All Chapters of WANITA SIMPANAN: Chapter 51 - Chapter 60
133 Chapters
51. Petuah dari Abah
"Ainun?" "Bunda?" Ainun turun dari motor lalu menyalami Bu Risma. "Kapan datang?"  "Kemarin, Bun. Sendiri?" Bu Risma tersenyum masam. "Tuh, Aisyah." Aku mengikuti arah pandangan Bu Risma. Tampak seorang wanita muda sedang berjalan sedikit sempoyongan karena membawa belanjaan yang begitu banyak. Saat hendak membantunya, Bu Risma menahan tanganku.  "Nggak usah. Dia sudah biasa." Aku tak bisa berdiam. Ku lepaskan tangan Bu Risma yang menahanku tadi lalu menghampiri Arumi.  "Teteh?" Aisyah kaget setelah melihatku meraih belanjaan yang terjatuh. Aku tersenyum padanya. Tampak keringat mengucur dari keningnya.  "Teteh bantu ya?" Aisyah melirik ke arah mertuanya. Mungkin dia takut.  "Sudah, jangan pedulikan yang lain." Aku berjalan mendahuluinya dan Aisyah mengikut di belakangku.  Aku tak tahu apa yang terjadi. Sepertinya Bu Risma tak suka dengan yang
Read more
52. Bertemu Fariz
Pagi kusambut dengan perasaan yang lega. Entah mengapa hari ini aku ingin memulai hidup dengan tenang tanpa disangkutpautkan oleh apapun. Sudah puluhan kali ponselku berdering. Aku tahu siapa pelakunya.  "Teh, mau kemana?" tanya Bagus.  "Ke kebun teh." "Kangen sama si Aa pasti. Makanya mau healing." Aku tersenyum kaku. "Sok tahu kamu." Aku terus mengayuh sepedaku menuju kebun teh yang terletak dua kilometer dari rumah.  Sekali-sekali aku berlomba dengan Bagus. Saudara sepupuku ini memang yang paling dekat denganku. Setiap pulang, dia lah yang menyambut kami. Sayangnya, saat terakhir bersama Mas Rasha, dia harus menjaga abahnya di rumah sakit. "Teteh kuat pisan, euy, ngayuh sepedanya. Salut Bagus teh," ucapnya dengan napas ngos-ngosan.  "Harus atuh. Biar kuat jalani hidup." Alis Bagus saling bertaut. Aku tahu dia pasti kebingungan.  "Aya-aya wae Teteh, mah. Segala disangku
Read more
53. Aisyah Sakit
"Umi, hari ini masak apa?" tanyaku pada umi yang sibuk memotong sayuran.  "Sayur lodeh, tempe orek, dan ikan bakar." "Neng bantu ya?"  Aku membantu umi memotong bahan untuk sayur lodeh.  Saat kami asyik sibuk di dapur, seseorang mengetuk pintu. Aku segera melangkah untuk melihat siapa yang bertamu sepagi ini.  "Assalamualaikum." "W*'alaikumussalam. Eh Aisyah?" Aku segera mempersilahkannya masuk. Tampak wajah Aisyah pucat. Ada apa dengannya? Wajahnya tertunduk lesu. Tak seperti biasa, Aisyah kali ini tampak berbeda.  "Ada apa, Aisyah?" "Bantu aku, Teh. Aku ingin periksa kesehatan tanpa harus Aa tahu." Aku mengerutkan kening. "Memangnya kenapa kalau Fariz tahu?" Aisyah mengangkat wajahnya seraya tersenyum tipis.  "Aku tidak ingin menjadi beban fikiran Aa. Teh Ainun mau kan?" Aku menimbang permintaannya. Pasti ada alasan lain mengapa Aisy
Read more
54. Kesalahan Terbesar
Pov Rasha."Tunggu mas pulang ya, Sayang. Ini mas lagi di jalan. Kebetulan jalannya lagi macet banget.""Iya, Mas. Adek dan Naura sudah kangen sama kamu," ucap wanita yang sudah tiga tahun bersamaku. Dia Ainun, gadis cantik yang dulu dijodohkan denganku. Dulu, tak ada rasa cinta sedikitpun di antara kami berdua. Aku masih menyimpan rasa dengan teman kuliahku, begitupun dia yang ku dengar sudah memiliki tambatan hati. Namun, perjodohan tetaplah perjodohan. Keputusan kedua orang tua kami tidak dapat diubah. Kami harus menyerah pada takdir yang diatur oleh kedua orang tua kami.Seiring berjalannya waktu, rasa itu muncul dengan sendirinya dan semakin kuat. Aku bersyukur memiliki dia, wanita sholehah yang dikirimkan Tuhan untukku. "Ya sudah, mas tutup dulu ya, Sayang."Aku memutuskan sambungan telpon setelah memberikan kecupan manis lewat udara. Lama aku menunggu, tapi macet kali ini sungguh mengganggu. Aku p
Read more
55. Permohonan yang terabaikan
"Mas, kapan kamu bawa Nayla pergi," tanya Ainun saat kami tengah bersiap untuk tidur. "Nanti saja, Dek. Mas masih sibuk."Ainun diam lalu memunggungiku. Entah berapa kali semenjak kehadiran Nayla, Ainun terus merajuk. Jujur saja, aku tak tega mengusirnya dari rumah. Ini murni kesalahanku. Jika papa tahu, tamat riwayatku di detik itu juga. *"Pagi, Sayang. Wah masakannya harum banget. Mas jadi lapar."Aku memeluk Ainun dari belakang lalu mencium pipinya dengan gemas. Istriku ini sangat tahu keinginan suaminya. Ainin terus memaksaku untuk menunggu di meja makan, tapi aku tak pernah menghiraukannya. "Mas, di meja aja loh nunggunya. Adek nggak bisa kerja kalau mas malah gangguin terus."Aku terkekeh dan semakin mengeratkan pelukan. "Biarkan mas seperti ini dulu, Sayang," bisikku di telinganya. "Mas ih."Aku melepaskan pelukan kemudian berlalu menuju meja. Di sana s
Read more
56. Bermain Api
Waktu terus berlalu dan aku semakin tersihir olehnya. Tak kupedulikan dosa yang kutanggung. Suatu hari aku.sangat kecewa karena ulah Ainun. Dia mengusir Nayla dari rumah kami. Tentu saja rasa kecewaku tidaku kutampakkan.Aku memaklumi kegundahan hatinya. Tapi, aku juga bersyukur, dengan begitu aku berhenti dari permainan gila ini. Kami melalui hari-hari seperti biasa. Sejenak aku bisa melupakan sosok Nayla. Aku lebih memilih fokus pada istriku. Tentang dosa itu biar aku saja dan Tuhan yang tahu. Namun, sepertinya alam tak memihak padaku. Baru saja seminggu kepergian Nayla, dia kembali muncul dengan mengirimkan pesan singkat. Dia bahkan share lokasi tempatnya kini."Sha, aku butuh kamu," ucapnya di seberang. "Tapi, Nay, itu sebuah kesalahan.""Sha, kamu sudah janji untuk terus bersamaku. Kenapa kamu malah seolah lupa itu? Tega ya kamu!"Aku frustrasi dibuatnya.Dasar bodoh. Bodoh. Bodoh. Bisa-bisan
Read more
57. Petaka dimulai
Tiga tahun berlalu, selama itu pula aku telah mengkhianati istriku. Aku telah menciptakan malapetaka untukku sendiri. Aku menjalin hubungan terlarang dengan Nayla. Hampir setiap bulan aku mendatanginya dengan alasan dinas di luar kota. "Dek, mas pergi nggak lama kok. Sabar ya, Sayang."Aku mencium keningnya mesra. Jujur saja ada rasa yang sangat bersalah setiap aku menyentuh istriku. Kekhawatiran menularkan penyakit padanya muncul seketika. Bahkan terkadang saat aku sedang melakukan ibadah bersamanya, justru bayangan Nayla yang muncul. "Hati-hati, Mas."Istriku, bidadari duniaku, yang kini kusia-siakan begitu saja. Andai waktu bisa diputar kembali, aku tidak akan membawa Nayla dalam kehidupan rumah tangga kami. *Mobil melaju membelah jalanan ibu kota. Sepanjang jalan aku terus merutuki diri yang terlalu bodoh diperdaya oleh Nayla. Harusnya aku tidak menerimanya kembali. Dia
Read more
58. Nayla Hamil
Dua bulan berlalu setelah kejadian itu aku tak lagi pernah menemui Nayla. Semua panggilannya kublokir termasuk akun sosmednya. Hingga suatu hari dia datang ke kantorku. Tentu saja aku ketakutan dibuatnya. Di kantor rata-rata rekan bisnis istriku. Bagaimana jika mereka melaporkanku yang tidak-tidak?Aku menarik tangannya menjauh dari keramaian. "Kenapa kamu ke sini?" tanyaku sambil memastikan suasana tetap sepi. "Apa lagi? Kamu selama dua bulan ini sudah dihubungi. Bahkan kamu memblokir semua aksesmu. Maksud kamu apa hah?!""Nay, kita harus akhiri hubungan terlarang ini. Kamu hiduplah dengan baik tanpa aku. Dan aku akan kembali hidup normal dengan istriku."Plak. Sebuah tamparan keras mengenai pipiku. Aku hanya bisa mengelusnya. Perih dan sakit luar biasanya. Tatapan Nayla nanar, air matanya luruh begitu saja."Laki-laki brengsek! Bagaimana aku bisa meninggalkanmu? Aku mengandung anakmu, Bang
Read more
59. Luka untuk istriku
"Sha, kapan mau bawa aku? Capek tahu sembunyi kayak gini!"Lagi dan lagi Nayla menuntutku untuk mengakuinya di depan Ainun. Tidakkah dia berpikir sejenak saja jika dia ada di posisi Ainun, bagaimana perasaannya? Atau hatinya sudah mati?Aku berusaha mengabaikan permintaannya itu. Tapi, bukan Nayla namanya jika apa yang diinginkan tidak tercapai. "Kamu pikir aku nggak punya nomor istrimu?"Aku menoleh ke arahnya. Layar ponselnya menampakkan kontak bernama Ainun beserta nomornya. "Nay! Jangan gila kamu!""Aku emang gila dan kamu udah tahu kan? Kalau kamu masih mengulur waktu, mending aku aja yang mempercepat waktu."Aku berdiri berusaha merebut ponsel yang da di genggamannya. Dari mana dia dapat nomor itu?"Aku nggak sebodoh itu, Sha. Aku tahu, sampai kapan pun kamu nggak akan pernah mau mengakui keberadaan kami berdua. Jadi, aku bakal lakuin itu sendiri. Toh, lambat laun semuanya juga akan kebongkar."Aku meny
Read more
60. Air Mata Ainun
Baru saja aku ingin membuka pintu kamar kami terdengar suara tangis yang tertahan dari arah dapur. Aku mendekat dengan perlahan.."Bunda?" sapa gadis kecil kami. Gegas Ainun mengusap sisa air mata di wajah cantiknya.Puteri kecilku mendekat sembari menatap lekat istriku. "Bunda menangis?" tanyanya dengan penuh kekhawatiran. Ainun menggeleng kuat seraya tersenyum. "Tidak, Sayang. Tadi nggak sengaja ada biji cabe yang masuk ke mata bunda. Makanya mata bunda perih."Aku tahu Ainun berbohong. Betapa hebatnya dia bisa menyembunyikan luka yang amat dalam itu di hadapan putrinya.Naura mendekat lalu memeluknya. Ingin rasanya aku juga memeluk tubuh wanitaku. "Bunda nggak boleh terluka. Bunda nggak boleh sakit apalagi menangis. Naura sayang bunda," lirihnya. Ainunku kembali menangis seraya memeluk tubuh mungil putri kami begitu erat. Kamu terlalu kuat untuk menyembunyikan lukamu.
Read more
PREV
1
...
45678
...
14
DMCA.com Protection Status