Fatma seorang gadis miskin anak tukang sampah. Ia mengalami pelecehan seksual, pernikahan paksa, KDRT, hingga korban penjualan anaknya. Ia ditakdirkan bertemu dengan Ajeng, pengusaha muda yang cantik sempurna dan bersuamikan dokter. Tetapi, anaknya mengalami cacat mental atau autis. Ajeng menawarkan hal besar pada Fatma, yaitu agar Fatma menjadi istri kedua suaminya dan menjadi ibu tiri bagi Lio. Namun, Fatma menolak mentah-mentah. Bapaknya bilang, ia harus jadi wanita baik-baik meski terlahir dalam kemiskinan. Hunjaman penderitaan yang dialami Fatma, pada akhirnya membuat ia berpikir ulang tentang tawaran Ajeng yang sok tulus itu. Fatma mencoba mendekatkan diri kepada Dokter Pandri dan Lio, tetapi keduanya malah menolak. Kalau bukan karena Ajeng yang tiba-tiba depresi dan masuk rumah sakit berkali- kali, Fatma memilih rela disiksa suaminya. Lalu, berkat bantuan Dokter Yudi dan pacarnya, Fatma lepas dan bercerai dengan Surya. Ajeng datang lagi dan memohon agar Fatma menjadi madunya. Fatma setuju. Ia menikah dengan Dokter Pandri walau dokter tampan itu tak sedikit pun mau menyentuhnya. Kecemburuan mulai hadir di antara mereka. Tepat saat Fatma mulai jatuh hati pada sikap sang dokter, mantan suaminya kembali muncul. Lelaki itu membawa rahasia besar, kenapa Ajeng memaksa Fatma untuk jadi madunya. Fatma merasa ditipu. Rasa sopannya pada Ajeng berubah menjadi benci dan dendam. Ia berniat merebut segala hal yang dimiliki si wanita sempurna.
Lihat lebih banyakBab 1: Kesempurnaan
Namanya Ajeng Warih Kinasih. Wanita yang katanya sudah berusia tiga puluh dua tahun, tetapi tampak lebih muda dariku—yang baru dua puluh tiga tahun. Saat dia menyelipkan anak rambut di daun telinga, aku bahkan tidak melihat ada garis jejak kaki burung gagak di sudut matanya. Dua kali bertemu dengannya, dia selalu berpakaian rapi layaknya wanita berpendidikan tinggi. Wangi parfum yang tercium berkat gesekan kain pembungkus badannya, juga meninggalkan jejak yang membuat kepayang.
Terkadang aku berpikir, Mbak Ajeng ini manusia atau malaikat? Dia terlihat sempurna sebagai wanita. Tak hanya cantik secara fisik, dari suaranya yang bak nyanyian bidadari, dapat kusimpulkan kalau hatinya juga sebening zam-zam. Setiap kata dari bibir ranumnya yang terpoles pewarna merah kecokelatan, selalu teriring tanjakan sudut bibir. Belum lagi kulit pipinya yang licin walau tanpa bedak, tampak tirus diapit helai-helai rambut panjang bergelombang.
“Fatma, kamu tahu? Suamiku sebenarnya suka aku apa adanya, tidak banyak polesan.”
“Iya, Mbak Ajeng akan tetap cantik walau tanpa riasan,” sanjungku.
Mbak Ajeng terkikik. “Tapi, aku harus tampil lebih cantik dengan riasan, Fatma. Aku memegang bisnis di bidang kecantikan. Apa jadinya anak buahku, kalau bosnya sendiri tidak menggunakan produknya?”
“Mbak Ajeng hebat, ya. Beruntung sekali, sudah punya suami seorang dokter, juga sukses berkarier sendiri.”
Mendengar ucapanku, Mbak Ajeng tertegun. Dia menjatuhkan pandangan ke gelas beling—di mana teh tawar hangat pesanannya tinggal setengah gelas. Aku tak tahu, apakah ucapanku salah atau bagaimana, yang jelas dia tampak membisu setelah aku bicara tadi.
Di luar hujan masih terguyur lebat dari langit. Ah, langit yang muram di atas sana pun serupa wajah Mbak Ajeng detik ini. Aku jadi tersadar, kalau sudah dua kali ini dia duduk di kursi ruang tamu rumahku, momennya juga ketika turun hujan. Hanya selisih sebulan saja dari pertemuan pertama.
Waktu itu, aku tengah menikmati deras hujan sambil duduk di kursi kayu. Tatapanku menembus kaca jendela bening selebar satu meter, hingga dapat memuaskan diri menatap jarum langit yang memandikan pohon mangga di halaman depan. Sedang asyiknya mendengar bunyi timpaan hujan di plafon depan, aku lihat Mbak Ajeng setengah berlari mencari tempat berteduh. Dia menjatuhkan pilihan kepada rumahku, sebab teras depan memungkinkan untuk berlindung barang sejenak—dibandingkan rumah tetangga lain yang berpagar besi.
“Masuk, Mbak,” tawarku, kala itu.
Dia mengangguk takzim, lalu menerima tawaranku. Dari handuk, baju ganti, sampai segelas teh tawar hangat. Entah seperti apa benang merah di antara kami, hingga dalam waktu sesingkat tandang hujan, kami bisa saling cocok mengobrol. Awalnya hanya bicara tentang hujan, tentang hati, tentang rasa ... lalu lama-lama dia bercerita tentang dirinya sendiri.
Kali ini pun dia terjebak hujan. Aku sempat terheran-heran, kenapa wanita berpenampilan keren seperti dia tidak naik mobil atau diantar suaminya. Bodohnya lagi, aku tidak pernah menanyakan untuk tujuan apa dia berjalan-jalan di sekitar kampung ini. Mbak Ajeng hanya bilang kalau dia sedang ingin berjalan-jalan sendiri, kemudian diantarkan hujan pada titik waktu bernama takdir. Takdir bertemu denganku.
“Aku punya seorang anak lelaki, Fatma. Usianya lima tahun, baru dua bulan lalu dia masuk sekolah. Dia tampan seperti Mas Pandri.” Mbak Ajeng kembali bicara, sekaligus menarikku kembali dalam lamunan tempo lalu.
Mataku membulat lagi, senang rasanya melihat dia kembali bicara dan bercerita.
“Jadi nama suami Mbak itu Dokter Pandri? Lalu, anak Mbak namanya siapa?” Aku berapi-api agar dia juga bersemangat.
“He–em. Mas Pandri. Di rumah sakit orang-orang memanggilnya Dokter Papa, karena anakku Lio memanggilnya pa–pa.” Dia tertawa kecil.
“Ooh, namanya Lio. Lucu, Mbak.”
Mendengar nama anak Mbak Ajeng, hatiku berkernyut nyeri. Aku membayangkan berada di posisi serupa wanita sempurna itu. Punya suami tampan dan mapan, punya anak yang lucu, dan menjadi pribadi yang cantik dan berkelas. Ah, mimpimu terlalu liar, Fatma!
“Tidak ada namanya kesempurnaan, Fatma. Tidak ada ....”
“Tapi Mbak Ajeng bahagia, ‘kan? Apa lagi? Jangan terpancing kata tidak sempurna, Mbak. Setiap yang dimiliki harusnya disyukuri, toh?” nasihatku.
“Iya, aku bahagia. Suamiku orangnya setia, perhatian, mapan, tampan pula. Aku pun sukses, tapi masih mampu mengimbangi tugas sebagai seorang ibu dan istri. Aku bersyukur mendapat semuanya, Fatma. Bahkan, tentang Lio ....”
“Lio? Ada apa dengan Lio?” Aku penasaran dengan kata-katanya yang menggantung. Ada sirat kepedihan di wajah Mbak Ajeng saat dia menyebut nama putranya.
“Anakku autis. Tapi, aah ... tak apa. Kami masih kompak mengatasi ketidaksempurnaan ini.”
Mbak Ajeng mengangkat wajah. Ketika meringis, deretan giginya yang putih menambah kesan cantik. Namun, bukan itu yang membuatnya spesial. Hati! Ada sesuatu dalam hatinya yang bersinar menyilaukan, hingga pendarnya mengelilingi raga Mbak Ajeng. Bayangkan! Dengan tegarnya dia menyampaikan kalau anak tercintanya ternyata autis, sedangkan dia tetap berjuang menjadi wanita sempurna—walau kuterka, rasanya pasti berat.
“Seminggu sekali, aku dan Mas Pandri menemani Lio terapi, kami saling bagi waktu menjaganya tanpa menggunakan jasa babysitter, kami juga pilihkan dia sekolah yang terbaik. Apa bedanya? Semua bisa berjalan dengan baik jika kita berniat baik, bukan?”
“Hemm, aku salut sama Mbak Ajeng.”
Hujan reda perlahan. Jam dinding hampir menunjuk angka dua belas dan empat. Seketika aku memandang nanar ke pintu, lantas beralih ke halaman depan, lalu jalanan ....
“Ah, sekarang giliranmu bercerita. Fatma, katakan padaku, bagaimana dengan kehidupanmu?”
“Aku, ehm ... ah, aku ....”
Mbak Ajeng menaikkan sedikit alisnya sambil berdeham lirih, meminta kepastian agar aku membuka jati diri. Senyumnya menenangkan, tetapi aku yang tak bisa tenang detik ini. Apa yang bisa kuceritakan kepadanya? Hidupku terlalu biasa saja untuk diungkap. Tak ada yang menarik, tak ada yang indah untuk dibanggakan. Lagi pula, ini bukan waktu yang tepat untuk mendongeng.
“Fatma, dengan siapa kamu tinggal di rumah ini? Waktu itu kamu sendirian, sekarang juga. Kamu bekerja di mana? Ehm, kamu sudah menikah belum?”
Sebentar lagi pukul empat. Dia akan datang. Ah, Tuhan ... tak bisakah Kau kirim hujan lebat sebentar saja agar pria itu terlambat pulang?
Keringatku membulat satu-satu di pelipis. Padahal, angin selepas hujan bertiup sejuk. Aku mencengkeram blus bunga-bunga milikku yang lusuh. Jantungku berdegup cepat. Amat cepat.
“Hei, wajahmu memucat. Fatma, kamu masuk angin?” Mbak Ajeng beralih duduk di sebelahku. Dia letakkan punggung tangannya di keningku. Sementara aku semakin dibuat cemas karena dia tak kunjung pamit.
“Mbak! Pulanglah, hujan sudah reda.” Kutepis kasar tangan Mbak Ajeng. Lantas,aku bangkit dari duduk dan membukakan pintu lebih lebar. Aku tak berani memandang Mbak Ajeng, ubin yang retak-retak lebih enak dilihat sekarang. Sebenarnya, aku lebih takut wanita di hadapanku tersinggung karena telah kuusir.
“Oh, ya. Hujan sudah reda,” katanya canggung. Dia mengambil tas bermereknya, lalu melangkah pasti keluar rumahku.
“Mbak Ajeng,” panggilku. “Maaf, bukan niat mengusir. Tapi takutnya keluarga Mbak Ajeng mencari-cari.”
Senyum bidadarinya lembut dan menenangkan seperti gerimis. Dia mengangguk di antara sisa rintik sore hari. “Tak apa, Fatma. Lain kali, berceritalah! Aku akan mendengarkanmu.”
Mbak Ajeng berlalu sampai menghilang ditelan jalanan. Dia pergi meninggalkan bibit-bibit asa—yang meresap dalam aliran darahku. Barangkali, lain kesempatan hujan membawa kami bertemu kembali dalam satu titik waktu bernama takdir. Boleh jadi nanti giliranku membuka suara dan berkisah.
Ah, berkisah ... apa berkisah tentang luka itu semudah kehidupan Mbak Ajeng?
“Fatma, aku sengaja membeli ini karena gaya berbusanamu tidak jauh dari ini. Bagaimana?”Mbak Ajeng membongkar satu per satu kardus, kemudian menunjukkan banyak baju baru kepadaku. Kaus-kaus berlengan panjang, rok denim semata kaki, kemeja lengan pendek, juga celana bahan berwarna monokrom. Sekaligus pula, dia gunting label-label merek dan harga, lantas memasukkan asal ke dalam keranjang baju. Dia juga bilang, baju-baju itu harus dicuci terlebih dahulu sebelum bisa kukenakan.“Besok Bi Par akan mengurus cucian ini. Tapi, karena besok Mbok Sami libur, maka kamu harus membantuku memasak, ya!” Dia tersenyum lebar.Aku mengangguk sekilas, sedangkan Mbak Ajeng tidak berhenti mengobrak-abrik kardus. Kali ini dia tertawa kecil sambil menunjukkan sekotak alat rias. Satu kuas disapu-sapukan ke pipinya yang bersinar, seakan-akan memberi contoh bagaimana cara menggunakan alat itu. Kemudian beralih pewarna bibir, bedak, juga pewarna-pewarna lainnya.
Pantatku jatuh ke sebuah permukaan yang lembut dan tebal, tetapi empuk sekali. Rasanya seperti tertarik masuk ke dalam pusaran lumpur dan susah untuk bangkit keluar. Ada hawa dingin yang keluar dari sebuah alat persegi panjang yang terpasang di sudut teratas bagian kiri kamar, membuat tubuhku kedinginan begitu pertama kali masuk ke sini. Sementara itu, selimut berwarna putih yang hampir setebal kasur di rumahku, agaknya memang dingin karena terbuat dari bahan khusus, jauh berbeda dari sarung kumal peninggalan Bapak yang setiap malam kupakai sebagai gelung badan.Meski selama ini kamar ini kosong, tetapi Mbak Ajeng tidak luput mengisikan perabot di setiap sisi, sama seperti di kamarnya. Bedanya, ukuran kamar ini tidak terlalu besar. Jika warna-warna di seluruh dinding di rumah ini didominasi warna krem, di kamar ini justru warnanya putih polos. Mungkin, karena memang ini diperuntukkan bagi tamu yang hendak menginap.Begitu sampai di rumah ini, Mbak Ajeng membawa Lio ke
Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa punya arti. Sesuatu yang tampaknya sepele, nyatanya bisa menciptakan sepercik asa bagi orang lain. Tak peduli apakah aku melakukannya dengan sengaja atau tidak.Kami duduk berdekatan di depan kamar rawat, sama-sama menatap kerlip bintang yang muncul malu-malu. Memasuki musim kemarau, langit malam lebih cerah ketimbang saat hujan deras. Meski begitu, suasana yang ada sama seperti ketika pertama kali aku dan Mbak Ajeng saling mengenal.“Aku juga pernah menjadi bintang, Fatma. Sejak kecil, predikat seperti itu sudah melekat di diriku. Dari juara kelas, ratu fashion, sampai bintang kampus. Ya, seperti yang kamu lihat, apa yang ada di diriku tampak selalu sempurna.” Mbak Ajeng menjeda sunyi dengan kalimat-kalimat yang terdengar miris, sebab dia ucapkan dengan wajah pucat pasi.“Aku akan senang kalau Mbak bisa selalu menjadi bintang. Mbak Ajeng harus bangkit.”“Aku bukan seorang donat
Semalaman aku tak bisa lepas dari bayang-bayang Mbak Ajeng. Terlepas dari semua kebaikan wanita itu, yang yang paling membuat rasa bersalah adalah keadaannya saat ini. Masih teringat olehku binar wajahnya manakala dia menghidu aroma teh saring, lalu menyeruput pelan dengan gaya yang amat anggun; tutur lembut bibirnya yang serasi dengan elegan penampilan; juga tawa-tawa kecilnya saat mengajariku banyak hal.Mbak Ajeng pernah bilang kepadaku bahwa hendaknya minum air lemon setiap pagi agar lemak di perut luruh. Sayangnya, uang di kantung bajuku jauh dari kata cukup untuk membeli buah kuning itu. Dia juga menasihati agar tidak makan sayur bening bayam jika lewat enam jam, dijelaskankannya segala reaksi kimia tentang sayur hijau itu, tetapi otakku terlalu kecil untuk menjangkau kalimatnya.Pernah juga dia membawakan sebotol kapsul dengan tulisan Vitamin E, katanya agar kulitku bisa kencang dan awet muda. Namun, di hari ketiga dan seterusnya, aku lupa untuk menela
Nyawa hanya satu, tetapi tidak mudah lenyap hanya karena segala derita telah kutanggung. Buktinya detik ini hidungku masih kembang-kempis sebagai jendela pernapasan. Kunamai jendela karena fungsinya sebagai pintu telah digantikan sebuah alat yang tersambung ke tabung oksigen.Lagi-aku aku masih hidup dan harus merasakan sakit di sekujur badan. Bedanya, tidak ada kekuatan untuk berdiri apalagi berjalan. Lemah, aku membujur di kasur empuk, di sebuah tempat berpencahayaan terang. Aroma ruangan ini sama seperti ketika memeriksakan kandungan, dulu.“Pasti ada alasan kenapa seseorang memutuskan sesuatu atau memilih sebuah jalan. Seperti Ajeng yang memintamu menjadi madunya, juga Pandri yang terpaksa menyetujui permintaannya. Dan kamu, Fatma. Apa alasanmu tetap bertahan hidup bersama si berengsek itu?”Sedikit sakit, tetapi kupaksa menoleh ke sumber suara. Suara seorang pria yang pernah selentingan teringat di memori. Aku menerka, dan benar saja itu dia.
Bapak pria setia. Sepeninggal Ibu, tidak sekali pun ada niatannya untuk menikah lagi. Meski harus bersusah-susah menggendongku dengan selendang di belakang punggung sambil menarik gerobak sampah, statusnya bertahan sebagai seorang duda.Pada usiaku yang ketiga belas, datang seorang wanita yang usianya jauh di atas Bapak. Kutaksir dia seorang yang berkecukupan, sebab tangan dan lehernya berhias perhiasan emas. Dia pun datang dengan mengendarai motor yang tidak kuno modelnya.Kata wanita itu, dia warga desa sebelah. Dengan terang-terangan diutarakannya keinginan untuk menjadikan Bapak sebagai suami—pengganti dari suami yang meninggal beberapa tahun sebelumnya. Kenapa memilih bapakku? Alasannya cukup menarik. Menurut dia, Bapak punya aura lelaki penuh tanggung jawab, tampan, dan pantas menjadi ayah tiri bagi anak-anaknya.Sayang, Bapak menolak hasrat wanita itu. Baginya, hanya ada satu wanita yang terpuja di hatinya yaitu almarhum Ibu. Padahal, sudah terhitun
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen