All Chapters of Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa: Chapter 71 - Chapter 80
217 Chapters
Mengikuti Jejak Samar
Di ambang mulut gua itu, Buyung Kacinduaan menghirup udara dalam-dalam, berdiri tenang untuk sesaat.Rambutnya yang hitam legam dan panjang sepunggung itu riap-riapan diembus sang angin. Buyung membawa sedikit kenangannya bersama sang harimau putih. Yakni, pada pergelangan kedua tangannya yang tertutup bulu harimau putih itu sendiri, lalu pada pinggangnya yang menahan celana komprang usang itu.Itu saja yang ia ambil dari bulu sang harimau putih sebagai pengingat baginya bahwa ia pernah dilindungi oleh sosok yang telah sangat lama disakralkan para penduduk.Dengan telapak kaki dilapisi terompah yang terbuat dari jalinan kulit kayu, Buyung akhirnya meninggalkan mulut gua tersebut.Sekali lagi ia melirik ke arah gua yang tersembunyi oleh kerimbunan semak belukar tersebut sebelum akhirnya ia melangkah ke arah utara.Ya, utara. Setidaknya, dalam masa sepuluh tahun itu, Buyung sudah mencoba mengingat-ingat dan memetakan di dalam kepalanya setiap sisi le
Read more
Dusun Tercinta
Detik selanjutnya sang pemuda melayang turun.Bandit yang telah melorotkan celananya itu bersiap-siap untuk melakukan penetrasi ke liang kewanitaan si gadis sebelum sesuatu menderu dan menerjangnya.Dugh!Melemparkan sosok itu jauh ke samping. Ia terhempas dan terbalik-balik dengan kondisi celana yang melorot hingga ke mata kaki.Bandit yang memegangi kedua tangan sang gadis tercekat begitu menyadari temannya terpental, hanya saja ia tidak punya cukup waktu untuk menyadari sebelum sesuatu menghantam dadanya dan itu membuatnya terpental hingga tubuhnya tersuruk ke dalam semak belukar.Bukh!Lalu bandit yang sedang menganiaya pria tua itu, ia bahkan belum sadar sama sekali bahwa dua rekannya telah dibikin terpental oleh seseorang sebab posisinya yang membelakangi kedua temannya itu.Saat bandit yang satu itu mengangkat tinggi tangannya untuk memukuli wajah pria tua, sesuatu menahan tangannya, ia memaksakan dengan seluruh tenaganya, tapi
Read more
Penderitaan Penduduk Dusun
“Tentu saja kami bisa melakukan itu,” jawab si orang tua, ia saling pandang dengan anak gadisnya. “Tapi, ada hubungan apakah gerangan anak muda ini dengan mendiang Sialang Babega?”Pandangan gadis manis tersebut pun seakan menuntut penjelasan yang sama terhadap Buyung Kacinduaan.Buyung cukup menyadari hal ini, dan dia masih ingin merahasiakan jati dirinya dari orang-orang. Paling tidak, sampai ia mengetahui siapa sesungguhnya yang telah membunuh seluruh anggota keluarganya.“Tidak,” ujar Buyung. “Menurut apa yang tadi Apak Tuo katakan, sepertinya mendiang Sialang Babega itu memang pantas mendapatkan penghormatan.”“Aah…” si orang tua mengangguk-angguk meskipun ia tidak begitu yakin dengan alasan pemudah gagah itu. “Kau benar, orang gagah. Dia memang sepantasnya menerima penghormatan.”“Apakah kita akan langsung pulang saja, Abak?” tanya sang gadis pada ayahn
Read more
Empat Pusara
Butuh empat kali peminuman teh, barulah Buyung Kacinduaan sampai juga di lokasi bekas rumahnya.“Di sinilah lokasi di mana rumah Sialang Babega pernah berdiri, Sati,” ujar si orang tua. “Sebelum orang-orang buruk kulikat[1] membakar rumah itu, membantai keluarganya. Ooh, dewa, kuharap Sialang Babega dan keluarganya tenang di Suwarga.”Ya, samar-samar, Buyung masih dapat mengenali lokasi itu. Lokasi rumahnya. Memang, sudah tidak ada rumahnya lagi di sana, tidak pula puing-puing hangus, semua sudah tertutup rumput liar dan semak belukar.Hanya barisan pohon-pohon di kiri dan kanan itu, juga pohon-pohon yang ada di bagian depan itu saja yang bisa menjadi petunjuk bagi Buyung.Dengan cepat pula bola mata si pemuda berkaca-kaca, namun ia sadar, dua orang di belakangnya itu pasti akan menjadi curiga jika ia menangis.“Di—di mana pusara Sialang Babega itu, Apak Tuo?” tanya Buyung dengan suara yang serak
Read more
Mata yang Tak Bisa Dibohongi
Memasuki pekarangan rumah pria tua itu, Buyung Kacinduaan melihat seorang wanita yang sama tuanya dengan pria yang masih saja mengapit tangannya.Dan sampai sejauh itu, Buyung sama sekali tidak mengenali mereka. Tidak si pria tua tersebut, tidak anak gadisnya yang di belakang, tidak pula wanita tua yang duduk di beranda sembari mengunyah sirih itu.“Inilah gubuk kami, Sati,” ujar si pria tua. “Jangan sungkan kepada kami yang miskin ini.”Buyung tersenyum. “Apak Tuo, jangan berkata seperti itu. Aku justru merasa senang diundang ke mari.”Sang gadis melangkah lebih cepat, lalu berbelok ke samping dan memasuki gubuk mereka itu dari pintu belakang.“Siapa orang muda gagah yang kau bawa itu?” tanya sang wanita tua pada pria tua yang adalah suaminya. “Anak orang hanyut di mana yang kau bawa pulang?”“Hentikan saja merepetmu itu,” sahut si pria tua. “Kau hanya membikin ma
Read more
Kabar Berharga
“Apa yang telah terjadi padamu, Buyung?” tanya wanita tua di tengah tangisnya, ia terus memeluk pemuda itu.Tidak ada yang bisa diperbuat Buyung Kacinduaan dengan hal tersebut selain mengusap-usap punggung wanita tua yang telah membantu kelahiran dirinya, dahulu.“Kenapa kau tega membohongi Amak Tuo-mu ini?”“Amak,” Buyung mengecup puncak kepala wanita tua itu. “Maafkan aku.”Si pria tua tersenyum dalam haru, ia mengusap-usap bahu pemuda tersebut sementara Upik Andam pun telah berurai air mata.Sungguh, Upik Andam sama sekali tidak menyangka, bocah tujuh tahun yang dulu sering ia ajak bermain itu, bocah yang selalu ingin tahu banyak hal itu, kini menjelma menjadi pemuda yang gagah menawan.Perlahan-lahan, Buyung duduk di tepi lantai beranda, memeluk wanita tua yang menangis di dadanya.Pria tua itu pun duduk bersila kaki di samping kiri Buyung. Sementara Upik Andam kembali ke dalam gubuk
Read more
Benang Merah
“Buyung,” ujar Upik Andam. “Uda Masuga juga memiliki kepingan yang sama. Dia bilang, kepingan itu bahkan lebih berharga dari nyawanya sendiri.”“Kalaulah benar apa yang kau katakan itu,” ujar pria tua kepada Buyung Kacinduaan. “Sudah barang tentu, kepingan itu pulalah yang hendak diminta Datuk Hulubalang itu dari mendiang ayahmu.”“Yaah,” Buyung mengangguk. “Seperinya apa yang Apak Tuo katakan benar.”“Dan,” pria tua menghela napas dalam-dalam. “Aku tidak paham dengan kepingan itu, tidak mengerti sama sekali meski si Upik Andam pernah memperlihatkan benda itu padaku, tetap saja tidak aku mengerti, untuk apa atau seberharga apa kepingan tembikar itu.”“Entahlah,” sahut Buyung. “Aku pun tidak paham sama sekali. Ibu hanya berkata, perlihatkan tanda khusus itu kepada orang-orang Kerajaan dan sebutkan nama ayahku, mereka pasti sudah paham. Hanya it
Read more
Keakraban
“Tidak ada hal yang bisa dijadikan hiburan,” ujar Buyung. “Mungkin itu pulalah sebabnya orang-orang lebih suka bergunjing.”“Yaah, kau mungkin benar,” sahut Upik Andam. “Terlebih lagi, dengan kehidupan penduduk yang semakin sulit seperti saat sekarang ini. Nah…!”Lalu, Upik Andam menggisar rambut pemuda tersebut yang telah ia potong menjadi pendek sembari tertawa-tawa.“Ada apa, Uni?” tanya Buyung.“Kau sungguh beruntung, Buyung,” ujar Upik Andam.“Beruntung?”“Ya, beruntung,” balas sang gadis. “Kau laki-laki, tapi rambutmu sangat-sangat halus dan lebat, aku rasa tidak aku saja, semua gadis pasti akan iri padamu. Kau lihat rambutu ini, lebih kasar dari rambutmu. Menyedihkan!”“Aah…” Buyung terkekeh. “Apakah karena itu Uni memaksaku untuk memotong pendek rambutku?”“Benar sekali!
Read more
Kenyataan yang Terkuak
Pada pagi harinya, Buyung Kacinduaan bangun lebih cepat dari yang lainnya di dalam gubuk itu. Ia telah mandi, dan telah pula berpakaian.Pakaian itu adalah pakaian yang diberikan oleh Upik Andam kemarin sore kepadanya. Pakaian yang sesungguhnya milik ayahnya Upik Andam sendiri, akan tetapi sangat jarang digunakan.Tapi pakaian itu cukup pas di tubuh Buyung. Baju dan celana komprang itu berwarna coklat tua. Buyung juga menerima kain belikat, tapi bukan dari jenis yang mahal mengingat kondisi kehidupan Upik Andam dan keluarganya yang miskin.Kain belikat itu ia ikatkan di pinggangnya hingga ke sejengkal di atas lutut. Kini, penampilan pemuda gagah—yang semakin gagah menawan dengan potongan rambut pendeknya itu—sudah terlihat seperti seorang pendekar atau pesilat pada umumnya, meski hanya kurang pada deta di kepalanya saja.Paling tidak, dengan begini Buyung mungkin akan lebih terlindungi dari hawa dingin. Atau, yang menurut ucapan Upik Andam sor
Read more
Selama Hayat Dikandung Badan
“Aku memang pikun,” ujar si wanita tua dengan begitu lirih, “tapi aku tidak buta, Buyung. Se—selama ini, aku menyimpan semua kenyataan ini. Aku selalu berdoa pada para dewa dan dewi, agar suatu saat kelak, aku diberikan kesempatan untuk menyampaikan berita ini.”Buyung Kacinduaan memang tidak tahu seperti apa si Sutan Kobeh itu, atau pula anaknya yang dimaksudkan si wanita tua. Tapi ia masih bisa mengingat dengan jelas, bahwa Sutan Kobeh adalah Panghulu Nagari Bukit Apit Puhun.‘Para dewata di Suwarga,” jerit Buyung di dalam hati. ‘Kukuhkan hatiku untuk tidak terbawa dalam amarah. Inyiak, tolong lindungi aku…’“Dulu,” lanjut si wanita tua dengan kabar kebenaran yang telah lama ia simpan seorang diri. “Aku sempat akan mengatakan hal ini kepada Datuk Hulubalang itu, tapi aku masih ragu. Dan ketika aku benar-benar berniat akan mengatakan hal ini, sayangnya, dia telah pergi, kembali ke Ke
Read more
PREV
1
...
678910
...
22
DMCA.com Protection Status