All Chapters of Kafan Hitam: Chapter 71 - Chapter 80
198 Chapters
62
Pak Dede terbangun dari tidurnya dengan dada sesak. Ia terbatuk beberapa kali hingga mata berair. Pandangannya dipaksakan memindai sekeliling. Kepala desa Ciboeh itu baru menyadari bila kamarnya sudah dipenuhi asap.“Aya naon ieu?” tanya Pak Dede dengan tangan yang mengibas-ngibas asap. “Apa mungkin kabakaran?”“Reza!” Pak Dede kembali terbatuk. Ia memukul-mukul dinding yang menjadi batas antara kamarnya dan Reza. “Reza! Bangun!”Pak Dede dengan cepat bergerak ke arah jendela, lantas membukanya lebar-lebar. Dinginnya udara dini pagi segera menyergap kulit keriputnya. “Reza!” Pak Dede berusaha turun dari kasur. Kakinya mulai menginjak dinginnya keramik. Bersamaan dengan asap yang menghilang dari kamar, ia dengan jelas bisa melihat satu nampan sesajan berada di lantai.“Astagfirullah.” Pak Dede terlonjak kaget hingga badannya terjatuh ke lantai. Matanya so
Read more
63
Pak Dede didampingi Eman dan satu aparatur desa lainnya memasuki ruang rapat di kantor desa. Di sana, para tokoh masyarakat sudah duduk melingkar. Tak banyak yang hadir saat ini karena Pak Dede hanya mengundang warga yang benar-benar sudah mengetahui fakta ini sebelumnya. Aep menjadi salah satu dari kumpulan pria  yang tengah menanti kabar dengan cemas. Pak Dede dan beberapa tokoh masyarakat nyatanya yang lebih dahulu mengetahui kehadiran orang-orang yang seringkali terlihat di Legok Kiara. Hanya saja, Pak Dede dan tokoh masyarakat tak bisa berbuat banyak, terlebih sesudah mereka mendapat ancaman pembunuhan. Setelah itu, mereka angkat tangan dan berpura-pura tidak pernah melihat sosok-sosok itu atau bahkan membahas orang-orang itu lagi. Tak banyak masyarakat yang tahu soal sosok-sosol berpakaian serba hitam itu. Pak Dede dan yang lain menganggap jika hal itu merupakan salah satu bagian dari rahasia desa yang tidak boleh diketahui warga biasa, terkhusus Rojali ya
Read more
64
Matahari masih merangkak dari ufuk timur saat Ilham keluar dari gubuk. Udara pagi dengan cepat menerpa kulit begitu ia berjalan mendekat ke arah Mbah Atim yang sedang berdiri tak jauh di depannya. Posisi pria tua itu tengah menatap sungai yang berada di bawah, tepatnya mengamati Rojali yang tengah membersihkan diri.Menyadari hal itu, Ilham ikut memandangi Rojali yang sedang membasuh rambut di mana kunci itu masih menempel di lehernya. Pria itu lantas mengamati tangannya yang sudah terbalut kain. Saat mencoba menyentuh kunci itu ketika Rojali pingsan, tiba-tiba saja benda itu mengeluarkan cahaya kemerahan dan melukai tangannya. Lukanya seperti sabetan benda tajam.Ilham menoleh ke arah Mbah Atim yang masih terpaku pada aktivitas Rojali. Begitu ia melihat tangan kanan sang bapak, keningnya seketika berkerut. “Pak,” panggilnya.“Bapak teu nanaon,” sahut Mbah Atim sembari menyentuh tangan kanannya yang sama-sama dibalut kain.
Read more
65
Rojali, Ilham dan Mbah Atim tengah beristirahat di dekat sungai. Rojali sendiri baru saja selesai menunaikan salat asar di batu besar berbentuk pipih, sedangkan Ilham dan Mbah Atim kembali berbicara berdua. Suasana sore ini tampak begitu tenang, terlebih saat angin sepoy-sepoy menerjang rimbunnya pepohonan yang mengelilingi sekeliling.Rojali berjalan sepelan mungkin agar kedua orang itu tak sadar kalau dirinya mendekat. Jujur, ia penasaran dengan apa yang mereka bicarakan. Saat dalam perjalanan tadi, ia sempat bertanya, tetapi Ilham menjawab kalau itu hanya obrolan rindu antara bapak dan anak. Jelas Rojali tak langsung percaya. Instingnya berkata jika mereka tengah menyembunyikan sesuatu.Ilham dan Mbah Atim serempak menoleh begitu Rojali tak sengaja menginjak ranting. Keduanya tampak saling memandang, kemudian mengalihkan wajah ke arah lain.Mbah Atim mengelus jenggotnya beberapa kali. “Sebelum malam, kita harus sudah sampai di deket bangunan itu,”
Read more
66
Azan isya sudah mengalun lima belas menit yang lalu. Jemaah salat isya sudah membubarkan diri dari masjid. Setelahnya, Desa Ciboeh kembali dihantam hening. Selepas Rojali memandikan, mengafani, menyalatkan dan menguburkan potongan tubuh itu, tidak ada lagi kabar mengenai penampakan pocong berkafan hitam di seantero desa. Warga bisa bernapas cukup lega saat ini.Kabar mengenai larangan keluar-masuk bagi warga Ciboeh nyatanya masih dirahasiakan oleh para tokoh masyarakat yang hadir saat rapat. Mereka takut bila warga akan panik dan justru bertindak di luar kendali. Meski begitu, sejak siang tadi, sudah tak terlihat motor atau mobil dari luar yang memasuki desa.Pak Dede duduk di ruangan tengah dengan sesekali tangan memijat kepala. Kancing kemejanya hampir seluruhnya terbuka. Kopi dan pisang goreng yang tersaji di meja entah sejak kapan sudah dikerubungi semut. Ia tak berselera untuk sekadar menyentuh.Pak Dede mengembus napas berat. Pikirannya masih berkutat deng
Read more
67
Badru tiba-tiba terlempar ke tempat persembunyiannya tadi. Napasnya memburu seperti baru saja dikejar hewan buas. Jujur, ia belum pernah merasa setakut itu saat menghadapi seseorang. Namun, ia akui bila sensasinya behasil membuatnya kembali merasakan gelora masa muda.Pemimpin Kalong Hideung itu hendak kembali pesantren, tetapi pukulan di punggungnya membuatnya terjatuh. “Gelo maneh!” sentak Ki Jalu sembari menancapkan kuat-kuat tongkatnya di samping wajah Badru yang sudah berkalang tanah. “Masih untung kita masih bisa selamat!”Badru mengepal tangan kuat-kuat. Ia bangun dan tak langsung berhadapan dengan Ki Jalu. Ia lebih dahulu mengusap wajah dan mengecek sesuatu dari kantong belakang. “Pak,” ujarnya dengan raut cemas.“Segera tinggalkan tempat ini, Badru!” perintah Ki Jalu.Pesantren yang terlelap kembali terbangun. Suara kentungan yang bersahutan terdengar sangat keras. Bangunan itu
Read more
68
Ada keheningan saat tatapan kedua pria tersebut saling bertemu. Baik Rojali maupun pria yang berada di ambang pintu itu sama-sama tak bergerak dari tempatnya. Kemudian, saat petir menyambar dan Rojali bangkit dari posisi berdoanya, tiba-tiba saja pria berambut gondrong itu menjatuhkan tubuhnya.“Jangan bunuh saya! Jangan bunuh saya!” pekik pria itu sembari menutup kedua telinga.Rojali mendekat meski masih belum mengerti maksudnya. Ia ikut berjongkok, tetapi pria di depannya mundur hingga menabrak dinding bilik.“Saya salah! Saya salah! Tapi jangan bunuh saya!” teriak pria berpakaian lusuh itu.“Apa ... kamu yang sudah nolong saya?” tanya Rojali. Saat tangannya akan menepuk bahu pria itu, ia malah didorong menjauh.Pria itu mengangguk dengan cepat. Wajahnya tampak ketakutan dengan bola mata bergerak ke sekeliling seperti orang linglung. Pipinya sudah bersimbah air mata sedang tubuhnya basah oleh air hujan. &
Read more
69
Sudah setengah jam yang lalu azan subuh berkumandang di langit Ciboeh. Tokoh masyarakat yang dipimpin Pak Dede kembali berkumpul di aula desa. Tempat itu dijaga cukup ketat oleh beberapa orang dengan harapan informasi tidak bocor ke para warga biasa.Dari kejauhan, Aep tampak berlari terburu-buru. Ia ketiduran dan harus bergegas menuju tempat rapat. Pria itu justru lupa untuk memberitahu Rojali mengenai pertemuan ini.Aep berhenti di depan gerbang desa untuk mengambil napas sejenak. Ia lantas masuk setelah meminta izin pada Eman yang berjaga di depan. Begitu masuk ke aula, Aep seketika menjadi pusat perhatian, terlebih ia hanya memakai kaus, celana kolor serta sarung yang diselendangkan di bahu kanan.“Mana si Rojali, Ep?” tanya Pak Dede.“Astagfirullah.” Aep menepuk dahi. “Punteun, saya lupa, Pak Dede.”Seketika saja Aep langsung disemprot para warga. Pria itu hanya bisa mengaruk tengkuk yang sama sekal
Read more
70
Dua kabar mengejutkan berhasil memecah pagi. Pak Dede segera mendekat ke arah Aep begitu pria itu melambaikan tangan dengan wajah panik. Begitu sampai di dapur, Kepala Desa Ciboeh itu mendadak histeris saat melihat Reza terkapar di tanah.“Reza!” teriak Pak Dede sembari mendekat. Wajahnya menggurat kepanikan yang sangat kentara. Kekhawatirannya beberapa hari ini nyatanya dibuktikan dengan kondisi putranya yang tak bergerak dari tanah, seolah raganya menempel ke bumi.Melihat hal itu, Aep segera berlari ke luar. “Reza pingsan. Tolong bantu!”Asep yang masih dilanda keterkejutan karena kematian Ki Udin yang tiba-tiba segera berlari ke arah Aep. Ia dengan cepat menelan rasa kaget saat melihat Reza dengan mata memelotot dan mulut setengah terbuka berada di tanah.“Cepet angkat, Sep!” pinta Aep.Aep dan Asep segera mengangkat tubuh Reza keluar dari dapur, sedangkan Pak Dede mengikuti mereka dengan mata berkaca-kaca.
Read more
71
Di lokasi kediaman Pak Dede, Reza langsung dibawa ke kamar. Kondisinya masih sama seperti saat pertama kali ditemukan, mata dan mulut terbuka, sedang bibirnya bergerak seperti ingin bicara sesuatu.Warga yang akan melayat ke rumah Ki Udin dibuat terheran-heran saat mendengar teriakan Pak Dede. Mereka bergegas ke rumah dan menemukan kepala desa itu tengah menangis di dekat Reza.“Saha yang sudah buat kamu seperti ini, Reza?” tanya Pak Dede sembari menyeka sudut matanya. “Sok bilang sama Bapak! Bilang!”Para warga yang memadati kamar dan ruangan rumah Pak Dede hanya bisa menatap sembari sesekali berbisik mengenai keadaan Reza. Tak lama kemudian, Asep tiba dan langsung membelah kerumunan warga. Ia seketika berbisik di telinga Pak Dede, kemudian berjalan menuju dapur.“Aya naon, Sep?” tanya Pak Dede begitu tiba. Wajahnya basah karena tangisan.Asep tak langsung menjawab. Ia lebih dahulu menutup pint
Read more
PREV
1
...
678910
...
20
DMCA.com Protection Status