Semua Bab Api Dendam Brianna: Bab 71 - Bab 80
92 Bab
Bab 71 - Berhenti Bermimpi
~Brie~ Aneh. Ada apa dengan Damian? Aku mencoba menghubungi dari pagi tadi, tidak satu pun panggilan dariku yang dijawabnya. Padahal ponselnya aktif. Apa dia sedang berada di rumah sakit menjaga mamanya? Pesanku juga tidak dibalas. Bila aku nekat ke rumah sakit untuk menemuinya, aku khawatir aku akan membuat kekacauan di sana. Aku tidak mau bertemu dengan keluarganya. Aku juga tidak ingin keadaan ibunya semakin parah melihat kedatanganku. Tetapi aku harus menemuinya dan bicara. Walaupun kami tidak sepenuhnya telah kembali bersama, aku tidak mau pergi begitu saja tanpa mengucapkan selamat tinggal kepadanya. Kami mungkin tidak akan pernah bertemu lagi, jadi ini adalah kesempatan terakhir untuk menyelesaikan segalanya secara baik-baik. Aku perlu melakukan ini untuk diriku sendiri. Bukan dia yang sedang aku pikirkan. Aku yang lebih membutuhkan kepastian mengenai perasaanku kepadanya. Aku tidak ingin terus mengalami ini di dalam dadaku sendiri. Aku lelah d
Baca selengkapnya
Bab 72 - Dari Hati ke Hati
“Apa yang sedang kamu lakukan? Kamu mengabaikan telepon dan pesan dariku setelah kamu berjanji di depan kamera bahwa kamu akan membahagiakan aku. Apa kamu sedang bercanda?” tanyaku tanpa basa-basi. “Aku tidak bercanda. Kamu tahu bahwa aku serius dengan semua ucapanku kepadamu,” protesnya. Dia mendesah pelan. “Aku pengangguran, Brie. Aku tidak punya apa-apa lagi. Bagaimana aku bisa memasang mukaku di depanmu dengan keadaanku ini?” Laki-laki dan harga dirinya. Hal yang sering sekali tidak bisa aku mengerti. Dia menundukkan kepala, sama sekali tidak mau melihat ke arahku. Pasti dia merasa sedang berada di titik terendah dalam hidupnya. Aku pernah berada pada posisi itu. Bukan hal yang ingin aku alami lagi. “Aku akan terbang ke Bali pada hari Minggu besok.” Aku bisa melihat dari sudut mataku ketika dia mengangkat wajahnya dan mengarahkan pandangannya kepadaku. “Jadi, aku menghubungi kamu untuk berpamitan. Aku tidak akan pernah kembali ke Jakarta lagi.” “A
Baca selengkapnya
Bab 73 - Kesempatan Terakhir
Aku tidak pernah jatuh cinta. Seumur hidupku di dunia, aku tidak sempat merasakan hal indah itu karena tidak ada pria yang seperti Papa. Yang sayang kepadaku, menjagaku, menemani ke mana aku pergi, dan yang mau bermain boneka denganku. Papa adalah cinta pertamaku. Pria yang mengajari aku bahwa cinta itu memberi waktu, berkorban, dan tanpa mengharapkan balasan. Tidak pernah keluar dari mulut Papa agar suatu hari nanti aku menjadi anak yang berbakti kepada orang tua. Papa dan Mama mengajari aku menjadi anak yang mandiri dan kelak tidak lagi bergantung kepada mereka. Damian menunjukkan hal yang sama. Dia tahu siapa aku, kami tidak akan bisa bersama karena kami menyandang nama keluarga yang sama. Bukan hanya adat-istiadat, pemimpin gereja di mana kami berada pun tidak merestui hubungan kami. Tetapi dia tetap mencintai aku. Lebih murni dari sayang seorang sahabat, lebih dalam dari cinta seorang kekasih. Dia menolong menyatukan kembali hatiku yang telah lama hancur
Baca selengkapnya
Bab 74 - Restu Ayah
“Ian,” katanya sambil memegang tanganku dan menciumnya. Aku menatapnya tidak percaya. “Ini bukan saatnya untuk bercanda,” protesku. “Aku tidak sedang bercanda. Jangan panggil aku Damian.” Dia mencoba untuk berdiri, aku menahan tubuhnya dengan memegang kedua pundaknya. “Siapa yang sudah melakukan ini kepadamu?” tanyaku sedikit memaksa. Dia hanya diam. “Ayo, kita ke dokter. Lebam ini perlu diperiksa.” “Dokter sudah memeriksanya.” “Lalu mengapa kamu malah memakai riasan dan bukan obat dari dokter?” protesku lagi. “Apa kamu akan marah-marah begini saat aku sedang sakit?” tanyanya yang memasang wajah sedih. Aku kembali hanya menatapnya. “Aku tidak mau kamu sampai melihat ini, maka aku menutupinya. Dan siapa yang melakukan ini bukan masalah. Bekasnya akan segera hilang.” Tidak mau berdebat dengannya lagi, aku pun berhenti mendesaknya memberitahu aku siapa yang telah memukulnya. Aku meminta obat yang sudah diresepkan dokter dan dia me
Baca selengkapnya
Bab 75 - Permintaan Mama
~Damian~ Kak Christos akhirnya menghubungi aku dan memberitahu bahwa Mama sudah siap untuk kami jenguk. Untuk memastikan hal itu, aku ingin mendengar langsung suaranya. Kakak memberikan ponselnya kepada Mama, lalu kami berbincang sejenak. Mama tidak terdengar marah atau kesal denganku. Sebaliknya, intonasi suara Mama tenang dan bicara dengan damai bersamaku. Sama seperti sebelum semua masalah ini terjadi. Sebelum Mama tahu bahwa aku bertekad menikahi wanita yang satu marga denganku. “Bawa Brie ke sini. Aku ingin bicara dengannya,” kata Mama mengejutkan aku. “Tetapi, Mama mau membicarakan apa dengan dia?” tanyaku tanpa dapat menyembunyikan rasa khawatirku. Hubungan mereka tidak baik dan Brie jelas berkata bahwa dia sudah lelah dengan hinaan orang yang ditujukan kepadanya. “Aku hanya meminta satu hal itu saja. Apa kamu tidak bisa mengabulkannya? Aku menonton siaran konferensi pers itu, jadi aku tahu bahwa kamu masih bertemu dengannya,” ucap Mama
Baca selengkapnya
Bab 76 - Restu Ibu
~Brie~ Aku tidak menduga sama sekali bahwa alasan mama Damian meminta bertemu denganku adalah untuk melakukan hal ini. Sepuluh tahun berlalu dan baru dia dari kedelapan belas orang tua yang bekerja sama merusak nama baikku yang meminta maaf. Kalimat itu sudah cukup bagiku, dia tidak perlu sampai berlutut di depanku. Aku juga bukan manusia suci tanpa dosa. Meskipun hanya satu orang tua, aku merasa sangat lega. Aku semakin percaya bahwa aku hanyalah korban, bukan pelaku kejahatan. Sepuluh tahun kepalaku diisi dengan berbagai tuduhan jahat yang sengaja mereka sebarkan. Kadang-kadang aku ragu, mungkinkah aku melakukan semua yang mereka katakan? Karena semakin hari, tuduhan itu semakin meyakinkan. Aku sempat berpikir bahwa akulah yang telah menggoda mereka bertujuh sehingga mereka ingin meniduri aku. Akulah yang berpakaian terlalu mengundang yang membuat darah muda mereka terpancing. Akulah yang memberikan diri kepada mereka secara sukarela, bukan mereka yang mema
Baca selengkapnya
Bab 77 - Anak
“Oh.” Rhea segera meletakkan tangannya di bawah perutnya. Suaminya segera melepaskan papa Damian dan berlari ke sisi istrinya. “Aku akan melahirkan, sayang.” Suasana kamar pun kembali riuh. Christos memanggil suster dan meminta pertolongan, Mama memberi petunjuk apa yang sebaiknya dilakukan oleh Rhea dan suaminya. Rhea mulai menangis karena merasa malu sudah buang air sembarangan. Luhut berusaha untuk menghibur istrinya tetapi tidak ada usahanya yang berhasil. Melihat itu, aku segera mendekatinya. Ini bukan hal yang baru bagiku karena aku juga pernah melahirkan. Aku memintanya untuk tenang dan tidak panik. Dia hanya perlu ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Aku meminta suaminya untuk mengambil pakaian Mama dan membeli pembalut. Untung saja mereka sudah siap dengan keadaan itu. Tas yang berisi barang yang akan diperlukan Rhea saat proses melahirkan, ada di dalam bagasi mobil. Aku membantu Rhea berganti pakaian yang lebih nyaman. Lalu m
Baca selengkapnya
Bab 78 - Izinkan Dia Bahagia
Semua orang yang semula sibuk dengan urusannya masing-masing, mengarahkan perhatian mereka kepada Damian. Luhut kembali duduk di tepi tempat tidur, di sisi istrinya. Mama memberikan si kecil kepada Christos agar dibaringkan di boksnya, lalu kembali duduk di sisi ayahnya. “Jangan bilang kamu akan mengatakan sesuatu yang membuat kami tidak suka. Karena kalau iya, sebaiknya kamu diam,” ancam papa Damian. Mama memejamkan matanya, kemudian mendesah pelan. Dia menatap Damian, lalu menoleh ke arah suaminya. “Tolong, dengarkan apa kata Ian dengan tenang. Jangan memberi reaksi apa pun karena tersulut emosi. Aku akan menjelaskan semuanya kepadamu nanti di rumah.” Mama memegang tangan papa Damian. Pria itu kelihatan ingin protes, tetapi dia segera menahan dirinya melihat tatapan Mama. “Katakan, Ian. Apa yang mau kamu sampaikan kepada kami,” kata Christos. “Aku dan Brie memutuskan untuk memulai hidup baru di tempat yang baru. Kami sama-sama tidak terikat pekerjaa
Baca selengkapnya
Bab 79 - Pamit
Untuk apa dia bicara dengan perempuan itu? Seharusnya biarkan saja petugas keamanan yang mengurus dia seperti pada beberapa hari yang lalu. Wanita itu kalau diberi hati pasti minta jantung. Entah apa lagi yang dia inginkan dari Damian. Aku tidak percaya masih ada perempuan tidak tahu malu yang sudah ditolak masih nekat datang lagi. “Jangan khawatir. Ian hanya ingin mengakhiri keributan. Tadi dia ingin ikut ke sini bersama kami. Rhea sudah melarang, dia masih saja memaksa. Jadi, Ian turun dan menangani sendiri masalah itu,” kata Christos menjelaskan. Aku mengangguk mengerti. “Aku senang melihat Kak Cece mau datang ke sini bersama Kakak,” ucapku pelan agar istrinya tidak mendengar. Christos tersenyum bahagia. “Terima kasih, Brie. Begitu dia tahu bahwa kamu dan Ian mendapat restu dari Mama, dia sangat senang. Dia belum sepenuhnya memaafkan aku, tetapi ini adalah perkembangan yang baik.” Mereka sudah mengambil makanan mereka masing-masing, maka aku mengam
Baca selengkapnya
Bab 80 - Trauma
~Damian~ Setelah beberapa hari berhasil menghindar dari pertanyaannya, kali ini aku tidak bisa lari lagi. Aku tahu bahwa dia pasti akan berhasil menyatukan kepingan demi kepingan puzzle untuk menemukan jawaban atas pertanyaannya selama ini. “Iya, Bapak yang memukul wajahku beberapa hari yang lalu,” jawabku jujur. Dia menyentuh pipi kiriku yang sudah pulih. “Ini bukan yang pertama,” katanya, memastikan bahwa itu pernyataan bukan pertanyaan. “Iya.” Aku menyentuh tangannya itu, lalu menurunkannya dari wajahku. Sebaiknya aku katakan saja segalanya dengan jujur agar dia tidak penasaran dan aku tidak dendam kepada Bapak. Aku menceritakan kejadian sepuluh tahun yang lalu di mana Bapak pertama kalinya menghajar aku hingga nyaris mati. Hal yang saat itu aku anggap pantas aku terima, karena aku adalah anak yang telah membuat namanya malu. Kejadian berikutnya adalah saat aku diusir dari rumah dan pindah ke apartemen ini. Matanya mem
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
5678910
DMCA.com Protection Status