All Chapters of Dibayar Satu Miliar: Chapter 61 - Chapter 70
93 Chapters
61
  Axel salah tingkah. Bola matanya bergerak tidak fokus. Dia seperti baru menyadari telah salah melontarkan perkataan itu padaku.  "B--bukan, maksudku bukan begitu."  "Kamu tenang saja, Xel. Aku bukan wanita jahat yang mengambil suami orang tanpa izin. Aku bukan PeLaKor, aku dinikahi kakakmu sah secara agama. Istrinya tahu itu dan ia sendiri yang memintaku untuk menikah dengan suaminya. Sudah paham kan? Jadi kamu salah melemparkan semua kesalahan padaku. Kenapa dan bagaimananya, bisa kamu tanyakan sendiri padanya. Aku terlalu lelah untuk menjawab semua pertanyaanmu. Jadi sekarang antarkan aku pulang." Dengan memejamkan mata, dan bersandar ke badan kursi, kusudahi ucapanku padanya, dan memaksanya mengantarkanku kembali ke rumah besar tersebut.  "Jadi Kak Alisa tahu?"    Aku diam, mengabaikan pertanyaannya. Tidak berniat pu
Read more
62
"Tidak! Itu tidak mungkin. Pasti Ibu salah dengar kan Yah?" Ibu Rosa muncul dari belakang Ayah dengan wajah menegang. Dia menatapku tajam. Disusul Alisa yang berlari mendekat.    Tamat sudah riwayatku. Orang tua mereka mendengar semuanya dan mempertanyakan kebenaran yang diucapkan Axel. Mungkin ini saatnya bicara jujur.  "Jadi siapa yang mau menjelaskan? Arik?" Pak Bara memulai pertanyaannya pada kami di ruang tamu. Semua kumpul dan duduk atas perintahnya.    Pak Bara menatap kami satu per satu. Aku tepat duduk di depannya, diapit oleh kedua kakak-beradik yang sebelumnya sempat bertengkar hebat.  "Axel?" Melihat Pak Arik hanya diam tertunduk, dia beralih pada Axel. Anak kedua dari keluarga Bara Wijaya ini juga tertunduk ke bawah. Terlihat takut dan kehilangan keberanian yang sempat ditunjukkannya padaku.  
Read more
63
 Sedikit lega mendengar kalimat itu diucapkan oleh Arik di hadapan orang tuanya.  "Apa hebatnya dia dibanding Alisa? Memangnya sekarang dia sudah bisa memberikanmu anak? Walaupun sudah, Ibu tidak tertarik dengan cucu dari rahimnya!" cecar Ibu mertua tidak terima.   Kutatap wanita paruh baya di depanku dengan sorot mata sendu. Hatiku hancur tercabik mendengar penolakan calon nenek dari anak yang kukandung sekarang.  "Jadi Ibu tidak akan mengakui anak dari rahim yang kukandung?" Aku bertanya menantang.   "Cih, tidak akan!" Ibu mertua memalingkan mukanya dariku.  "Baik kalau begitu jangan menyesal kalau--"  Eh, Alisa, kamu kenapa? Alisa, Rik!" Pekik Bu Rosa mengagetkan kami yang ada di ruangan ini dan serempak menoleh ke arahnya. Tampak Alisa tersandar di bahu Ibu mertua
Read more
64
Dering telepon membuyarkan lamunan akan rencana jahat yang sedang kupikirkan. Segera kuambil ponsel yang tersimpan di dalam tas yang kuletakkan di atas nakas. Ponselku tersebut sudah dikembalikan Pak Arik, tepat setelah Alisa mengambil ponsel Pak Arik dariku.    Varel? Kenapa dia menghubungi malam begini? Video call lagi? Mana penampilanku kacau seperti ini. Apa terjadi sesuatu sama Ibu?    Bergegas aku merapikan penampilan. Menghapus jejak air mata yang masih membekas di pipi dan mencari cara untuk menutupi mata yang sembab.   Panggilan video berakhir. Nada dering terakhirnya tidak sempat kuangkat. Belum sempat jemariku memanggil ulang nomor Varel, ponsel yang masih kupegang berdering kembali. Ternyata masih dari Varel. Aku jadi khawatir. Jantungku berdegup tak beraturan.  "Halo, assalamualaikum. Iya Varel ada apa? Ibu baik
Read more
65
  Terdengar suara deru mobil di depan rumah. Ada yang datang. Jam di ponsel menunjukkan pukul 11.02. siapa yang datang pada jam segini?   Pintu kamar segera kukunci. Aku hanya tidak ingin kamarku dimasuki sembarang orang meski itu suamiku sendiri. Entah kenapa aku merasa dia yang datang kemari. Namun apa mungkin dia pergi ke sini dan meninggalkan Alisa?   Badan bergetar mendengar ketukan di pintu kamarku. Aku yang bersandar di dinding pintu tersebut, menjauh perlahan dan berjalan mendekati tempat tidur. Kubiarkan ketukan itu terus berbunyi sampai hilang dengan sendirinya.   Lalu karena pintunya tidak dibuka juga, suara langkah kaki seseorang yang tadi berdiri di depan pintu kamar terdengar menjauh.   Syukurlah. Dia pergi. Aku yang sudah berbaring di tempat tidur, terjaga kembali saat suara anak kunci terdengar b
Read more
66
Benar, kami memang pergi ke Bali. Aku masih tidak percaya. Setelah melewati perjalanan pesawat hampir dua jam, akhirnya kami sampai juga ke Bali, diantarkan ke sebuah villa besar nan mewah. Aku tersenyum melihat pemandangan yang kutemui selama perjalanan menuju ke villa, karena jujur ini untuk pertama kalinya aku pergi ke pulau ini. Indah, seperti yang sering dikatakan orang. Pantas banyak yang mengunjungi tempat dengan banyak pantai ini dan menjadi tujuan utama turis asing saat berkunjung ke negara berkode telepon 62. Kata Pak Arik selama di Bali, kami akan tinggal di villa pribadinya. Tidak masalah, aku setuju saja. Ada kebahagiaan tersendiri saat aku berada di sini. Mungkin suasana baru yang begitu jauh berbeda dengan kota yang kutinggali sebelumnya.  "Luna!" Alisa menyambutku dengan senyum lebar saat melihatku baru saja keluar dari mobil yang telah mengantarkanku ke sini. Sepertinya dia sudah tahu kapan waktu kedatanganku ke villa yang sangat me
Read more
67
 "Sudah, ini agak mendingan," ucapku menepis tangan Pak Arik menghentikan kegiatannya memijit keningku. Sebenarnya masih terasa berdenyut nyeri, tapi tidak separah sebelumnya.    Aku menegakkan badan dan duduk menghadapnya.   "Mas, jelaskan padaku. Sebenarnya ada apa denganku? Kenapa juga kalian bersikap baik seperti ini. Kenapa Kak Alisa juga baik padaku, dan kenapa sekarang tanggal lima, seingatku waktu kejadian di rumah besar itu masih tanggal 30, lalu kenapa sekarang bisa tanggal lima?"   Pak Arik mendekat dan merengkuhku ke dalam pelukannya. Kami minta maaf."  "Kami siapa?" tanyaku menyela dan mengurai Pelukannya.  "Aku, Alisa, dan keluargaku. Maaf sudah membuatmu sampai seperti ini." Pak Arik kembali mengelus rambutku.  "Seperti ini apanya Mas?
Read more
68
"Alhamdulillah. Anak kita cowok Rik!" Alisa memeluk Arik yang berada di sampingnya. Sempat kulihat kening Dokter Mila mengernyit. Mungkin dia heran melihat polah Alisa yang mengakui anak yang kukandung sebagai anaknya. Dia lupa kalau yang sedang diperiksa ini adalah aku, bukan dia. Apalagi di awal dokter mengenal Pak Arik sebagai Suamiku. Lalu kenapa Alisa bisa keceplosan mengatakan hal tersebut. Pasti dia berpikir kalau kami adalah keluarga poligami. Memang kenyataannya begitu. Namun tidak dalam arti yang sebenarnya. Nyatanya aku dinikahi hanya sebagai formalitas saja, agar legal dalam berhubungan badan di mata agama dan negara, dan menghasilkan anak untuk keluarga mereka.   Bagaimana denganku? Tentu saja perasaanku lebih senang daripada Alisa karena aku yang mengandungnya. Meskipun tadi sempat gugup di awal karena ada rasa ketakutan kalau jenis kelaminnya perempuan. Bukan tidak mengharapkan atau tidak suka, hanya saja aku kepikiran dengan nas
Read more
69
"Rik, kita ke jalan Kartika plaza dulu sebentar buat belanja," ucap Alisa yang duduk di sebelah Pak Arik yang sudah siap di depan kemudi.  "Ke sana? Bukankah perlengkapan rumah sudah kamu persiapkan beberapa hari sebelumnya? Kamu bilang sudah belanja bulanan? Kenapa sekarang belanja lagi? Lagipula kenapa harus ke Kartika plaza, dekat villa juga ada."  "Oh itu. Iya, sudah. Yang ini beda lagi. Aku mau membeli pakaian dan semua yang dibutuhkan Luna selama di sini. Pasti Luna nantinya bakal membutuhkan baju yang lebih longgar karena perutnya akan semakin membesar." Alisa memberikan penjelasan dengan menatap ke arah belakang, dimana aku duduk sekarang dengan tersenyum tipis.   Sekejap sikapnya berubah. Pura-pura atau tulus? Mungkin aku harus menjaga jarak dengan tipe orang sepertinya.  "Kamu ngajak Luna?" Pak Arik melirikku dari kaca spionnya.
Read more
70
"Kalau nanti terjadi apa-apa denganku, tolong jaga Arik dan anak kita." Kulihat mata Alisa berkaca-kaca saat mengatakannya. Ia menatap ke depan seperti menerawang.  "Kakak ngomong apaan sih? Jangan bercanda." Aku mendengkus tidak suka. Paling benci ucapan seperti itu karena dulu pernah mendengar seseorang mengucapkan hal tersebut, dan akhirnya orang itu pergi selamanya.  "Bercanda? Andai bisa Lun. Apa sekarang wajahku menunjukkan hal tersebut?" Alisa melirikku dengan tatapan mata sendunya.  "Kak …." Hatiku mencelos seketika. Aku sudah menganggapnya seperti saudara. Ada sesak menyergap saat Kalimat tersebut diucapkannya. Memikirkan separah apa sakitnya, sampai wanita yang duduk di sampingku ini masih bergeming dengan raut wajah yang sama. Serius, tapi tampak sekali kesedihan di matanya.   "Apa menurutmu Tuhan itu adil?"  
Read more
PREV
1
...
5678910
DMCA.com Protection Status