Semua Bab Perfect CEO: Bab 91 - Bab 100
110 Bab
91. Fakta Yang Menyakitkan
Berlian menghapus air matanya yang tanpa dikomando jatuh. Berlian menahan isakannya dengan sekuat tenaga. Sudah sekian tahun, tetapi Berlian bagai boneka bodoh yang tidak tahu apa-apa. Berlian bagai orang bodoh yang dibodohi sana sini. Selama ini Berlian selalu menganggap ibunya jahat, tidak berperasaan dan hanya bisa menekannya, tetapi di balik itu, ibunya memiliki alasan yang kuat. Sedangkan dengan ayahnya, Berlian sangat menyayangi ayahnya, Berlian juga mengerahkan banyak waktu dan tenaga untuk mendapatkan informasi mengenai ayahnya, hingga takdir mempertemukan kembali Berlian dan Evan. Tetapi setelah ia bertemu ayahnya, ada fakta lain yang baru ia ketahui. Selama ini Berlian menganggap ayahnya baik, ayahnya yang menyayanginya. tetapi yang terjadi malah kebalikannya. Ayahnya lah yang membuat ibunya memperlakukan Berlian dengan kejam. Ternyata kebaikan seseorang tidak bisa dilihat dari satu sisi, karena masih ada sisi lain yang menyimpan berbagai kejutan. 
Baca selengkapnya
92. Merindukan Bian
Dari pagi sampai siang Bian tidak berhenti mondar-mandir mengurus pekerjaan. Tanpa Berlian, pria itu sangat kuwalahan. Semua pekerjaan dia handle sendiri. Meski sudah beberapa kali Berlian mangkir dari pekerjaan dan Bian mengatasi sendiri, tetap saja di beberapa waktu Bian merasa kuwalahan. Apalagi saat pekerjaan lagi banyak-banyaknya. Kendati demikian pasti Bian bisa menyelesaikannya. Tetapi tetap saja kalau banyak-banyak pekerjaan otaknya bisa ngebul. Di sisi lain, Bintang tidak fokus mengerjakan tugasnya. Tubuh gadis itu tetap berada di depan komputer, tangannya pun berada di keyboard seolah tengah mengerjakan sesuatu, tetapi sejak tadi matanya terus melirik ke luar ruangan seolah mencari sesuatu. Kepalanya pun tidak berhenti menoleh ka kanan ke kiri. Seluruh dinding ruangan PU terbuat dari kaca, jadi tembus pandang sampai ke luar. Aktivitas di luar pun bisa terlihat jelas di dalam ruangan PU. "Bintang, sejak tadi kamu gak fokus, lagi mikirin apa sih?" t
Baca selengkapnya
93. Pengakuan Bintang
"Pak, apa yang Pak Bian lakuin?" pekik Bintang yang mencoba turun. Tetapi tubuhnya ditahan oleh Bian, membuat gadis itu tidak bisa berkutik. Bintang sedikit kikuk karena jarak wajahnya dan wajah Bian sangat dekat. Bahkan Bintang bisa melihat jelas kening Bian yang tidak ada pori-pori sedikit pun di sana. Wajah Bian sangat lah mulus dan bersih. Bahkan Bintang yang cewek saja merasa insecure dengan wajah Bian. Bian sangat tampan, apalagi pria itu juga memiliki alis yang tebal membuat kesan tegas di wajahnya. Tetapi selama ini Bintang tidak menyadarinya. Bintang kembali menatap Bian, kalau dalam mode diam begini damage Bian benar-benar tidak main-main. Tetapi kalau Bian mode pecicilan, Bian terlihat sangat menyebalkan. "Kamu ke sini mau menemuiku?" tanya Bian. "Tidak," sangkal Bintang yang tetap tidak mau jujur. Bian menaikkan sebelah alisnya, Bintang gelagapan di buatnya. "Kalau tidak mau menemuiku, siapa yang akan kamu temui? Bu Ber
Baca selengkapnya
94. Memperbaiki Hubungan
Bian memeluk tubuh Bintang dengan erat, sedangkan Bintang sebisa mungkin melepas pelukan dari sekretaris bosnya. Ia belum terlalu dekat dengan Bian, ada kesan tidak enak bila posisi tubuh mereka sangat dekat. "Ternyata benar kalau orang akan terlihat berharga setelah mereka pergi. Aku pun sama di matamu. Setiap hari aku mengejar kamu, saat hari ini aku tidak terlihat, kamu merindukanku," ujar Bian dengan bangga. Bian tidak bisa menyembunyikan senyumnya karena ocehan Bintang bertubi-tubi. "Tidak seperti itu, saya hanya ... eh saya." "Sudah tidak perlu menyangkal lagi, Bintang. Bagaimana kalau sekarang kita meresmikan hubungan kita?" "Apa yang perlu diresmikan?" "Kamu jangan pura-pura bodoh, Bintang. Aku sudah mengatakan kalau aku mencintaimu, kamu pun juga sudah mengungkapkan perasaanmu. Kalau kita terus mengulur waktu, kapan kita jadiannya?" "Siapa juga yang mengungkapkan perasaan, saya tidak mengungkapkan
Baca selengkapnya
95. Kedatangan Berlian
Berlian merenung di ruang tamu ibunya, gadis itu tampak diam melamun. Di pangkuannya ada bingkisan yang tadi sempat ia beli sebelum ia datang. Risa tidak ada di rumahnya, sedangkan Berlian dengan lancang masuk ke rumah ibunya yang kuncinya pun ia punya. Pikiran Berlian berkecamuk memikirkan kalimat maaf yang akan ia ucapkan pada sang ibu. "Ibu, anakmu sudah salah, maafkan aku," ucap Berlian seorang diri. Berlian buru-buru menggelengkan kepalanya karena ia rasa kalimat itu tidak tepat. "Ibu, selama ini aku tidak tahu kalau ibu- Akhhh ...." "Maafkan aku, aku sudah salam sama ibu. Aku pikir ibu yang sudah jahat sama aku dan menyembunyikan ayah. Aku mengaku salah, aku minta maaf." Berlian terus berbicara seorang diri. Gadis itu bejalar berbicara maaf pada sang ibu. Tetapi Berlian merasa aneh dengan dirinya sendiri, seolah kata maaf memang tidak cocok dengan dirinya. Berlian menghempaskan tubuhnya di sofa, gadis itu menjambak rambutnya
Baca selengkapnya
96. Pendekatan Diri
Risa menyiapkan makanan yang dibawakan Berlian pada dua piring. Selama menyiapkan makanan itu, senyum tidak kunjung redup dari bibir Risa. Tanpa sadar perempuan itu tersenyum. Berlian menatap tidak berkedip ke arah ibunya. Untuk pertama kalinya Berlian melihat senyum ibunya. Senyum yang tulus tanpa raut sinis dan tanpa mencemooh di wajahnya. Dada Berlian terasa sangat nyeri seolah ada yang menghantamnya. Di luar sana, banyak anak yang sedih kehilangan orang tuanya, terlebih seorang ibu. Bahkan teman-teman Berlian mengatakan kalau hidupnya hancur tanpa seorang ibu. Sedangkan Berlian, ibunya masih ada, tetapi ia sudah banyak menyia-nyiakan waktu dengan berperilaku tidak baik pada ibunya. Sekarang Berlian tahu apa yang membuat ibunya bahagia, yaitu dengan kepedulian kecil darinya. Ibunya tidak pernah tersenyum setulus ini saat memenangkan tander, berhasil dalam bisnisnya atau karena hal lain. tetapi ibunya tersenyum hanya karena Berlian memberikannya sedikit makanan. Risa
Baca selengkapnya
97. Pelukan Ibu
"Dokter Bara, ada seratus lima pasien yang mendaftar untuk besok. Angka orang yang mengidap gangguan kejiwaan sangat banyak akhir-akhir ini. Kami sudah menggeser jadwal konsultasi untuk dibagi ke beberapa waktu. Tingkat gangguan ini juga beragam, ada yang sedang, parah dan ada yang membutuhkan perawatan khusus," ucap rekan Dokter Bara. Bara menganggukkan kepalanya. "Atur saja, jam saya sudah habis, saya mau pulang," kata Bara. Rekan dokter Bara itu pun segera undur diri. Bara menatap pergelangan tangannya di mana ada jam tangan hitam yang melingkar di sana. Pikiran Bara kembali berkecamuk. Menjadi Psikiater adalah cita-citanya, dan mengobati orang adalah bagian dari pengabdiannya. Bara menatap Dokter Evan yang masih belum beranjak dari duduknya. Ia baru saja mengatakan pada Dokter Evan kalau ia tidak akan pergi, tapi sesaat kemudian pikirannya berubah. "Aku permisi, Dok," ucap Bara pamit undur diri. Bara segera berlari kembali memasuki rumah sa
Baca selengkapnya
98. Hubungan Baik
"Berlian, sudah, jangan menangis lagi," kata Risa mengendurkan pelukannya pada sang anak. Risa menangkup wajah Berlian, wajah anaknya tampak sayu dengan air mata yang membanjiri wajahnya. Dengan lembut Risa mengusap air mata yang membanjiri wajah anaknya. "Bu, kenapa ibu tidak mengatakan apapun padaku? Selama ini ayah lah yang salah, tetapi aku malah bersikeras mencarinya. Kesulitan apa yang ibu alami selain ini? Aku akan menebusnya." "Berlian, lupakan saja hal yang sudah terjadi. Ibu tidak keberatan." "Tapi aku keberatan, Bu. Selama ini aku yang sudah menganggap ibu jahat, aku menganggap ibu tidak menyayangiku. Tapi kenyataannya ibu lah yang sudah berjuang besar untukku. Sedangkan ayahku? Ayahku tega menjual aset ibu, bahkan ayahku membuat berita bohong tentang ibu. Ibu sudah dicap jelek di luar sana. Aku tidak bisa menerimanya, Ibu." "Sayang, semua sudah berlalu. Kalau pun sekarang ibu bilang ke seluruh dunia kalau berita tentang
Baca selengkapnya
99. Kencan Pertama
Tidak pernah ada di pikiran Berlian kalau ia bisa berdekatan dengan ibunya tanpa rasa canggung di dalam hatinya. Pun dengan Risa. Kini tangan Berlian dan Risa tengah bertautan dengan erat satu sama lain. Kedua perempuan beda usia itu tengah berada di ranjang yang sama dan saling menatap langit-langit kamar Risa. Pencahayaan yang sedikit gelap membuat kedua perempuan itu harus menajamkan penglihatannya. "Ibu, boleh aku tahu apa yang membuat ibu tahan menyembunyikan semuanya?" tanya Berlian. Ibunya cerita hanya sepotong-potong membuat Berlian masih penasaran. Bagaimana ibunya yang terkenal tidak berperasaan ternyata menyembunyikan hal besar. Berlian pun sadar diri kalau ibunya bercerita tanpa ia mengetahui faktanya, ia tidak akan percaya. Malah sebaliknya ia akan membenci ibunya karena ia nilai mengarang cerita. "Kamu dan kakakmu. Ibu tidak ingin kamu tahu kalau kamu memiliki ayah yang tidak bertanggung jawab, bagaimana pun Evan juga ayahmu. Awalnya ibu masih
Baca selengkapnya
100. Pesta
"Yeyy banyak makanan," pekik Azka dengan senang tatkala melihat banyaknya bahan makanan di dapur mewah rumah orang tua Berlian. "Nak Azka mau makan apa? Nanti nenek masakin yang enak," tanya Risa menarik pipi Azka dengan gemas. "Aku mau apapun yang nenek masak," jawab Azka antusias. Berlian dan Bara sudah memperkenalkan Azka pada Risa, pun dengan Risa yang sudah dikenalkan pada keluarga Bara. Ira salah besar menilai kalau Risa adalah perempuan angkuh, ternyara Risa sangat ramah. Awal datang ke rumah besar bak istana milik Risa, Ira merasa sangat canggung, tetapi kini ia tampak biasa saja saat Risa juga baik padanya dan pada Azka. Bahkan Risa menyuruh Azka memanggilnya dengan sebutan nenek. Risa menyukai Azka sejak mereka bertemu. Azka sangat pintar dan menggemaskan. "Ibu, perlu bantuan memasak?" tanya Berlian yang datang menuju dapur bersama Bara. "Memangnya kamu bisa memasak? Yang ada kamu menghancurkan dapur." 
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
67891011
DMCA.com Protection Status