[Mas, aku minta uang!] Seperti dugaanku, Dinda pasti akan mengirimkan pesan tersebut pada suamiku. Untung saja, beberapa hari yang lalu, aku sempat menyadap ponsel Mas Chandra. [Uangku sudah habis, Dinda. Apa kamu tidak dengar, jika keluargaku baru saja kemalingan.] balas Mas Chandra beberapa detik kemudian. [Mas, aku gak mau tahu, ya! Pokoknya kamu kirimin aku uang seratus lima puluh juta rupiah.] Sontak, aku kedua alisku langsung terangkat saat membaca pesan yang dikirimkan Dinda. Kentara sekali, jika dia ingin menguras harta keluargaku. [Bukannya hutangmu hanya seratus juta, untuk apa sisanya lagi?] [Mas, aku ini istrimu. Pantas saja aku meminta uang. Lagipula beberapa hari yang lalu aku tidak sempat membeli tas] "Ada apa?" tanya seorang pria berpakaian kemeja putih yang kebetulan duduk tepat di sampingku. "Baca saja, Kak." Bang Willy--kakak laki-lakiku langsung menerima gawai yang aku lemparkan padanya. Keningnya nampak berkerut dengan mulut yang terus bergerak perlahan,
"Mau apa kalian kemari?" tanya Bu Aeni, raut wajahnya nampak masam, kedua tangannya terlipat di dada. Ibu yang berdiri di ambang pagar, langsung melenggang masuk. Diikuti olehku dan Bang Willy dari belakang. "Jangan pura-pura b*d*h! Lagipula, sepertinya kamu tahu, apa maksud kedatanganku kemari." Bu Aeni berdecak, sengaja dia mengalihkan pandangan ke arah lain. Sementara itu, Dinda dan Pak Joko batang hidungnya pun tidak terlihat. "Aku ingin menagih hutangmu, Aeni!" tegas Ibu tanpa mempedulikan tatapan kurang mengenakan Bu Aeni. "Tenang saja! Kami pasti akan membayarnya. Tidak usah khawatir, uang seratus juta tidak ada apa-apanya bagi kami," jawab Bu Aeni dengan begitu entengnya. Sontak saja, aku langsung menyeringai ketika mendengar ucapan Bu Aeni. Begitu pun dengan Bang Willy, dia nampaknya tertunduk sambil memainkan kakinya. Sombong sekali dia. Uang hasil jadi istri siri aja bangga! "Bang, menurutmu rencana kita akan berhasil?" Aku mendekatkan mulut ke samping telinganya.
Bukannya menuruti perintah Dinda, para ibu-ibu justru sebaliknya. Mereka semakin menaikan intonasi, seakan-akan teriakan Dinda barusan hanyalah angin lalu. "Sesuai kesepakatan kita Aeni, rumah dan toko sembakomu yang ada di kampung akan kami sita," ucapan Ibu barusan mampu membuat para ibu-ibu terdiam. Serentak, mereka menatap Bu Aeni yang nampak begitu terkejut. Begitupun dengan Dinda yang berdiri tepat di sampingnya. "Apa?! Kamu tidak akan bisa melakukan hal itu padaku, Rina." Bu Aeni terbelalak, pembuluh darah di lehernya nampak berdenyut. "Tentu saja, bisa!" Ibu menengadah satu tangannya pada Bang Willy. Tidak beberapa lama kemudian, Bang Willy mengeluarkan sebuah amplop berwarna coklat dari dalam tasnya. "Kamu lupa dengan perjanjian ini?" tambah Ibu sambil menggerakkan amplop tersebut di depan wajah Bu Aeni. "I-tu sudah tidak sah! Itu sudah lama." Bu Aeni nampak gelagapan. Sementara itu, Dinda yang ada di sampingnya nampak membeku. "Bu, itu apa?" Akhirnya Dinda membuka sua
"Mila dari mana saja kamu? Kenapa pulang sampai selarut ini?" tanya Ibu, raut wajahnya nampak begitu khawatir. Tangannya mengusap rambutku dengan begitu lembut. "Bram? Ngapain kamu sama dia?" Ibu melotot, ketika menyadari sosok pria bertubuh tegap yang berdiri di belakangku. "Ah, itu. Tadi aku jalan-jalan dan tidak sengaja bertemu Bram." Aku terpaksa berbohong pada Ibu untuk saat ini, baru ketika Bram sudah pergi aku akan mengatakan yang sebenarnya. "Benar, Bu. Tadi kami bertemu di jalan," jawab Bram dengan santainya. "Kalau begitu saya permisi dulu." Tidak beberapa lama kemudian, terdengar suara deru mesin kendaraan. Setelah memastikan Bram benar-benar pergi, aku langsung mengajak Ibu masuk ke rumah. "Bu, tadi Bram menyekapku. Dia ingin menuntut balas, karena Dhea telah menceraikannya." Seketika raut wajah Ibu berubah. Matanya melebar sempurna, satu tangannya menutup mulut yang terbuka. "Kenapa kamu baru mengatakannya sekarang!" pekik Ibu dan tanpa di duga-duga, dia langsung
"Apa yang kamu lakukan di kamar bersama orang asing?" Mas Chandra mendekat, tatapan tajamnya tidak lepas dari Rama yang masih duduk dengan begitu santai. "Bukannya sudah jelas, jika dia seorang dokter. Jadi, tanpa aku bilang pun kamu tahu apa yang dia lakukan di sini." Namun, bukan Mas Chandra namanya bila langsung percaya begitu saja. Terbukti, dia masih saja menatap Rama yang sepertinya tidak peduli dengan hal itu. "Untuk apa kamu tetap di sini? Cepat pergi!" Jari telunjuk Mas Chandra mengarah ke pintu kamar yang terbuka lebar. "Baik, saya akan pergi secepatnya." Rama bangkit, kemudian meraih tas miliknya yang tergeletak di atas meja. "Semoga keadaanmu cepat pulih Mila. Jangan terlalu banyak pikiran dan jaga istrimu dengan baik, jika kamu mencintainya." Tepat di akhir kalimat, Rama balik menatap Mas Chandra, satu sudut bibirnya nampak terangkat. "Apa maksudmu berbicara seperti itu?" Tanpa di duga-duga, Mas Chandra langsung mencengkram kerah baju Rama, manik matanya melebar semp
"Bagaimana rumah dan toko keluarga Dinda di kampung, apa sudah beres?" tanyaku pada Bang Willy yang sedang menyesap kopi sambil menikmati tayangan televisi."Tenang saja, semuanya sudah beres," balasnya, sebelum akhirnya menyimpan gelas yang sudah kosong di atas meja.Aku mengangguk pelan, lalu meraih ponsel yang ada di saku daster, kembali memantau ke mana Mas Chandra pergi.Sesudah pertengkaran yang terjadi dengan Bang Willy beberapa saat yang lalu. Mas Chandra langsung pergi begitu saja. Dia pikir, aku mungkin tidak tahu, tempat apa saja yang dia datangi.Namun, sayangnya aku mengetahui semuanya, termasuk di mana sekarang dia berada."Bang, kita harus cepat beraksi. Bawa sertifikat rumah dan surat-surat lainnya yang mungkin akan kita butuhkan. Aku sudah benar-benar sangat muak." Aku segera bangkit dari sofa, berniat mencari Ibu yang ada di dapur bersama Faris.
"Aku minta harta benda atas nama Mas Chandra. Karena sebentar lagi, kami mungkin akan melangsungkan acara pernikahan, lalu melahirkan anaknya."Seketika senyum sinis langsung terbit di bibirku. Enteng sekali Dinda berkata seperti itu, dia kira aku ini apaan. "Tidak ada sepeserpun harta atas nama Chandra. Bahkan, rumah ini pun sudah menjadi milik kami."Aku menoleh ke arah Ibu yang sedang berbicara tepat di hadapan Bu Aeni dan Pak Joko. Sementara itu, kerumunan warga semakin bertambah. Awalnya hanya beberapa orang saja, tapi tiba-tiba membeludak sampai sebanyak ini."Tidak bisa! Lagipula Chandra yang bekerja. Jadi, dia pantas mendapatkan haknya," tambah Pak Joko, matanya nampak melotot sempurna, urat lehernya ikut bergetar."Dasar keluarga gila harta," celetukku tepat di hadapan Dinda.Ibu kembali menyerahkan berkas tersebut pada Bang Willy. Bu Aeni dan Pak Joko nampak menatap tajam ke arah keduanya. Mereka sepertinya ingin berontak, tapi sayangnya dua orang warga masih mencengkram ta
"Aku tidak mau pergi dari rumah ini! Lagipula, ini adalah rumah yang suamiku belikan untukku," pekik Dinda sambil berbalik, dia menatapku tajam, tangannya terkepal kuat."Maaf, sebelumnya ada kesalahan. Suamimu tidak membelikannya, tapi mencicilnya." Sontak saja, wajah Dinda dan kedua orangtuanya langsung memerah padam setelah mendengar sindiran Ibu.Dinda segera menghampaskan tangan pria yang mencengkramnya, dia kembali berlari masuk ke halaman rumah dan tanpa di duga-duga, dia langsung mendorong tubuhku hingga perutku jatuh mengenai sisi teras."Ah, tolong." Aku meringis sambil memegang perut yang terasa begitu sakit."Mila!" pekik Ibu yang berada tepat di sampingku.Aku berusaha bangkit, di bantu oleh Bang Chandra dan Beberapa warga lainnya. Seketika aku langsung mematung, mulutku terbuka lebar, saat melihat cairan kental berwarna merah meluncur membasahi betisku.