Poor Fatma

Poor Fatma

Oleh:  Peri Manta  On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Belum ada penilaian
16Bab
1.2KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Fatma seorang gadis miskin anak tukang sampah. Ia mengalami pelecehan seksual, pernikahan paksa, KDRT, hingga korban penjualan anaknya. Ia ditakdirkan bertemu dengan Ajeng, pengusaha muda yang cantik sempurna dan bersuamikan dokter. Tetapi, anaknya mengalami cacat mental atau autis. Ajeng menawarkan hal besar pada Fatma, yaitu agar Fatma menjadi istri kedua suaminya dan menjadi ibu tiri bagi Lio. Namun, Fatma menolak mentah-mentah. Bapaknya bilang, ia harus jadi wanita baik-baik meski terlahir dalam kemiskinan. Hunjaman penderitaan yang dialami Fatma, pada akhirnya membuat ia berpikir ulang tentang tawaran Ajeng yang sok tulus itu. Fatma mencoba mendekatkan diri kepada Dokter Pandri dan Lio, tetapi keduanya malah menolak. Kalau bukan karena Ajeng yang tiba-tiba depresi dan masuk rumah sakit berkali- kali, Fatma memilih rela disiksa suaminya. Lalu, berkat bantuan Dokter Yudi dan pacarnya, Fatma lepas dan bercerai dengan Surya. Ajeng datang lagi dan memohon agar Fatma menjadi madunya. Fatma setuju. Ia menikah dengan Dokter Pandri walau dokter tampan itu tak sedikit pun mau menyentuhnya. Kecemburuan mulai hadir di antara mereka. Tepat saat Fatma mulai jatuh hati pada sikap sang dokter, mantan suaminya kembali muncul. Lelaki itu membawa rahasia besar, kenapa Ajeng memaksa Fatma untuk jadi madunya. Fatma merasa ditipu. Rasa sopannya pada Ajeng berubah menjadi benci dan dendam. Ia berniat merebut segala hal yang dimiliki si wanita sempurna.

Lihat lebih banyak
Poor Fatma Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
Tidak ada komentar
16 Bab
Bab 1
Bab 1: Kesempurnaan Namanya Ajeng Warih Kinasih. Wanita yang katanya sudah berusia tiga puluh dua tahun, tetapi tampak lebih muda dariku—yang baru dua puluh tiga tahun. Saat dia menyelipkan anak rambut di daun telinga, aku bahkan tidak melihat ada garis jejak kaki burung gagak di sudut matanya. Dua kali bertemu dengannya, dia selalu berpakaian rapi layaknya wanita berpendidikan tinggi. Wangi parfum yang tercium berkat gesekan kain pembungkus badannya, juga meninggalkan jejak yang membuat kepayang.Terkadang aku berpikir, Mbak Ajeng ini manusia atau malaikat? Dia terlihat sempurna sebagai wanita. Tak hanya cantik secara fisik, dari suaranya yang bak nyanyian bidadari, dapat kusimpulkan kalau hatinya juga sebening zam-zam. Setiap kata dari bibir ranumnya yang terpoles pewarna merah kecokelatan, selalu teriring tanjakan sudut bibir. Belum lagi kulit pipinya yang licin walau tanpa bedak, tampak tirus diapit helai-helai rambut panjang bergelombang.
Baca selengkapnya
Bab 2
Aku. Aku hanya seorang perempuan yang sejak kelahirannya tidak pernah mengenal ibu. Kata Bapak, ibuku mengalami preeklampsia sesaat setelah melahirkanku. Bapak pulang dari rumah bidan masih dengan aliran air mata. Sambil menggendongku, dia berusaha mencampurkan beberapa tetes susu kental manis kalengan dengan air hangat yang telah dijerangnya di kompor minyak tanah. Katanya lagi, aku baru berhenti mengoeek setelah sesendok demi sesendok air campuran berwarna putih itu masuk ke mulutku.Lepas aku tertidur, dia meletakkan aku dari gendongan ke dipan bambu satu-satunya di rumah ini. Ketika malam, dia menangis sembari menyalakan damar—sebab saat itu belum terpasang aliran listrik di kampung ini. Hmm, Bapak menangis mengingat istrinya telah berpulang ke pangkuan Ilahi, sedangkan aku baru menikmati malam kesatu kelahiranku.“Ibumu cantik, sama seperti dirimu, Fatma. Kelak, walau bapak tak bisa berbuat banyak untukmu, jadilah wanita baik-baik.” Begitulah set
Baca selengkapnya
Bab 3
Darah menetes dari hidungku dan nyeri di kepala bagian belakang menyebabkan pandangan berkunang-kunang. Tadinya hanya segelas kopi yang menyiram wajahku, tetapi saat pria itu mendorong tubuhku hingga aku menggulingkan meja berkayu lapuk itu, seluruh makanan yang kusiapkan ikut menempel di badan. Bajuku jadi berwarna sambal, putih-putih bulir nasi melekat di rambut, dan hijau sayur daun ketela rambat tersangkut di lengan begitu air kuahnya menetes habis.“Kamu mengundang seorang teman tanpa ijinku? Siapa wanita itu? Dari dinas sosial, ‘kan? Mengadu apa, heh?” Pria itu menempelkan pelipisku ke tembok dengan kasar.Sudahkah kalian tahu nama pria itu Surya? Artinya matahari. Nama yang terlalu berharga untuk pria bengis macam dia. Pernah aku melamun, membayangkan akan memberi nama anak lelakiku serupa itu. Biar keturunanku kelak menjadi seorang yang bersinar dan menyinari layaknya matahari. Namun, bilamana Surya menginjak dadaku secara paksa hanya untuk me
Baca selengkapnya
Bab 4
Pernah, pada suatu Minggu pagi yang cerah, Bapak libur mengangkut sampah. Aku yang masih kelas tiga sekolah dasar diajaknya berjalan-jalan tanpa gerobak besi bercat hijau. Itu hal yang menyenangkan sekali, sebab untuk pertama kalinya aku menggandeng tangan Bapak tanpa bau busuk menyertai.Kami berjalan sampai jalan raya dan menunggu sampai pukul tujuh tepat di halte bus. Kendaraan lalu-lalang di hadapan, sungguh membuatku takjub. Lucunya, aku sempat berangan-angan akan membelikan mobil untuk Bapak—kelak, saat aku dewasa dan menjadi orang kaya.Sebuah bus berukuran sedang berhenti, beberapa orang berdesakan turun. Sejurus itu, Bapak meraih tubuh kecilku sehingga aku menapak lebih cepat di dalam bus. Detak di dadaku bertalu cepat tetapi menyenangkan iramanya. Saat Bapak sudah mendapatkan tempat duduk, dia memangkuku. Ah, aku bisa melihat dengan jelas kendaraan dan orang-orang berseliweran di trotoar dari kaca jendela bus. Pohon-pohon di tepi jalan—meski berdi
Baca selengkapnya
Bab 5
Ajari aku rasa, pun geliat dalam dadaBisik berdersik biarpun angin tak menggelitikKuncup merekah di tiap langkah Ajari aku mengolah gelisah buang gelebahRindu teramu walau dunia jemuMekar di tangan kekar tanpa kelakar Pria. Apa hari ini adalah hari pria? Ataukah hari ini adalah hari pengagungan wanita? Aku menanyakan ini karena ada hal tak biasa sedang terjadi.Aku duduk manis di kursi kayu sesuai perintah Surya. Namun, dia tidak mengikat tanganku ke belakang dengan sobekan kain rokku—seperti biasanya, kalau mendapati aku tak ada di rumah ketika dia pulang. Dia juga tidak melepas sabuk hitam dari kolong sabuk celananya. Tak ada gamparan, tak ada cacian. Luka yang hampir mengering berkat salep Dokter Pandri juga tidak mengucurkan darah lagi.Surya mondar-mandir. Mulai dari membereskan kamar, mencuci piring, menyiapkan makan malam, juga menyapu rumah, dilakukan dengan tangannya sendiri. Setia
Baca selengkapnya
Bab 6
“Seekor harimau menjadi kucing jinak?” Mbak Ajeng mengangkat satu alisnya, lalu kembali berkata, “Itu bukan keajaiban, Fatma, tapi rencana terselubung!”“Awalnya aku juga ragu, Mbak. Namun, hingga detik ini Surya memperlakukanku dengan sangat baik. Dia benar-benar berubah.”Mbak Ajeng terdiam sejenak. Dia melirik sekilas jam berbentuk persegi panjang kecil di tangan kirinya—yang tampak mewah karena berwarna keemasan, lantas berdecak pelan.“Mbak terburu-buru, ya? Aku belum buatkan teh, lagi pula cuaca tidak sedang hujan. Mbak Ajeng juga bawa mobil. Kenapa tidak menunggu sebentar lagi, sampai Surya pulang?”“Ehm, tidak bisa, Fatma. Lain kali saja. Hari ini jadwalku mengantar Lio ke tempat terapi. Beberapa hari ke depan aku juga sibuk ke luar kota. Aku pasti akan banyak mencemaskanmu.” Mbak Ajeng menarik lebar sudut bibirnya. Namun, entah kenapa matanya malah berkaca-kaca.Kupikir, den
Baca selengkapnya
Bab 7
Kalau aku memiliki anak, maka akan kuperlakukan dia jauh lebih baik dari Bapak memperlakukan aku. Ini bukan berarti dia kurang baik sebagai ayah, hanya saja aku ingin lebih hebat sebagai seorang ibu. Seumpama Bapak memeluk penuh kasih sayang saat aku lahir ke dunia ini, maka cinta kepada anakku sudah berkembang sejak benih Surya berbentuk segumpal darah dalam rahimku. Andai kata orangtua tunggalku itu menjaga bayi Fatma karena terpaksa—sebab istrinya telah tiada, maka aku menjaga janin ini dengan ikhlas hati—sebab untuk dialah aku masih bertahan hidup di dunia ini.Aku mendongak ke tembok atas ruangan bercat putih. Ada layar semacam televisi tetapi didominasi warna gelap, hanya sedikit warna putih membentuk segitiga dan bulatan kecil di tengahnya. Ada tulisan kecil-kecil di sisi kiri bawah yang menumpuk, tetapi mataku tak bisa membacanya dari jarak jauh. Meski bisa terbaca pun, belum tentu aku mengerti maksudnya. Saat seorang perawat menempelkan alat-alat medis di
Baca selengkapnya
Bab 8
Andaikan aku punya sayapKu ‘kan terbang tinggi, mengelilingi angkasa‘Kan kuajak ayah bundaku, terbang bersamakuMelihat indahnya duniaMelihat indahnya ... dunia .... “Lagu itu terdengar dari radio tetangga, yang entah kenapa disetel keras-keras. Saat itu usiaku baru empat tahun, tapi belum fasih bicara. Dengan mengingat-ingat liriknya, kucoba menyanyikan lagu itu, Mbak. Lalu, tahukah apa yang terjadi?”Mbak Ajeng menggigit bibir sambil mengetuk-ketuk telunjuk di dagu. “Entahlah. Memangnya apa?”Aku bercerita lagi. “Anak tetanggaku mencibir dari jauh, lidahnya dijulur-julurkan, dan mukanya tampak jelek karena kantung matanya ditarik ke bawah. Mengesalkan sekali!”Semula Mbak Ajeng menahan tawa. Namun, akhirnya lepas juga. Mungkin, yang dirasa lucu bukan cerita itu, melainkan karena aku bercerita sambil menggosok-gosok tangan yang perih akibat gigitan Lio.&l
Baca selengkapnya
Bab 9
Aku sedang rindu hujan. Hujan yang membawaku pada lamunan, juga hujan yang mendatangkan garis waktu bernama takdir. Takdir bertemu dengan Mbak Ajeng.Entah sudah berapa lama, karena aku tak menghitung pasti lewat angka-angka di kalender. Mungkin, sekitar empat bulan, atau lima bulan. Mbak Ajeng benar-benar tidak bertandang lagi ke rumah ini. Sempat tercetus kata sesal dalam hati, sebab ucapanku pada pertemuan terakhir waktu itu mungkin melukai hatinya.Ada dua hal yang membuatku begitu ingin bertemu lagi dengannya. Pertama ialah kesendirian. Pada jam-jam siang, tak banyak yang bisa kulakukan. Selesai mengerjakan pekerjaan rumah, aku hanya bisa duduk di ruang tamu dan memandang kosong ke halaman depan. Tidak ada lagi canda tawa dari seorang tamu asing yang tersasar ke rumah, tidak ada perhatian-perhatian manis layaknya seorang kakak yang memanjakan adiknya, dan tidak ada aroma wangi seorang wanita sempurna yang mencocok hidung.Hal kedua adalah tentang Surya. Sud
Baca selengkapnya
Bab 10
Lio tidak menyadari kehadiranku. Dia menatap tajam buku gambar. Pensil warna biru sudah ada di genggaman, tetapi dia seolah-olah belum berniat mengarsirkannya di lembar putih polos. Mungkin saja dia tengah bingung apa yang hendak dilukis di sana.Aku berdiri terpaku di ruang tengah rumah Mbak Ajeng, menatap nanar ke arah anak itu. Tanpa sadar kuremas perut. Ingatan akan bayi yang pernah bergerak aktif di dalam sini, membuat degup jantung terpacu. Ada yang terasa sesak di dada—yang kemudian menstimulasi mata untuk membuat bendungan hangat.Sejenak, aku merasa Tuhan pilih kasih. Kenapa Dia biarkan seorang anak seperti Lio kepayahan mengikuti arus dunia, sedangkan aku yang terlanjur menginginkan anak, harus rela kehilangan secara terpaksa.“Kamu mau menyapa Lio dulu, atau langsung ke kamar Ajeng?” Dokter Pandri—yang menyusul langkahku setelah memarkir mobil—memberi penawaran.“Bertemu Mbak Ajeng saja,” tegasku.
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status