Semua Bab Dibayar Satu Miliar: Bab 71 - Bab 80
93 Bab
71
 Alisa mengangguk. Ia menggenggam tanganku. "Kamu benar, Luna. Terima kasih sudah menganggapku saudara. Aku harus optimis, harus semangat. Aku memang sudah tidak sabar menunggu kedatangannya. Dialah alasanku tetap bertahan. Aku ingin mendengarnya memanggilku mama, sekali saja dalam hidupku. Walaupun dia bukan anak yang kukandung, tapi aku ingin sekali mendengarnya memanggilku begitu. Aku juga ingin mendengarnya memanggilmu, Bunda. Kita nanti bakal sama-sama merawatnya. Aku akan menjalani pengobatan lagi. Apapun hasilnya, sesakit apapun rasanya, paling tidak, aku sudah berusaha. Biar Tuhan yang menentukan nasibku." Alisa merangsek memelukku tiba-tiba. Aku tersenyum getir hanya mampu mengusap lembut punggungnya.   Hubunganku dengan Alisa semakin dekat. Sebenarnya sejak di Bali, Alisa sudah bersikap baik padaku. Ia sangat telaten memastikan aku dan bayi yang kukandung sehat tanpa ada masalah apapun. Seperti ibu yang menjaga anaknya, sangat pr
Baca selengkapnya
72
 "Tentu saja sehat. Apa kau berharap anakku sakit?"  Deg. Aku hanya mampu beristighfar dalam hati kala mendengar tudingan seorang wanita paruh baya, yang menatapku sinis sedari tadi berdiri di samping Alisa. Aku mengenalnya, namanya Bu Maya--ibunya Alisa.     Tidak pernah terbersit pun sebuah pikiran jelek seperti itu. Apalagi disaat kondisiku yang sedang hamil. Aku menggelengkan kepala ke arah Alisa membantah tudingan tersebut.  "Mom? Apaan sih. Luna itu sayang banget sama aku. Dia nggak mungkin begitu." Alisa menggenggam tanganku dengan senyuman manisnya.  Iya, Alisa. Benar. Aku tidak mungkin berpikir seperti itu.  "Mom, duduk dulu. Bi Dewi tolong siapkan satu kamar buat ibu saya. Dia akan tinggal di sini," titah Alisa pada Bi Dewi seraya mendudukkan diri ke atas sofa, lalu melepaskan hijabnya
Baca selengkapnya
73
Mataku mengerjap, terbangun saat terdengar suara ketukan pintu di depan kamar. Kutajamkan pendengaran memastikan sumber suara itu dari pintu kamarku atau bukan. Setelah yakin, dengan setengah kesadaran aku melangkah pelan mendatangi sumber suara tersebut, guna mencari tahu siapa orang yang telah mengetuknya sepelan itu di tengah malam begini.   Pak Arik? Lelaki yang sikapnya mulai menghangat ini berlalu masuk setelah pintu dibuka. Ia menarikku lebih ke dalam dan dengan cepat menutup pintunya.  "Mas, kamu--"   Belum selesai kalimat ku ucapkan, badanku direngkuhnya dan didudukkan di atas pangkuannya.  "Mas …!" decakku terkaget. Dengan cepat ditempelkan telunjuknya ke atas bibirku. Isyarat diam.  "Kenapa ke sini? Bagaimana kalau ibunya Kak Alisa tahu? Kak Alisa bagaimana?" tanyaku sedikit berbisik.
Baca selengkapnya
74
 Kami duduk bersama di ruang makan menikmati sarapan pagi. Nafsu makanku hilang semenjak permintaan Bu Maya atau lebih tepatnya sebuah paksaan yang harus kuturuti, sebagai sikap empati sesama perempuan bila memang mempunyai hati nurani, begitu katanya.  "Hei, kenapa makannya tidak semangat? Menunya nggak suka ya? Kamu baik-baik saja kan? Sakit?" tegur Alisa yang duduk tepat di sebelahku. Alisa peka. Ia tampak khawatir dengan meraba keningku, mengecek suhu tubuh.   "Enak kok," jawabku dengan memaksakan tersenyum dan menepis pelan tangannya. Kupaksakan menyuap sesendok makanan ke dalam mulut.   Alisa dan Pak Arik menatapku dengan tatapan khawatir, kecuali Bu Maya. Dia tetap tenang menikmati makan paginya tanpa terganggu dengan pertanyaan anaknya padaku.   Pak Arik bertanya lewat sorot matanya. Kugelengkan kepala dengan senyum tipis
Baca selengkapnya
75
"Kumohon Bu, aku punya penilaian sendiri tentangnya. Kuharap Ibu besok pulang saja ke Singapura. Keadaanku baik-baik saja. Kalau ada Ibu di sini. Keadaanku akan memburuk karena memikirkan ulah Ibu yang selalu menyudutkan Luna, dan itu juga akan berdampak pada kesehatan jiwa Luna. Aku tidak ingin ia mengalami stres menjelang persalinannya."  "Tega kamu ngusir Ibu. Padahal Ibu mengkhawatirkan keadaanmu." Suara Bu Maya terdengar serak.   "Maaf, Bu. Aku pun butuh ketenangan pasca pengobatan. Apa yang Ibu lakukan barusan berdampak pada kesehatanku. Dokter bilang, selain fisik, kesehatan jiwa juga diperlukan untuk menghentikan pertumbuhan kankerku. Aku tidak boleh banyak berpikir dan stres. Ibu mau penyakitku kambuh lagi?"   "Ibu--"   Refleks aku menutup mulut saat merasakan tepukan di bahu. Pak Arik? Mengagetkanku. &nb
Baca selengkapnya
76
"Sus, jawab! Saya ada dimana?" Aku masih bertanya pada perawat tersebut, tetapi dia tetap diam, hanya sibuk mengecek kondisiku.  Melihatnya mengabaikan pertanyaanku, tanpa pikir panjang kulepas jarum infus yang menempel di tangan.   "Aaargh!" jeritku meringis sakit. Bekas infus itu mengeluarkan sedikit darah.  "Apa yang anda lakukan?! Ini bahaya." Dengan sigap ia ingin memasang kembali jarum infus tersebut, tapi kutepis.  "Katakan ini dimana, dan mana anakku!" Dengan penuh penekanan kutanyakan lagi meski badan terasa lemas.  "Tolong!" Perawat itu berteriak minta tolong karena aku berontak, ia berlari ke arah pintu.   "Tolong bantu saya menenangkan Bu Luna." Aku masih bisa mendengarnya berbicara, tapi tidak tahu dengan siapa.   
Baca selengkapnya
77
 Aku memulai sandiwara dengan menyetujui surat perjanjian yang disodorkan Bu Maya waktu itu, dimana map tersebut masih tergeletak di atas nakas tempat tidur. Sengaja kutanda tangani, walau akhirnya nanti bakal kulanggar. Aku tidak ingin lagi terikat perjanjian memuakkan seperti itu. Tidak mungkin juga Bu Maya menjebloskanku ke dalam penjara dengan isi perjanjian yang tidak masuk akal. Andaipun dipaksakan membawa ke jalur hukum itu sama saja dengan membuka aib keluarga mereka. Beda kasus dengan perjanjianku dengan Alisa, di sana aku yang dengan sukarela menyetujui karena terikat janji timbal balik atas bantuannya, hingga ibuku bisa menjalani operasi. Yang penting aku tidak menggunakan uang yang bakal di transferkan Bu Maya ke rekeningku sesuai dengan isi nominal yang tertera di sana.   Aku meminta waktu diberikan kelonggaran untuk memulihkan kondisi fisikku sebelum berangkat ke luar negeri. Intinya aku mengulur waktu agar tidak dikirim ke s
Baca selengkapnya
78
 Sudah dua minggu berada di apartemen ini. Kondisi kesehatanku jauh lebih baik dari sebelumnya. Aku sudah sehat. Bu Maya bilang dua hari lagi jadwal keberangkatanku ke luar negeri, tepatnya ke Singapura, karena dia ada urusan yang harus diselesaikannya dulu di sini. Semua paspor, dan dokumen lengkapku sudah siap dan berada di tanganku. Kelihatannya Bu Maya mempercayaiku hingga dia tidak curiga kalau aku berencana kabur dari apartemennya. Yang harus kupikirkan sekarang bagaimana caraku kabur dari sana? Apartemen yang berada di lantai tiga puluh ini memiliki keamanan yang ketat selain juga dari dua bodyguard itu.        "Bu, bolehkah saya menemui keluarga saya dulu sebelum berangkat ke Singapura?" pintaku memelas. Aku tidak tahu apakah ini bisa dimanfaatkan untuk kabur atau tidak. Andai tidak, itu adalah kesempatan terakhirku berpamitan dengan mereka.       Bu Maya tampak berpikir. Ia
Baca selengkapnya
79
"Luna, kamu kenapa Nak?" Aku segera menurunkan tanganku yang sempat meremas d*da bagian kanan karena nyeri. Sepertinya Ibu memperhatikanku yang tidak sengaja meremas buah d*da saat menghubungi Varel.  "Oh, nggak apa Bu," jawabku tergagap dan sengaja berpaling membelakanginya, menghindari tatapan curiganya.    Badanku ditarik Ibu hingga menghadapnya. Ia memindaiku dari atas sampai bawah, lalu tatapannya berhenti di bagian tengah.  "Ibu senang melihatmu lebih gemukan dari beberapa bulan yang lalu, tapi ..., kenapa ada yang berbeda? Pay*d*ramu …." Pay*d*ra-ku hendak disentuh Ibu. Namun berhasil kutepis. Apalagi cup bra sebelah kanan bagian dalamnya sudah basah. Lalu Ibu kembali memindai tubuhku dengan tatapan curiga.  "Eh, masa Bu? Syukurlah. Setidaknya nggak kurusan lagi, ntar dibilang sakit," elakku dengan menarik bagian bawah baju a
Baca selengkapnya
80
 Varel. Adikku satu-satunya.  Varel datang dengan langkah cepat berjalan ke arah kami.   "Mbak, ada apa? Kapan pulang? Mbak baik-baik saja kan?" Meski beruntun pertanyaan dilontarkannya ke arahku, tapi lirikan matanya jelas memindai Sella yang berdiri di sampingku.  Aku menganggukkan kepala lalu merangsek memeluknya. Sambil berbisik kutanyakan apakah dia membawa pesananku seperti yang kuminta lewat sambungan telepon. Varel secara tersembunyi diam-diam memberikan sebuah botol kecil ke tanganku. Kuharap Sella tidak melihatnya.  "Ini Sella, Rel. Teman Mbak. Ganti baju dulu gih ke kamar biar kita makan siang bareng. Baru Mbak ngomong hal penting ke kalian." Botol kecil itu segera kumasukkan ke dalam saku celanaku.   Varel menyapa Sella dengan menundukkan sedikit kepalanya kebawah. &nb
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
5678910
DMCA.com Protection Status