihati agar tidak makan sayur bening bayam jika lewat enam jam, dijelaskankannya segala reaksi kimia tentang sayur hijau itu, tetapi otakku terlalu kecil untuk menjangkau kalimatnya.Pernah juga dia membawakan sebotol kapsul dengan tulisan Vitamin E, katanya agar kulitku bisa kencang dan awet muda. Namun, di hari ketiga dan seterusnya, aku lupa untuk menela
Read more
Bab 14
Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa punya arti. Sesuatu yang tampaknya sepele, nyatanya bisa menciptakan sepercik asa bagi orang lain. Tak peduli apakah aku melakukannya dengan sengaja atau tidak.Kami duduk berdekatan di depan kamar rawat, sama-sama menatap kerlip bintang yang muncul malu-malu. Memasuki musim kemarau, langit malam lebih cerah ketimbang saat hujan deras. Meski begitu, suasana yang ada sama seperti ketika pertama kali aku dan Mbak Ajeng saling mengenal.“Aku juga pernah menjadi bintang, Fatma. Sejak kecil, predikat seperti itu sudah melekat di diriku. Dari juara kelas, ratu fashion, sampai bintang kampus. Ya, seperti yang kamu lihat, apa yang ada di diriku tampak selalu sempurna.” Mbak Ajeng menjeda sunyi dengan kalimat-kalimat yang terdengar miris, sebab dia ucapkan dengan wajah pucat pasi.“Aku akan senang kalau Mbak bisa selalu menjadi bintang. Mbak Ajeng harus bangkit.”“Aku bukan seorang donat
Read more
Bab 15
Pantatku jatuh ke sebuah permukaan yang lembut dan tebal, tetapi empuk sekali. Rasanya seperti tertarik masuk ke dalam pusaran lumpur dan susah untuk bangkit keluar. Ada hawa dingin yang keluar dari sebuah alat persegi panjang yang terpasang di sudut teratas bagian kiri kamar, membuat tubuhku kedinginan begitu pertama kali masuk ke sini. Sementara itu, selimut berwarna putih yang hampir setebal kasur di rumahku, agaknya memang dingin karena terbuat dari bahan khusus, jauh berbeda dari sarung kumal peninggalan Bapak yang setiap malam kupakai sebagai gelung badan.Meski selama ini kamar ini kosong, tetapi Mbak Ajeng tidak luput mengisikan perabot di setiap sisi, sama seperti di kamarnya. Bedanya, ukuran kamar ini tidak terlalu besar. Jika warna-warna di seluruh dinding di rumah ini didominasi warna krem, di kamar ini justru warnanya putih polos. Mungkin, karena memang ini diperuntukkan bagi tamu yang hendak menginap.Begitu sampai di rumah ini, Mbak Ajeng membawa Lio ke
Read more
Bab 16
“Fatma, aku sengaja membeli ini karena gaya berbusanamu tidak jauh dari ini. Bagaimana?”Mbak Ajeng membongkar satu per satu kardus, kemudian menunjukkan banyak baju baru kepadaku. Kaus-kaus berlengan panjang, rok denim semata kaki, kemeja lengan pendek, juga celana bahan berwarna monokrom. Sekaligus pula, dia gunting label-label merek dan harga, lantas memasukkan asal ke dalam keranjang baju. Dia juga bilang, baju-baju itu harus dicuci terlebih dahulu sebelum bisa kukenakan.“Besok Bi Par akan mengurus cucian ini. Tapi, karena besok Mbok Sami libur, maka kamu harus membantuku memasak, ya!” Dia tersenyum lebar.Aku mengangguk sekilas, sedangkan Mbak Ajeng tidak berhenti mengobrak-abrik kardus. Kali ini dia tertawa kecil sambil menunjukkan sekotak alat rias. Satu kuas disapu-sapukan ke pipinya yang bersinar, seakan-akan memberi contoh bagaimana cara menggunakan alat itu. Kemudian beralih pewarna bibir, bedak, juga pewarna-pewarna lainnya.
Read more
PREV
12
DMCA.com Protection Status