All Chapters of Pernikahan Kedua Suamiku: Chapter 11 - Chapter 20
30 Chapters
Tidak Tahu Diri
"Mas, ngapain Dinda ada sama kamu?" Mas Chandra yang sedang duduk di kursi penumpang, sepertinya sedikit tersentak dengan kedatanganku yang secara tiba-tiba. "A-aku mau nganter Din--" "Nganter Dinda ke mana?" tanyaku sambil melotot saat mendengar Mas Chandra gugup. "Ke hotel atau vila?" "Mila! Ngapain kamu ngomong begitu? Suami kena musibah, bukannya dirawat baik-baik, malah diomelin," gerutu Mas Chandra sambil beralih menatap ke luar jendela mobil. "Karma," celetukku tiba-tiba. "Apa?! Memangnya aku sudah lakuin kejahatan apa sama kamu?" Sontak, aku langsung menatap Mas Chandra sambil mengangkat kedua alisku. Apa aku tidak salah dengar atau memang dia yang tidak sadar diri. Ah, tapi menurut perkataan orang-orang juga, mana ada maling mau ngaku. Bisa-bisa di gebukin tuh dan itu sama halnya dengan Mas Chandra. Mana mau dia ngaku, suka nikah lagi dengan Dinda. Bisa-bisa reputasinya hilang. Tapi, memang hal itu akan segera terjadi, tinggal menunggu waktu saja. "Sudah beres, Bu?"
Read more
Menemui Keluarga Dinda
"Apa kabar Bu Aeni dan Pak Joko." Sontak, dua orang pria dan wanita paruh baya yang sedang memunggungi kami langsung menoleh. Mata keduanya nampak terbelalak saat melihat kedatangan kami bertiga. Di kejauhan, kulihat Dinda sedang duduk di atas kursi roda, di bawah terik matahari. Dia yang awalnya terpejam, ikut menoleh saat menyadari kedatangan kami. "Ba-baik, Bu. Ibu Rina bagaimana?" Bu Aeni--ibu Dinda terlihat hendak menyalami ibuku. Tapi, ibu dengan cepat langsung menyilangkan tangannya di dada. "Seperti yang kalian lihat," jawab Ibu simpel. Bu Aeni nampak begitu canggung, sesekali dia terlihat menatap Mas Chandra yang menunduk tepat di sampingku. Baru beberapa saat kemudian, matanya melebar sempurna, mulutnya terbuka lebar ketika melihat perutku yang nampak besar. Ibu sengaja menyuruhku memakai daster yang tidak terlalu longgar. "Non Mila, hamil?" pertanyaan itu akhirnya lolos juga dari mulutnya. Membuat Pak Joko yang berdiri di samping Bu Aeni menatap tidak percaya ke arahk
Read more
Jebakan Kami
"Nanti malam, tolong ambil dompet, perhiasan dan kunci mobil milikku yang ada di laci dekat ranjang," ucapku dengan nada rendah kepada seseorang melalui sambungan telepon. "Baik, Bu," jawabku cepat. Aku mengangguk pelan, satu sudut bibirku terangkat. "Bagus! Kamu dan temanmu tidak usah khawatir akan tertangkap, karena kami sudah mengatur semuanya." Aku terdiam sejenak, mendengarkan derap langkah yang semakin mendekat. "Ingat! Ikuti rute yang aku arahkan." Segera kumatikan sambungan telepon. Lalu, mengarahkan jari ke salah satu aplikasi berjualan online, berpura-pura menggulir layar, memperhatikan satu-persatu barang yang sebenarnya tidak aku butuhkan. Aku berpura-pura tetap diam, saat pintu kamar terbuka, menampilkan seorang yang memang ingin aku hindari. "Sayang, sedang apa?" Mas Chandra mendekat, merebahkan diri di sampingku. Dia nampak sedikit mengintip layar ponselku. "Mau belanja online, Mas," jawabku tanpa mengalihkan sedikitpun pandangan dari layar ponsel. "Tumben, meman
Read more
Mas Chandra Marah?
"Nanti malam, tolong ambil dompet, perhiasan dan kunci mobil milikku yang ada di laci dekat ranjang," ucapku dengan nada rendah kepada seseorang melalui sambungan telepon. "Baik, Bu," jawabku cepat. Aku mengangguk pelan, satu sudut bibirku terangkat. "Bagus! Kamu dan temanmu tidak usah khawatir akan tertangkap, karena kami sudah mengatur semuanya." Aku terdiam sejenak, mendengarkan derap langkah yang semakin mendekat. "Ingat! Ikuti rute yang aku arahkan." Segera kumatikan sambungan telepon. Lalu, mengarahkan jari ke salah satu aplikasi berjualan online, berpura-pura menggulir layar, memperhatikan satu-persatu barang yang sebenarnya tidak aku butuhkan. Aku berpura-pura tetap diam, saat pintu kamar terbuka, menampilkan seorang yang memang ingin aku hindari. "Sayang, sedang apa?" Mas Chandra mendekat, merebahkan diri di sampingku. Dia nampak sedikit mengintip layar ponselku. "Mau belanja online, Mas," jawabku tanpa mengalihkan sedikitpun pandangan dari layar ponsel. "Tumben, meman
Read more
Serangan Menohok Ibu-ibu
[Mas, aku minta uang!] Seperti dugaanku, Dinda pasti akan mengirimkan pesan tersebut pada suamiku. Untung saja, beberapa hari yang lalu, aku sempat menyadap ponsel Mas Chandra. [Uangku sudah habis, Dinda. Apa kamu tidak dengar, jika keluargaku baru saja kemalingan.] balas Mas Chandra beberapa detik kemudian. [Mas, aku gak mau tahu, ya! Pokoknya kamu kirimin aku uang seratus lima puluh juta rupiah.] Sontak, aku kedua alisku langsung terangkat saat membaca pesan yang dikirimkan Dinda. Kentara sekali, jika dia ingin menguras harta keluargaku. [Bukannya hutangmu hanya seratus juta, untuk apa sisanya lagi?] [Mas, aku ini istrimu. Pantas saja aku meminta uang. Lagipula beberapa hari yang lalu aku tidak sempat membeli tas] "Ada apa?" tanya seorang pria berpakaian kemeja putih yang kebetulan duduk tepat di sampingku. "Baca saja, Kak." Bang Willy--kakak laki-lakiku langsung menerima gawai yang aku lemparkan padanya. Keningnya nampak berkerut dengan mulut yang terus bergerak perlahan,
Read more
Bram?
"Mau apa kalian kemari?" tanya Bu Aeni, raut wajahnya nampak masam, kedua tangannya terlipat di dada. Ibu yang berdiri di ambang pagar, langsung melenggang masuk. Diikuti olehku dan Bang Willy dari belakang. "Jangan pura-pura b*d*h! Lagipula, sepertinya kamu tahu, apa maksud kedatanganku kemari." Bu Aeni berdecak, sengaja dia mengalihkan pandangan ke arah lain. Sementara itu, Dinda dan Pak Joko batang hidungnya pun tidak terlihat. "Aku ingin menagih hutangmu, Aeni!" tegas Ibu tanpa mempedulikan tatapan kurang mengenakan Bu Aeni. "Tenang saja! Kami pasti akan membayarnya. Tidak usah khawatir, uang seratus juta tidak ada apa-apanya bagi kami," jawab Bu Aeni dengan begitu entengnya. Sontak saja, aku langsung menyeringai ketika mendengar ucapan Bu Aeni. Begitu pun dengan Bang Willy, dia nampaknya tertunduk sambil memainkan kakinya. Sombong sekali dia. Uang hasil jadi istri siri aja bangga! "Bang, menurutmu rencana kita akan berhasil?" Aku mendekatkan mulut ke samping telinganya.
Read more
Pembalasan
Bukannya menuruti perintah Dinda, para ibu-ibu justru sebaliknya. Mereka semakin menaikan intonasi, seakan-akan teriakan Dinda barusan hanyalah angin lalu. "Sesuai kesepakatan kita Aeni, rumah dan toko sembakomu yang ada di kampung akan kami sita," ucapan Ibu barusan mampu membuat para ibu-ibu terdiam. Serentak, mereka menatap Bu Aeni yang nampak begitu terkejut. Begitupun dengan Dinda yang berdiri tepat di sampingnya. "Apa?! Kamu tidak akan bisa melakukan hal itu padaku, Rina." Bu Aeni terbelalak, pembuluh darah di lehernya nampak berdenyut. "Tentu saja, bisa!" Ibu menengadah satu tangannya pada Bang Willy. Tidak beberapa lama kemudian, Bang Willy mengeluarkan sebuah amplop berwarna coklat dari dalam tasnya. "Kamu lupa dengan perjanjian ini?" tambah Ibu sambil menggerakkan amplop tersebut di depan wajah Bu Aeni. "I-tu sudah tidak sah! Itu sudah lama." Bu Aeni nampak gelagapan. Sementara itu, Dinda yang ada di sampingnya nampak membeku. "Bu, itu apa?" Akhirnya Dinda membuka sua
Read more
Membalas Tanpa Mengotori
"Mila dari mana saja kamu? Kenapa pulang sampai selarut ini?" tanya Ibu, raut wajahnya nampak begitu khawatir. Tangannya mengusap rambutku dengan begitu lembut. "Bram? Ngapain kamu sama dia?" Ibu melotot, ketika menyadari sosok pria bertubuh tegap yang berdiri di belakangku. "Ah, itu. Tadi aku jalan-jalan dan tidak sengaja bertemu Bram." Aku terpaksa berbohong pada Ibu untuk saat ini, baru ketika Bram sudah pergi aku akan mengatakan yang sebenarnya. "Benar, Bu. Tadi kami bertemu di jalan," jawab Bram dengan santainya. "Kalau begitu saya permisi dulu." Tidak beberapa lama kemudian, terdengar suara deru mesin kendaraan. Setelah memastikan Bram benar-benar pergi, aku langsung mengajak Ibu masuk ke rumah. "Bu, tadi Bram menyekapku. Dia ingin menuntut balas, karena Dhea telah menceraikannya." Seketika raut wajah Ibu berubah. Matanya melebar sempurna, satu tangannya menutup mulut yang terbuka. "Kenapa kamu baru mengatakannya sekarang!" pekik Ibu dan tanpa di duga-duga, dia langsung
Read more
Pertengkaran
"Apa yang kamu lakukan di kamar bersama orang asing?" Mas Chandra mendekat, tatapan tajamnya tidak lepas dari Rama yang masih duduk dengan begitu santai. "Bukannya sudah jelas, jika dia seorang dokter. Jadi, tanpa aku bilang pun kamu tahu apa yang dia lakukan di sini." Namun, bukan Mas Chandra namanya bila langsung percaya begitu saja. Terbukti, dia masih saja menatap Rama yang sepertinya tidak peduli dengan hal itu. "Untuk apa kamu tetap di sini? Cepat pergi!" Jari telunjuk Mas Chandra mengarah ke pintu kamar yang terbuka lebar. "Baik, saya akan pergi secepatnya." Rama bangkit, kemudian meraih tas miliknya yang tergeletak di atas meja. "Semoga keadaanmu cepat pulih Mila. Jangan terlalu banyak pikiran dan jaga istrimu dengan baik, jika kamu mencintainya." Tepat di akhir kalimat, Rama balik menatap Mas Chandra, satu sudut bibirnya nampak terangkat. "Apa maksudmu berbicara seperti itu?" Tanpa di duga-duga, Mas Chandra langsung mencengkram kerah baju Rama, manik matanya melebar semp
Read more
Keputusan Terbaik
"Bagaimana rumah dan toko keluarga Dinda di kampung, apa sudah beres?" tanyaku pada Bang Willy yang sedang menyesap kopi sambil menikmati tayangan televisi. "Tenang saja, semuanya sudah beres," balasnya, sebelum akhirnya menyimpan gelas yang sudah kosong di atas meja. Aku mengangguk pelan, lalu meraih ponsel yang ada di saku daster, kembali memantau ke mana Mas Chandra pergi. Sesudah pertengkaran yang terjadi dengan Bang Willy beberapa saat yang lalu. Mas Chandra langsung pergi begitu saja. Dia pikir, aku mungkin tidak tahu, tempat apa saja yang dia datangi. Namun, sayangnya aku mengetahui semuanya, termasuk di mana sekarang dia berada. "Bang, kita harus cepat beraksi. Bawa sertifikat rumah dan surat-surat lainnya yang mungkin akan kita butuhkan. Aku sudah benar-benar sangat muak." Aku segera bangkit dari sofa, berniat mencari Ibu yang ada di dapur bersama Faris. 
Read more
PREV
123
DMCA.com Protection Status