All Chapters of Melawan Suami dan Mertua: Chapter 61 - Chapter 70
110 Chapters
61
Bagian 61            Sengaja tak kubalas pesan dari Ibu. Segera aku memejamkan mata sembari berusaha untuk tidak memikirkan apa yang bakal terjadi esok. Jujur saja, aku tak siap dengan semua. Segala apa yang terjadi dalam beberapa hari ini, sungguh di luar dugaanku.            Tak bakal kusangka bila ujung perselingkuhan Mas Rauf, bisa berdampak hingga sebesar ini. Takdir seolah mulai menunjukkan titik terang dari misteri yang lama belum terungkap. Ya, akhirnya aku tahu juga siapa dan seperti apa pertemuan Ibu dengan suami keduanya.            Napasku rasanya tercekat. Bila kuingat-ingat lagi tiap episode yang telah terjadi, betapa hidupku terasa sangat ajaib. Betapa tidak, tiba-tiba saja aku begitu dekat dan jatuh hati pada bos sendiri. Padahal, dulu kami hanya biasa saja. Seperti partner kerja p
Read more
62
Bagian 62            Hari Jumat jam pelayanan poli hanya sampai pukul 11.00 siang. Jumlah pasien pun dibatasi. Hari ini totak hanya ada 18 pasien yang periksa. Pekerjaan pun beres dengan sekejap mata tanpa drama pegal-pegal akibat menulis status dan menensi pasien.            Aku dan dr. Vadi keluar ruangan poli tepat jam 11.05. Lelaki itu hari ini tak banyak berbicara. Irit kata, begitu kesimpulanku. Mungkin sebab grogi mau berjumpa Abah dan Ibu? Entahlah. Aku tak bisa menebak.            “Makan siang, yuk,” katanya saat di parkiran.            “Kamu kan harus salat Jumat,” jawabku tenang sembari mengikuti langkahnya menuju mobil sedan yang dia parkirkan di ujung.      &nbs
Read more
63
Bagian 63            “Ris, aku sudah selesai.” Pria yang rambutnya disisir ke arah belakang dan tampak lembab bekas air wudu tersebut duduk di kursi kemudinya.            “Iya. Aku salat dulu,” jawabku sembari menegakkan jok dan menarik napas dalam sebelum keluar mobil.            “Tunggu,” cegahnya dengan wajah yang tampak mengamati. “Ada sesuatu?” Tuh, kan. Dr. Vadi lama-lama memang mirip sekali dukun atau anak indigo. Bisa-bisanya dia tahu bahwa aku sedang memikirkan sesuatu.            “Tadi Ibu kirim pesan. Katanya udah mau berangkat. Abah minta jemput sama kamu, Mas. Nggak mau naik taksi.”            Wajah dr
Read more
64
Bagian 64            “Ayo, Ris. Kita tunggu di pintu kedatangan.” Pria itu bangkit dari duduknya. Aku yang masih mengenakan seragam putih-putih lengkap tanpa sebuah cardigan atau jaket yang menutupi, ikut berdiri dan mensejajarkan langkah di sampingnya.            Dr. Vadi membayar beberapa ratus ribu rupiah untuk pesanan kami barusan. Wajahnya terlihat gamang. Aku tahu bukan karena uang yang berkurang dari dompet, tapi tibanya Abahlah yang membikin dia bisa seperti itu.            Kugenggam tangan dr. Vadi saat kami berjalan beriringan. Lelaki itu meremas genggamanku, seolah ingin memberi tahu bahwa dia sedang tak baik-baik saja saat ini.            “Mas, kamu harus tersenyum,” kataku padanya dengan suara yang
Read more
65
Bagian 65            “Maafkan Ibu, Nak,” bisik Ibu lagi dengan nada yang sangat lirih. Langsung kuusap air mata ini, membalas peluknya, dan meresapi hangat tubuh beliau yang telah lama tak kuhidu.            “I-iya, Bu. Aku sudah memaafkan Ibu.” Dadaku langsung plong. Lega luar biar biasa. Serasa hidupku saat ini lebih membaik dari sebelum-sebelumnya.            Ibu langsung melepaskan peluk. Mencium pipiku bertubi-tubi, lalu mengusap sisa air mata ini. Dia menatapku lekat-lekat dengan perasaan penuh kasih. Entahlah apakah yang kurasakan ini benar-benar apa yang tengah Ibu rasa sesungguhnya. Yang jelas, binar mata beliau bisa kutangkap betapa dia tengah mengungkapkan rasa rindunya yang tertahan selama ini.          &
Read more
66
Bagian 66PoV dr. Vadi            Kedatangan Abah bersama ibu dari Risa, semula sungguh membuatku gelisah bercampur tak senang. Sesekali muncul perasaan kalut sekaligus berkecamuk. Masih tak habis pikir. Bagaimana bisa ibu dari perempuan yang kucintai adalah perempuan yang selama ini telah Abah nikahi. Ya, masih saja pikiran itu terbesit padahal sudah kutepis sekuat tenaga.            Namun, seiring melihat ekspresi Risa yang tampak makin cerah ceria, rasanya aku menyerah. Mulai kubuka hati ini untuk menerima segala kenyataan yang ada. Apalagi saat perempuan tersebut memaafkan ibunya di dalam mobil, lalu mengajak kami salat berjamaah di mushala. Hatiku makin meleleh. Abah pun tampak sangat senang dengannya. Tak seperti saat aku dekat dengan Nadya dulu. Dia malah terkesan cuek, tak peduli, dan kurang antusias. Aku pun heran. Mengapa bisa sikap si tua it
Read more
67
Bagian 67PoV Lestari            Makan siang kali itu terasa begitu berbeda bersama Mamak dan Bapak. Ada haru yang membiru, sekaligus rasa syukur yang tiba-tiba tumbuh di tengah-tengah cobaan berat. Aku sekarang sudah tak apa-apa. Terlebih ketika kedua orangtuaku tampaknya telah ikhlas menerima keadaanku yang tengah berbadan dua. Tak terlihat sedikit pun rasa marah di dalam manik mata mereka. Memang, keduanya sampai menangis. Namun, aku tahu itu bukanlah suatu tanda bahwa mereka sudah membenciku. Mereka tetap orangtuaku yang memberikan kasih sayang seluas samudra kepada kami bertiga beradik.            Usai makan bersama, aku membantu Mamak untuk membereskan dapur kami yang dulunya menggunakan tungku api untuk memasak, tapi sekarang telah memakai kompor gas yang tak menimbulkan abu serta asap tebal. Kondisi dapur Mamak juga sudah rapi. Atapnya tak lagi
Read more
68
Bagian 68PERSIDANGAN TERAKHIR1,5 BULAN SETELAH PERJUMPAAN ABAH DENGAN RISA ….            Satu kali proses mediasi (yang sama sekali tidak dihadiri oleh Mas Rauf maupun kuasa hukumnya), satu kali persidangan pembuktian yang juga tak dihadiri oleh pihak mereka, dan akhirnya tiba juga hari di mana sidang putusan itu berlangsung.            Didampingi kuasa hukumku, Mas Deni dan Mas Robyn, pada hari itu, Kamis pukul 10.15 siang, aku mendengarkan dengan seksama ucapan hakim yang mengabulkan gugatan cerai dariku. Saat palu itu diketuk tiga kali, air mataku langsung tumpah. Betapa aku bahagia. Lepas dari segala beban yang selama ini membelenggu.            Langsung kutoleh ke arah bangku panjang yang disediakan untuh hadirin yang ingin melihat langsung sidang terbuka ini. Tampak dr
Read more
69
Bagian 69“Aku tidak tahu, apakah dia masih di rumah sakit atau sudah di rumah, Bu,” jawabku dengan nada malas. Kuharap, dengan jawaban ini, Ibu dan Abah berubah pikiran saja. Berhenti untuk mengajakku ke sana dan mengalihkannya dengan hal lain, semisal makan bersama atau jalan-jalan ke suatu tempat wisata.            “Kita datangi saja ke rumahnya dulu. Bagaimana? Biar tahu. Kan, sudah lumayan lama dia sakit? Kemungkinan sudah pulang ke rumah.” Ibu bagai tak mau menyerah saat mendengarkan alasan yang kubuat.            Aku menghela napas dalam. Rasanya tak ingin bila harus merusak kebahagiaanku dengan mengunjungi lelaki bajing*n tersebut. Untuk apalagi? Bukankah kami baru saja resmi bercerai?            “Iya. Tidak apa-apa. Kita tunjukkan rasa kemanusiaan kepa
Read more
70
Bagian 70PoV Lestari            Hari bahagia Mbak Vinka malah menjadi hari paling menyedihkan yang pernah kualami dalam hidup. Sepanjang aku berada di rumahnya yang sangat besar untuk ukuran penduduk desa seperti kami, aku hanya bisa makan hati dan menahan tangis. Mencoba untuk cuek saat pertanyaan demi pertanyaan terlontar ke arahku.            Acara lamaran selesai tepat pukul 21.30 malam. Ada sesi foto-foto keluarga di mana aku sengaja menghindari hal tersebut dan lebih memilih untuk mencuci piring sisa makan para tamu undangan yang segunung.            Sembari menulikan telinga dan membutakan mata, aku terus memasang wajah cuek, seolah tak peduli dengan ucapan para bibi maupun paman yang tak hentinya menanyakan kapan aku akan menyusul kakak sepupuku.    &nbs
Read more
PREV
1
...
56789
...
11
DMCA.com Protection Status