All Chapters of Our Story: Chapter 31 - Chapter 40
63 Chapters
Drama Nyata
"Aira!"  Tubuh Aira terhuyung, kehilangan keseimbangan tepat di depan kelas, Serin spontan membulatkan matanya. Baru hendak menuju lapangan, tanpa diduga, Aira terjatuh pingsan. Beberapa murid di lapangan seketika buyar."Daf, Aira pingsan!" pekik Serin, Daffa yang datang dari arah Utara langsung berlari menghampiri."Kok bisa, sih?" Daffa cemas, namun juga kesal bercampur khawatir. Dia hendak mengangkat tubuh Aira, namun sebuah suara sesaat mengurungkan niatnya."Kita harus bawa dia—""Kenapa Aira?" potong Rehan, yang baru saja sampai depan kelas setelah berlari dengan napas terengah-engah.Serin menatapnya tajam. "Ini gara-gara lo!""Kok gue?" Rehan langsung mendelik ketika baru tiba sudah mendapat tuduhan."Ya karena lo Aira pingsan, Re! Dia belum sarapan seharian, dan lo malah nyuruh dia ke lapangan! Di siang hari yang panasnya minta ampun ini! Lo gila, hah?" teriak Serin, aktingnya memang benar-benar bagus.
Read more
Sang Mama
Malam ini, masih dengan rencana Aira yang ingin berbicara dengan sang mama. Menanyakan perihal tidak atau setujunya sang mama dengan perjodohan itu, dan mengajak untuk bekerja sama dengannya agar meyakinkan sang papa supaya membatalkan perjodohannya dengan Rehan."Lo beneran mau bicara sama mama? Kalo dia—""Gue rasa mama nggak bakal sejahat itu, Kak. Nggak ada salahnya juga kita nyoba, kan?"Di kamar Serin, Aira dengan penuh yakin, sem nyata Serin yang tidak menemukan keyakinan jika rencana itu akan berhasil. Aira yang tetap kekeuh membuat Serin merasa khawatir. Cemas. Jika saja dugaannya yang negatif itu benar akan terjadi."Tapi itu beresiko banget, Ra. Mama udah berubah." Serin dengan rautnya yang tidak setuju menatap Aira, perasaan cemas dan berusaha mencegah masih kentara di wajahnya.Namun, Aira tersenyum, hatinya mengatakan jika sang mama tidaklah seburuk itu. Dia masih sama, pikirnya. "Gue tau, tapi dia nggak bakalan lupa kalo gue an
Read more
Masalah Beruntun
Siang menjelang sore ini, Aira mengajak Daffa ke tempat biasanya, tepi danau. Setelah pulang sekolah, mereka tidak ke rumah, anggap saja karena terlalu malas untuk sekadar berganti baju dan sandal. Udara yang tidak terlalu dingin, menemani mereka yang duduk sembari memakan beberapa camilan.Aira tersenyum tipis, menikmati alam lepas memang menjadi kesenangannya sendiri. Dia tidak bisa jika hanya sekadar memandang, melainkan juga membeli beberapa camilan. Perpaduan healing yang tepat. Makanan, dan ketenangan. Bagi Aira, itu sudah cukup membuatnya merasa damai.Tidak terlalu banyak orang di sana, sebab tidak banyak yang bisa menikmati alam sepenuhnya. Entah karena memang tidak bisa memahami alam itu sendiri, tapi terkadang kesibukan membuat mereka seolah lupa dengan kondisi lingkungan yang ditinggali. Aira ke danau itu, lalu duduk di kursi yang berada di tepi, serta sedikit pembatas yang tidak terlalu tinggi, hanya untuk membuat benaknya istirahat. Dia hanya
Read more
Perihal Janji
Serin menuruni anak tangga menuju dapur. Langkah kakinya berhenti di meja makan dan mendudukkan diri. Sang papa yang sudah mulai menyantap makanannya, tampak sekilas melihat Serin. Serin sendiri tersenyum hangat seperti biasanya untuk menyapa."Pagi, Pa? Mama nggak pulang?" tanya Serin ketika melihat sang mama tidak berada di samping papa.Andi menggeleng. "Mana kamu lembur di kantor, Serin. Dia akhir-akhir ini memang banyak pekerjaan. Ada apa, tumben nanyain mama?" tanyanya heran.Serin menggeleng pelan tanda paham, pantas saja tadi malam dia tunggu bersama Aira tidak kunjung datang. Padahal dia sudah berharap malam tadi bisa menjadi rencana kedua yang berhasil. Nyatanya tidak. Dugaannya belum bisa dipastikan apakah mamanya akan menyetujui."Nggak, kok, Pa. Cuma heran aja, biasanya mama selalu sama papa," balas Serin dengan senyum. Jemarinya mulai mengambil nasi beserta lauk."Gih, sarapan. Papa nggak mau kamu sakit dan tidak masuk sekolah." Andi
Read more
Aira Kabur
Aira melangkahkan kakinya menuju keluar gerbang setelah tadi menelepon Daffa untuk menjemputnya. Malam ini, Aira memutuskan untuk tidak tidur rumah. Dia sudah pamit kepada Serin, berharap gadis itu tidak khawatir—mungkin—bisa merahasiakannya dari sang papa."Please, bawa gue kabur, Daf!" desis Aira saat sudah duduk di kursi samping Daffa. Cowok itu reflek mengerutkan kening. Bingung."Dih, lo kesurupan apa, Ra?" tanya Daffa, menempelkan telapak tangan ke depan dahi Aira guna mengecek suhu tubuhnya.Aira langsung mendengkus mendapat respon  demikian. "Gue serius! Gue mau pergi dari rumah!""Tiba-tiba?" Tertegun, Daffa sempat melebarkan matanya untuk beberapa saat sebelum mulai menyalakan mesin mobilnya."Buruan!" desak Aira, dia padahal sudah diam-diam keluar rumah agar tidak ketahuan sang papa."Lo kenapa, sih? Kalo ada masalah cerita, Ra. Jangan gegabah gini," jawab Daffa, masih berusaha menasehati meskipun dia juga tidak m
Read more
Layaknya Ibu
Aira baru saja menginjakkan kakinya ke lantai rumah Daffa, di ruang tamu, tiba-tiba dari arah dapur sudah terdengar derap langkah kaki. Aida sudah menebak, itu pasti mamanya Daffa. Dan benar, wanita itu menatap antusias terhadapnya. Bahkan, hingga memeluknya erat.Akhirnya mereka memutuskan untuk berbincang, sementara Daffa kembali ke kamarnya. Tidur, katanya. Aira dan mama Daffa berada di ruang tamu, dengan tangan wanita itu yang menggenggam jemarinya dan mengusap pelan setelah mendengar alasan mengaoa dirinya akan menginap di sini."Kenapa kamu nggak cerita ke tante, sih? Tau gini, tante bakal bantu kamu, Aira."Menanggapi kekhawatiran sang mama Daffa, Aira tertawa kecil. "Aira udah banyak ngerepotin, Tante. Aira juga nggak mau tante merasa terbebani karena harus bantu Aira.""Justru kalo kamu nggak cerita, tante bakal semakin khawatir," jawab wanita itu sembari mengusap lembut rambut Aira. Dia benar-benar terlihat menyayangi gadis itu.Aria memb
Read more
Empat Mata
"Ra, mama udah pulang!"Pekikan dari sang kakak tirinya itu spontan membuat gerakan jemari Aira pada bolpoin yang tengah menulis seketika terhenti. Harusnya dia senang, namun dia justru mengernyit. Bangkit dari duduknya, dan ikut menghampiri Serin di ambang pintu."Serius? Kok, gue nggak denger suara mobilnya?" tanya Aira, saat sudah melihat Serin kembali masuk."Dia pake mobil beda, Ra. Udah cepet siap-siap. Gue khawatir kalo dia bakal balik kerja lagi. Mumpung papa belum pulang, Ra!" desak Serin, segera menyuruh Aira untuk menyiapkan diri."Iya, sabar, dong," decak Aira, dia menjadi bingung sendiri karena ini terlalu mendadak. Alhasil setelah merapikan alat tulisnya kembali, dia mengambil sisir rambut di meja rias."Nanti, pokoknya lo harus berani jawab. Maksud gue, kalo lo harus sampein semuanya tentang perjodohan itu. Dan pastiin, lo waspada sama gerak-geriknya," peringat Serin, mondar-mandir sembari bersedakap dada. Gelisah sendiri.Air
Read more
Paksaan Rehan
Harusnya setelah bel pulang berbunyi, Daffa sudah berada di parkiran untuk menunggu Aira. Namun, ketika gadis itu sampai di sana, tidak ada tanda-tanda keberadaannya. Padahal Aira yakin, Daffa masih belum pulang sebab masih terdapat motornya di sana."Lo harus ikut gue."Tiba suara familiar itu terdengar, suara orang yang tidak Aira inginkan kehadirannya. Bahkan, mendengar saja sudah membuat dirinya muak. Namun, harusnya dia bisa melarikan diri, tetapi paksaan yang Rehan lontarkan dan dia menolaknya, cowok itu menghadang jalannya."Dih, ogah," ketus Aira. "Gue maksa.""Dan gue maksa nggak mau." Aira hendak kembali berjalan, namun lagi-lagi Rehan menghadang. Aira mendengkus keras."Lo harus ikut gue beli kado buat mama. Dia bentar lagi bakal jadi ibu lo juga," jelas Daffa memberi tahu tentang maksudnya. Tetapi di wajah Aira tidak ada raut bahagia sedikit pun."Gue nggak akan pernah jadi menantunya. Inget!" desis Aira tajam. Dia b
Read more
Putus Asa
"Gue nyerah, Daf."Pengakuan yang terlontar dari mulut Aira itu spontan membuat Daffa tersentak. Dia menatap wajah gadis itu dari samping, cantik, itu yang dia lihat. Terpaan angin yang membelai wajahnya, membuatnya sesaat terpana. Namun, ucapan gadis itu barusan, membuat Daffa membuang napas panjang."Segitu aja kekuatan lo?" "Gue capek." Aira menunduk, menatap ujung sepatunya yang kotor. Dia merasa dunia tidak mau dirinya bahagia."Lemah banget lo," ejek Daffa, disusul dengan tawa pelan. Dia berkata demikian, padahal dirinya juga tidak sekuat Aira."Lo nggak tau rasanya jadi gue."Daffa tersenyum. "Lo juga nggak tau gimana diri gue.""Semuanya benar-benar di luar rencana." Aira menghela napas, mendongak, menatap langit biru di atas sana. Luas, sangat luas dan dirinya hanya sekecil semua. Tidak ada artinya."Rencana Tuhan jauh lebih baik dari pada rencana manusia." Benar, Daffa mengakuinya, tetapi dia juga terkadang mera
Read more
Hadiah Mengejutkan
"Ke mana? Tumben banget lo mau ngajak gue jalan?" Aira menanggapi ajakan Daffa nanti malam dengan senyum geli. Pikirnya, tumben sekali Daffa mempunyai pikiran untuk mengajaknya—yang entah ke mana."Bukan surprise kalo gue kasih tau lo sekarang." Daffa terkekeh pelan, kali ini udara di atas roof top membuat matanya terpejam merasakan kenyamanan.Aira melebarkan mata antusias. Dia tidak mengira dengan Daffa saat ini. "Widih, lo mau ngasih gue surprise?""Kenapa, lo baper?"Aira terbahak mendengarnya. "Nggaklah, ngapain juga?""Tapi gue bisa pastiin kalo hadiah gue nanti bakal bikin lo baper," jawab Daffa santai dengan senyum miring yang membuat Aira mendengkus geli."Nggak yakin gue. Lo emang pernah pacaran? Nggak, kan. Mana bisa buat gue baper.""Jangan ngeremehin gue kali, Ra. Gini-gini gue juga cowok gentle." Daffa mendecih, Aira saja yang belum tahu bagaimana isi hati dan otaknya akhir-akhir ini tentang siapa.Aira memu
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status