Semua Bab Kubuang Suami Sampah Pada Tempatnya: Bab 21 - Bab 30
31 Bab
21
BAGIAN 21POV AUTHORJALANG YANG MALANG               “Pak polisi, izinkan saya menelepon satu orang lagi! Saya tidak akan memberikan keterangan sebelum ada yang mendampingi saya,” mohon Zaki sambil bercucuran air mata. Sedang kedua tangannya diborgol ke belakang oleh para polisi yang menangkap sekaligus menggelandangnya ke kantor polisi setengah jam lalu.Zaki sungguh tak menyangka jika dirinya yang baru saja tiba di rumah, tiba-tiba dikejutkan dengan kedatangan empat orang berseragam preman. Empat pria bertubuh tegap itu segera menunjukkan surat perintah menangkapan, lalu memasukan Zaki ke mobil. Rumahnya pun tak ayal jadi sasaran pemeriksaan polisi. Zaki syok berat. Venda yang dia kira lugu, nyatanya senekat ini melapor ke polisi.“Enak saja kamu bilang tidak mau memberikan keterangan! Memangnya, kamu ini siapa? Jelas-jelas bukti dan saksi memberatka
Baca selengkapnya
22
Bagian 22          “Mami, Alrik, maaf tadi aku harus marah-marah,” ucapku tak enak hati kepada si tuan rumah usai menerima telepon dari Mas Zaki.          “Nggak apa-apa, Ven! Mami gemas banget dengarnya. Apa kelakuan suamimu memang seperti itu dari dulu? Ya, ampun!” Mami malah gregetan. Wajahnya tampak menahan geram. Tentu saja. Siapa pun yang mendengarkan rengekan Mas Zaki di telepon tadi, pasti muak dan geram bukan kepalang. Betul-betul pria tak tahu malu.          “Baru ketahuan belangnya, Mi. Dulu nggak gitu,” sahutku lemas.          “Syukurlah, Ven. Itu tandanya Tuhan sayang sama kamu. Mungkin jodoh kalian hanya sebentar. Kamu harus kuat.” Alrik berkata-kata dengan bijak. Pria itu langsung menyambar segelas air putih yang
Baca selengkapnya
23
Bagian 23          [Heh, perempuan kurang ajar! Apa maksud rekaman ini? Kamu mau ngancam?]          Pesan WA masuk dari nomor Mbak Lala ke ponselku. Rekaman tadi ternyata sudah dia dengarkan baik-baik. Haha rasanya ingin aku tertawa sangat lebar hingga seisi dunia tahu betapa bodohnya keluarga suamiku.          [Ngancam? Kenapa aku harus mengancam kalian? Wong itu barang bukti, kok. Kekerasan verbal itu ada pasalnya lho, Mbak.]          Kubalas pesan Mbak Lala. Tak lupa menyematkan sebuah stiker gambar hati warna merah padanya. Supaya dia tahu, betapa besar rasa ‘sayangku’ pada mereka. Saking sayangnya, pengen kuseret mereka sekeluarga ke penjara.          [Lagumu seperti orang benar! Kampungan, norak! Menjijik
Baca selengkapnya
24
BAGIAN 24              “Venda, apa kata mertuamu? Sudah selesai neleponnya?” Mami yang masih menantikan kami di meja makan, bertanya sambil bangkit dari tempat duduk. Raut wajah perempuan paruh baya dengan kulit putih dan dagu lancip tersebut tampak risau sepertinya. Aku tahu, pasti beliau ikut kalut memikirkan masalahku.              “Sudah, Mi. Aku sudah beri tahu kalau anaknya sedang diperiksa oleh polisi. Begitu juga dengan iparku yang nomor satu.” Aku kembali duduk di kursi. Meraih piringku yang masih setengah isinya dan kembali makan dengan lahap. Aku tak boleh menyisakan masakan Mami, pikirku. Beliau sudah lelah menyiapkan semuanya, meskipun saat masak Mami juga pasti tak menduga bahwa aku akan datang ke sini dengan membawa masalah yang segudang.         &n
Baca selengkapnya
25
BAGIAN 25              Mami mendandaniku dengan spesial malam ini. Demi mengajak jalan keluar, beliau rela mengeluarkan pakaian terbaik dari lemari besarnya di kamar. Aku segan bukan main. Setelah dipinjamkan piyama, sekarang Mami memaksaku untuk mengenakan sebuah dress selutut motif abstrak dengan warna cerah. Kombinasi antara merah muda, hijau mint, dan kuning pastel. Seperti warna minyak yang dicurah ke air. Saat melihat merek yang tertempel di belakang kerang, semakin takjub diriku. Ini baju butik karya desainer wanita ternama Indonesia. Ya ampun, beban sekali saat harus mengenakannya.              “Mi, nggak apa-apa?” tanyaku gugup.              “Lho, kenapa emangnya? Pakai aja, Ven. Muat kok, ini. Badan kita kan, beti. Beda tipis.” Mami t
Baca selengkapnya
26
Bagian 26          “Eh, nggak!” Aku pun akhirnya meluncurkan sangkalan kepada Alrik.          “Oh, syukurlah.” Jawaban singkat Alrik bernada beda. Dia juga sepertinya sama grogi denganku bila kutelisik dari warna suaranya. Entahlah. Semoga hanya perasaanku saja. Namun, bila memang kami sama-sama grogi dan apa yang kami grogikan ternyata beralasan, artinya aku harus menyiapkan hati untuk menerima segala konsekuensi yang ada.          “Ah, apa yang harus digrogiin, sih? Emangnya Papi itu makan orang? Makin tua Papi itu makin wise, lho. Orangnya selalu bersahabat pada siapa pun. Tenang aja, Venda. Papi nggak gigit orang. Dia pasti senang kalau tahu ternyata kamu masih tinggal di dekat-dekat sini.” Mami langsung merangkul tubuhku. Beliau menepuk-nepuk lembut lengan kananku. Huhft, semoga apa yan
Baca selengkapnya
27
Bagian 27          “Maaf bikin kalian menunggu.” Mami tiba-tiba masuk ke mobil. Duduk di sebelahku seraya menaruh dua kantung belanjaannya di bawah.          Masih tersisa butir air mata di pipi. Lekas kuusap dengan gerakan cepat supaya Mami tak melihatnya.          “Ini susu untuk Venda, ini susu untuk Alrik,” ucap Mami kemudian. Tangan lentik beliau membagi satu per satu kaleng dingin berisi susu steril putih yang memiliki rasa tawar tersebut. Bukan favoritku. Namun, harus kuhabiskan seperti kata Alrik tadi. Mami pasti akan senang bila aku menghabiskan barang pemberiannya.          “Makasih, Mi,” ucapku lirih. Takut-takut kutoleh ke arah Mami. Khawatir apabila dia melihat mataku yang sembab. Untungnya, Mami tidak ngeh. Dia tak begitu men
Baca selengkapnya
28
Bagian 28          “Lho, mentang-mentang Papi buncit, jadi dikira makan orang, ya?” Papi ikut tertawa geli. Mami yang dirangkulnya pun setali tiga uang. Mereka tiga beranak kompak terpingkal. Sumpah, aku jadi malu sendiri. Mukaku pasti sudah sangat merah.          “Tau, tuh!” Tangan Alrik mengepal dan meninju pelan lenganku. Sangat pelan. Lebih mirip dengan colekan. Astaga, Alrik! Awas kamu, ya.          “Ya, sudah. Ayo duduk. Kita pesan kopi dulu. Nongkrong di sini mumpung masih awal.” Papi dengan sangat ramahnya mengajak kami duduk bersama di bangku-bangku kayu.          Mami duduk di sebelah Papi, sedang aku duduk di sebelah Alrik menghadap mereka. Aku memilih duduk di dekat tembok pembatas balkon. Supaya bisa melempar pandang ke arah j
Baca selengkapnya
29
Bagian 29          Pertemuan dengan Papi tadi malam begitu sangat berkesan bagiku. Sedikit pun tak terbesit di benak bahwa sosok Papi bisa seramah itu. Ya, gara-gara ucapannya Alrik. Dia ternyata mengerjaiku dan usahanya berhasil. Rasa takut sekaligus minder sempat mengetahui. Eh, pas bertemu, semuanya malah 180 derajat berbeda. Papi peduli, baik, dan sama sekali tak memandangku rendah. Tawaran yang dia berikan pun tak main-main. Kuliah di kampus yang dia pimpin, meskipun masuk kelas ekstensi alias kelas malam khusus pekerja. Ya Allah, kurasa seperti ini adalah mimpi di tengah siang bolong. Seakan mustahil, tetapi nyata adanya.          Malamnya, aku tidur bersama Mami di kamar yang sangat luas ini. Kami banyak bercerita sebelum terlelap tidur. Termasuk tentang Alrik yang kata Mami tak juga kunjung punya pacar di usianya yang tak terlalu lama lagi akan masuk ke angka 30. Mami bi
Baca selengkapnya
30
Bagian 30           “Ibu mengenal wanita ini?”          Polisi bernama Reyno yang pagi ini mengenakan kemeja putih yang dilinting lengannya hingga siku itu bertanya padaku. Pria macho berkulit eksotis dengan bentuk rahang yang tegas tersebut kemudian menyodorkan ponselnya. Kuraih ponsel Pak Reyno dengan perasaan was-was.          Kala kupandangi foto yang tertera di layar, dahiku langsung mengernyit. Sosok Alrik yang duduk di sebelah pun ikut melongok demi melihat apa yang tengah terpampang di layar.          “Siapa itu?” tanya Alrik bernada penasaran.          “Bu Regina?” gumamku pelan dengan penuh tanda tanya di kepala.       &nb
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234
DMCA.com Protection Status