Semua Bab GARA-GARA NOTIFIKASI SMS BANKING SUAMIKU: Bab 31 - Bab 40
72 Bab
Bab 31
Bab 31 POV Anggi  Kami menuju kantor polisi. Kemudian, Mas Irfan menginjak rem secara mendadak.  "Ada apa, Mas?" tanyaku sambil melihat ke kanan kiri yang ternyata sepi.  "Dari tadi ada yang ngikutin kita," sahut Mas Irfan. Tidak lama kemudian, hanya selang beberapa detik Mas Irfan bicara, ada segerombolan preman menghampiri. Ia mengetuk keras kaca mobil, dan menyuruhku turun.  "Turun kamu!" teriaknya. "Jangan turun, Anggi," pesan Mas Irfan. Aku menghela napas panjang. Kemudian menyoroti preman-preman yang ada di luar sana satu persatu.  "Mas, mereka bawa batu, aku buka kaca mobilnya ya," ucapku. Meskipun memakai kursi roda, aku penasaran dengan tujuan mereka menyuruhku turun.  "Kamu tunggu sini, aku akan bicarakan padanya baik-baik, ya," pe
Baca selengkapnya
Bab 32
Bab 32 POV Eyang Irgi  Aku belum menceritakan semuanya pada mereka. Namun, dokter yang menangani Irfan telah keluar dari ruangan tindakan.  "Itu Dokter keluar dari ruangan," celetuk Anggi sembari menunjuk ke arahnya. Kami pun menoleh dan menghampirinya.  Ceritanya dilanjutkan nanti lagi ketika suasana sudah mulai mencair. Saat ini suasana sungguh amat tegang. Setelah beberapa hari kami mengharapkan pelaku penusukan ditahan, kini justru ada musibah lagi tertuju pada Irfan.   "Bagaimana, Dok?" Kami bertiga tetap mencemaskan Irfan, meskipun ia adalah bukan siapa-siapa keluarga Pratama.  "Pak Irfan hanya ada pengelupasan di wajah, matanya agak ketutup sedikit sebelah kiri tapi retina masih aman, mungkin tadi Pak Irfan menutup matanya ketika peristiwa itu terjadi, di tangannya juga agak melepuh,
Baca selengkapnya
Bab 33
Bab 33 POV Anggi  Eyang Irgi telah menceritakan sebagian masa lalunya, dan itu sungguh di luar pikiran kami. Semua yang terjadi saat ini bukan karena iri atau dengki atas persaingan bisnis, ternyata karena dendam kesumatnya Alex lah yang menyebabkan masalah kami tak sudah-sudah.  Eyang terus menerus menyebutkan bahwa wanita sebayanya yang berada di depan kasir adalah sekretaris almarhum papanya Alex terdahulu. Hingga akhirnya menyeretku paksa untuk ikut menemuinya.    "Anggi, kita samperin Retno, kamu yang bicara padanya, ya," suruh Eyang. Aku pun mengangguk, lalu bangkit mengikuti arah langkah eyang berjalan.   Di sudut keramaian kantin rumah sakit, aku pun menghampirinya dengan perlahan bersama eyang, juga dibuntuti oleh papa yang ingin membayar ke kasir.   
Baca selengkapnya
Bab 34
Bab 34 POV Anggi Ada sesuatu yang menjanggal ketika aku menyebut nama Irgi Pratama. Bu Retno tampak berkaca-kaca ketika aku menyebut nama eyang.  "Di mana Irgi? Kamu siapanya Irgi?" tanyanya penuh selidik. Sederet pertanyaan ia lontarkan untuk menutupi rasa penasaran.   Tiba-tiba suster keluar dari ruangan, dan memanggil namanya untuk bergiliran konsultasi.  "Pasien Retno!" teriak suster.  Kemudian, Ratih berdiri, lalu menggandeng tangan mamanya.  "Mbak, aku ke dalam dulu, jangan ke mana-mana, ya. Nanti kita lanjutkan lagi," pesan Ratih ketika hendak melangkah. Kemudian, Bu Retno terlihat mengangguk sambil tersenyum tipis.  Ia melangkah ke depan. Namun, raut wajahnya masih menoleh ke arahku. Kemudian, Bu Retno melambaikan tangannya.
Baca selengkapnya
Bab 35
Bab 35 POV Anggi  Bagaimana tidak terkejut ketika melihat alamat yang dikirim oleh Ratih melalui share lokasi. Ternyata lokasinya masih di dekat rumahku saat masih bersama Mas Irfan. Masa iya aku tidak mengenal tetangga yang tinggal di dekat kami? Apa ia tetangga baru?  Aku balas pesannya dengan menghubunginya langsung. Ya, aku akan menanyakan padanya sejak kapan menjadi penghuni Perumahan Satelit Green?  "Halo, assalamualaikum, sudah sampai Ratih?" tanyaku sopan.  "Sudah, Mbak. Baru saja sampai rumah," jawabnya terdengar sedang berjalan.  "Oh ya, Mbak boleh tanya, sejak kapan kamu ada di kota ini? Lebih tepatnya tinggal di perumahan yang kamu tempati." Aku menyelidiki sambil interogasi.  "Sejujurnya kami hanya sewa rumah ini, karena Mama tidak mau tinggal di Ja
Baca selengkapnya
Bab 36
Bab 36 POV Anggi  "Papa!" teriakku terkejut. Ternyata ia menyusul kami ke sini. Mungkin papa juga penasaran dengan apa yang kami sembunyikan.  "Kaget? Maaf ya," ucap Papa Angga sambil meraih punggung tangan eyang lalu mengecupnya.   "Takut campur kaget, Pah. Aku takut Pak Alex ke sini," jawabku sembari gantian mengecup punggung tangannya.  Jujur saja aku ingin jadi penengah atas perseteruan yang salah paham ini. Sebab, semua takkan ada habisnya jika menuruti dendam, apalagi motif Pak Alex salah sasaran. Ini harus diluruskan dengan segera.  Aku meraih ponsel lalu coba menghubungi Ratih. Namun, kontak yang ia berikan sedang di luar jangkauan. Sepertinya mereka memang sedang berada di luar rumah.  Aku menarik pergelangan tangan mereka berdua, sebab rumah yang
Baca selengkapnya
Bab 37
Bab 37 POV Anggi  Kemudian, setelah kami turun dari mobil, pengendara yang mengikuti kami pun keluar dari mobilnya. Ya, dia Pak Alex, sungguh aku acungi jempol nyalinya untuk muncul di hadapan kami, sebab ia adalah buronan polisi, seharusnya Pak Alex takut.  Langkah kaki papa semakin tak gentar ketika melihat bahwa Pak Alex yang mengikuti kami tadi. Sambil melipat kedua tangannya, ia pun menghampirinya.   "Bagus sekali, kamu hebat, pemberani, apa sudah tak sabar masuk bui?" tanya papa dengan nada sindiran. Pak Alex pun menyambut dengan tawa lepas.   "Bui? Kamu pikir bisa semudah itu memasukkan aku ke penjara! Hah!" tekan Pak Alex. Kemudian, eyang melerai perdebatan sengit mereka berdua. Aku sebagai wanita ada sedikit cemas, khawatir mereka nekat.   "Sudahla
Baca selengkapnya
Bab 38
Bab 38 POV Anggi Rupanya Pak Alex sangat trauma atas kejadian yang menimpa keluarganya. Perjalanan hidupnya juga terbilang sangat tragis. Aku sangat memakluminya jika di dalam dirinya hanya dendam yang ia pikirkan. Sebab, anak mana yang tega melihat keterpurukan terpampang jelas di depan mata. Ibunya yang melahirkan dengan susah payah mengalami depresi berat atas peliknya kehidupan yang mereka jalani.  Akan tetapi, kami sungguh sangat terkejut melihat kedatangan dari Pak Subroto. Ke mana saja ia selama ini? Aku pikir Pak Subroto yang mengangkatnya sebagai anak sudah karena tidak ada di dunia ini. Sebab, Pak Alex tak pernah menyebut namanya selama ini, dan Pak Subroto selama ini pun tidak pernah nongol dalam kesibukan apapun.   "Papa tidak habis pikir dengan ambisi kamu, Alex! Papa malu, Alex! Malu!" sentak Pak Subroto penuh dengan penekanan. Sepertinya ia marah
Baca selengkapnya
Bab 39
Bab 39 POV Anggi Eyang Irgi menceritakan bagaimana ia bisa menghubungi Pak Subroto pada kami. Saat itulah aku tersadar, bahwa eyangku tidak tinggal diam dan pasrah dalam meluruskan ini semua. Banyak cara yang ia lakukan untuk menyudahi balas dendam ini.   Di sela-sela eyang menceritakan pertemuannya dengan Pak Subroto, tiba-tiba ponselku bergetar.   [Mbak, masih lama, nggak? Aku dan Mama mau ke RS Jiwa, kami sudah dapatkan alamat tempat istri dari Pak Tyo dirawat.]   Kebetulan sekali, lebih baik aku kirim saja lokasiku saat ini pada Ratih. Jarak kami di sini tak jauh dari tempat ia menunggu.   [Ratih, bisa mampir ke sini. Tolong berikan pengertian pada Bu Retno untuk meluruskan ke anak dari Pak Tyo. Ini aku lampirkan lokasi kami. Terima kasih, maaf kalau ti
Baca selengkapnya
Bab 40
Bab 40 POV Anggi  Pak Alex sontak berlari ke lantai atas tempat dimana ada yang ingin bunuh diri. Mungkin ia mengkhawatirkan ibunya. Aku pun dan yang lainnya turut mencemaskan kondisi ibunya. Namun, ketika kami hendak menaiki lift, ternyata di lift tersebut keluar sosok yang tidak aku kenal, tapi Bu Retno dan Eyang Irgi sangat mengenalnya, kami bertemu dengan Bu Raya, ibunya Pak Alex.   "Raya," gumam Bu Retno dengan ekspresi terperangah.   "Kamu wanita sialan! Pergi!" teriak Bu Raya sembari mencengkram rambutnya. Kondisinya masih sulit ditenangkan, terlebih lagi Pak Alex sedang menapaki anak tangga ke lantai atas. Ya, ia berpikir orang yang hendak bunuh diri adalah ibunya, makanya sampai rela menapaki anak tangga, sebab jika menunggu lift juga lumayan lama.   "Maaf Bu, jangan bikin pasien k
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234568
DMCA.com Protection Status