All Chapters of (bukan) Perempuan Biasa. (buku ketiga): Chapter 11 - Chapter 20
54 Chapters
Chapter 11
Vina sangat meyakini pepatah yang mengatakan ; di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan. Dan jika satu pintu tertutup, insyallah pintu lain akan terbuka. Kuncinya adalah terus berusaha yang diiringi dengan ikhtiar yang tidak putus-putusnya. Begitu juga dengan musibah demi musibah yang terus menerpanya. Walau ia harus jatuh bangun menghadapi semuanya, namun menyerah bukanlah karakternya.  Seperti sekarang saja misalnya. Pada pukul lima pagi, ia telah sibuk berbelanja ke pasar tradisional. Setiba di pasar, ia memeriksa satu persatu daftar belanjaan yang harus ia beli di selembar kertas. Setiap satu bahan telah ia beli, maka ia akan langsung mencoretnya dari daftar, agar tidak tumpang tindih. Ia memang sengaja mencatat daftar belanjaan pada selembar kertas, dibandingkan dengan notes di ponselnya. Pengalamannya berbelanja di hari pertama memberikan pelajaran, bahwa berbelanja sembari memeriksa ponsel itu menyusahkan. Selain berkali-kali jatuh, karena tangan
Read more
Chapter 12
Kamar sudah rapi. Ia dan ibunya bergotong royong membersihkannya. Sementara Dina duduk melamun di sudut kamar. Pandangannya kosong. Tidak lagi liar seperti tadi. Ia tidak lagi berteriak-teriak atau menangis. Sebutir obat penenang memang ampuh. Namun ada rasa tidak tega di hati Vina saat melihat Dina dalam pengaruh obat seperti ini. Air liur perlahan mengalir dari sudut bibir kakaknya. Sang ibu bergegas menyekanya dengan sehelai sapu tangan. Beginilah keadaan kakaknya apabila diberi obat penenang. Syarat-syarafnya mati rasa. Sehingga kakaknya tidak bisa mengontrol reaksi tubuhnya.  "Ayah ke mana, Bu? Dari tadi Vina tidak melihatnya."  "Ayahmu ke kanton Reyhan, Vin. Ayahmu ingin mengembalikan cek yang kamu berikan tempo hari." Bu Misna menggenggamkan sapu tangan ke tangan Dina. Ia bermaksud mengajarkan Dina untuk belajar menyeka air liurnya sendiri. "Nanti diseka seperti ini ya, Din. Biar bersih," bujuk Bu Misna
Read more
Chapter 13
"Kamu ini ternyata jahatnya hingga ke pembuluh darah ya, Vin?" Bunyi derit pintu yang terbuka, serta kuatnya suara hardikan dari Rajata membuat Vina mengelus dada. Salah paham lagi. Entah mengapa Rajata ini selalu saja muncul di saat yang tidak tepat. Saat ini ia berdiri di antara Rajata dan Aria. Vina melirik sekilas air muka Aria yang memucat dan ekspresi geram di wajah Rajata. Dua laki-laki sakit ini saling memandang dengan asumsi berbeda dalam benak mereka masing-masing.  Vina melirik sekilas map yang berada di tangan Rajata. Sepertinya Rajata masuk ruangan ini karena ingin membicarakan masalah pekerjaan dengan Aria. Sebaiknya ia pergi saja dari ruangan ini. Toh urusannya di sini sudah selesai. "Permisi," Vina memeluk map yang berisi ijazahnya sendiri dan bermaksud berlalu dari ruangan Aria. Setelah map berisi ijazahnya ini sudah kembali padanya, ia sudah tidak mempedulikan apapun lagi. Ia tidak membutuhkan simpati Aria apalagi Raja
Read more
Chapter 14
Vina baru saja menghidangkan empat mangkuk bakso kepada pelanggan, saat gerobak ayahnya memasuki halaman. Vina heran. Rasanya belum terlalu sore. Tetapi ayahnya sudah pulang. Padahal terlihat di stealing, kalau bahan dagangan ayahnya masih banyak. Biasanya ayahnya baru akan pulang ke rumah pada pukul tujuh malam. Paling cepat pun pukul enam sore. Atau jangan-jangan memang sudah sore?  Penasaran Vina melongok ke ruang tamu. Memindai jam dinding di sana. Pukul empat lewat lima menit. Berarti ia tidak salah. Ayahnya memang kembali lebih cepat. Dan saat ia memperhatikan kondisi gerobak lebih teliti, ia segera menghampiri ayahnya. Gerobak ayahnya lecet-lecet, dan agak melesak ke dalam. Bahan-bahan bakso di stealing juga saling bercampur-baur. Satu dugaan melintas dalam benak Vina. Ketika ia melihat tubuh ayahnya luka dan beset-beset seperti tergesek aspal, dugaannya kian menguat. "Ayah kenapa? Jatuh ya?" Vina meletakkan bakinya sembarang. Ia
Read more
Chapter 15
Vina menjerit kecil saat membaca email masuk di ponselnya. Ia mendapatkan email dari PT Karya Gemilang Putra. Perusahaan ini adalah perusahaan besar yang diidam-idamkan setiap pekerja. Termasuk dirinya juga. Sebenarnya ia cuma iseng-iseng mengirimkan surat lamaran ke perusahaan ini. Siapa yang menyangka kalau ia diberi kesempatan untuk melakukan interview besok pagi. Ia merasa sangat beruntung. Vina juga sangat bersyukur karena jam interviewnya itu pagi hari. Dengan begitu tidak mengganggu jualannya. Paling ia akan meminta tolong ayahnya untuk berbelanja dan meracik bahan-bahan bakso. Jadi saat ia pulang nanti, ia tinggal berjualan saja.  "Kamu kenapa, Vina? Kok cengar cengir sendirian? Ini berapa Vin?" Pak Ramli yang baru saja pulang berjualan mengacungkan dua jarinya. Menggoda putrinya yang senyam-senyum sendirian di depan ponselnya. Warung putrinya sudah sepi. Bahan-bahan bakso di stealing juga sudah ludes. Itu artinya dagangan putri
Read more
Chapter 16
Vina mengendarai gerobak bakso ayahnya sedikit lebih kencang. Ia takut terlambat ke warung Kanaya. Janjinya pada Kanaya adalah pukul empat sore. Dan saat ini waktu telah menunjukkan pukul empat sore lewat lima belas menit. Perkiraan waktunya salah. Ternyata mengendarai motor dengan gerobak di sampingnya sangat jauh berbeda dengan mengendarai motor biasa. Selain itu, ia harus mengantarkan pesanan bakso ke beberapa pelanggan ayahnya terlebih dahulu. Belum lagi terkadang di jalan ia berhenti apabila ada pembeli yang memanggilnya. Lumayan juga, ia jadi bisa menghabiskan sisa-sisa bakso di gerobaknya.  Ia mengendarai gerobak bakso ayahnya ini karena ingin menjual sisa bakso di gerobak dan di rumah. Karena baksonya tinggal sedikit, ia memutuskan untuk menjualnya secara berkeliling saja. Digabung dengan sisa bakso ayahnya. Sambil jalan ke warung Kanaya, menyambi berjualan juga. Jadi ayahnya bisa langsung beristirahat. Tidak perlu menjual baksonya yang di rumah lag
Read more
Chapter 17
Vina mengigit lidahnya sendiri sebelum mengucapkan salam. Saat ini ia berada di depan pintu rumahnya. Memikirkan alasan apa yang akan ia berikan, apabila kedua orang tuanya menanyakan keadaannya. Penampilannya saat ini tidak begitu baik. Kaosnya robek karena tarikan Alana, dan wajahnya juga luka-luka oleh cakaran kuku. Dan yang paling kentara adalah tangannya yang luka-luka dan melepuh. Kepulangannya dalam keadaan seperti ini pasti akan mengundang keheranan kedua orang tuanya.Masalah kaos, ia telah mengakalinya. Saat ini ia telah mengenakan jaket parasut milik Narti. Salah seorang staff Jihan yang membantu-bantu di warung. Narti dengan bijak meminjaminya jaket, saat melihat kaosnya robek cukup besar.Mengenai punggung tangannya yang melepuh, ia bisa mengarang bebas dan mengatakan kalau ia tidak sengaja menumpahkan kuah bakso. Alasannya masih masuk akal. Orang yang berjualan bakso tentu saja sesekali bisa ketumpahan kuah bakso. Yang ia bin
Read more
Bab 18
Setengah berlari Vina memasuki kafe. Ia sudah terlambat setengah jam dari waktu yang ia janjikan pada Alana. Hari ini warungnya sangat ramai. Dan ia tidak mungkin meninggalkan rezekinya begitu saja. Istimewa ia sangat membutuhkan uang sekarang-sekarang ini. Vina melayangkan pandangan ke seantero kafe. Mencari-cari sosok Alana di antara para pengunjung kafe yang ramai. Vina menarik napas lega saat melihat sosok ringih Alana duduk di sudut kafe. Sedikit terhalang oleh meja yang berisi serombongan anak-anak muda yang sepertinya baru pulang kerja.  "Maaf saya terlambat. Sudah lama menunggu, Bu Lana?" Vina menyapa Alana sopan. Ia belum menarik kursi. Ia hanya berdiri di sisi meja. Menunggu Alana menyadari kehadirannya dan mempersilahkannya duduk.  Alana tidak menjawab pertanyaannya. Ia hanya duduk bengong dengan pandangan lurus ke depan. Tatapannya kosong. Jangankan menotice sapaannya. Alana bahkan sama sekali tidak
Read more
Chapter 19
"Berdiri! Kamu ikut dengan saya!"Vina yang masih dalam posisi bersimpuh di jalan raja, menatap horor pada Rajata. Ya Rajata mendatanginya setelah tubuh bersimbah darah Alana dimasukkan ke dalam mobil ambulan. Sejurus kemudian mobil ambulan melesat membelah jalan raya, dengan raungan sirene membahana."Saya tidak tahu apa-apa. Saya tidak bersalah! Saya... saya... tidak tahu kalau Bu Alana akan bunuh diri. Saya sudah berusaha mengejarnya. Tapi Bu Alana larinya sangat kencang. Saya tidak berhasil mencegahnya. Tapi saya sudah berusaha. Sungguh, saya sudah berusaha!" Vina merepet. Dalam keadaan kalut ia berusaha menjelaskan semuanya. Ia tidak mau Rajata salah paham lagi. Sudah terlalu banyak kesalahpahaman di antara mereka bertiga. Dan ia tidak mau menambahinya dengan kesalahpahaman baru lagi."Ya, saya bisa melihat seberapa keras usahamu. Saking kerasnya, kamu tega menonton tewasnya Alana secara live di depan matamu!" umpat R
Read more
Chapter 20
Vina celingukan. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri terlebih dahulu, sebelum berjalan keluar. Setelah merasa keadaan aman, ia segera berlari menuju taksi online yang menunggunya di halaman. Seperti inilah kehidupannya sekarang. Sudah dua minggu ini, ia selalu ketakutan setiap akan keluar rumah. Ancaman Rajata akan membuatnya menggantikan keponakannya yang belum sempat dilahirkan, membuatnya bergidik. Makanya ia sangat berhati-hati sekarang. Kalau tidak ada keperluan yang benar-benar mendesak, ia tidak akan keluar rumah. Kewajiban belanja pagi harinya pun, telah ia alihkan pada ayahnya. Ia takut kalau Rajata akan menghadangnya tiba-tiba. Sudah dua minggu ini, ia di rumah saja.  Hanya saja sore ini, ia terpaksa keluar. Mbak Jihan, pemilik warung Goyang Lidah, ingin berbicara empat mata dengannya. Vina menduga ini ada kaitannya dengan tidak berjualannya lagi Mbak Kanaya. Setelah melahirkan Juang, Mbak Kanaya keteteran mengatur waktu. Lagi pula sekarang keadaan fi
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status