All Chapters of Keris Bunga Bangkai: Chapter 141 - Chapter 150
197 Chapters
141 - Serangan Balik Bayantika
Keempat orang prajurit mata-mata itu langsung melarikan diri di balik semak-semak. Sementara itu, Rangkahasa justru lebih bersikap tenang, mencoba mengamati sekelilingnya. Kalau pun memang ada mata-mata musuh di tempat itu, dia ingin agar mereka keluar untuk menyerangnya, berharap itu bisa memberikan waktu untuk Bayantika dan yang lainnya kabur lebih dulu. Benar saja, beberapa saat kemudian, satu orang prajurit mata-mata melompat dari balik semak-semak hendak menebas Rangkahasa. Anehnya Rangkahasa belum juga bereaksi. Hanya sesaat sebelum tebasan pedang dari orang itu akan mengenai kepalanya, Rangkahasa bergerak mendekatinya lebih cepat dari tebasan pedang orang tersebut. Seketika, pedangnya pun sudah menghujam perut prajurit itu. “Kau?!” gumam prajurit musuh itu lirih, dengan darah sudah mulai membasah penutup mulutnya. Rangkahasa mendorongnya sesaat sebelum menarik kembali pedangnya, dan sejurus kemudian menebas kepalanya. Namun dia mulai sadar masih ada beberapa mata-mata dari C
Read more
142 - Menerima Kenyataan Pahit
Namun tiba-tiba muncul satu orang prajurit lain berbadan besar dari balik semak-semak, mengayunkan satu martil besar ke arahnya. Rangkahasa menangkisnya, namun tubuhnya terlempar cukup jauh ke belakang.  “Yodha, tahan dirimu!” seru prajurit mata-mata sebelumnya.  Mendengar nama itu, Rangkaahsa langsung termangu dan menarik tudung kepalanya.  “Yodha?!” gumam Rangkahasa terdiam, dan nalurinya untuk kembali bertarung serta merta hilang.  Satu prajurit yang tadi dia serang sebelumnya ikut menurunkan kain yang menutupi mulutnya. Sementara itu, satu orang prajurit masih sibuk melayani Bayantika seorang diri. Begitu dia sempat menangkis serangan Bayantika dan membuat pedangnya mental, prajurit mata-mata itu pun bersegera mundur. Dia kemudian melompat dan bertengger di satu dahan pohon. Setel
Read more
143 - Rencana Yang Percuma
Begitu Rangkahasa bertemu dengan kelompok Kalongrolas lainnya, mereka tengah sibuk dengan beberapa dedemit dan roh jahat yang ada di hutan tersebut. Bukannya mereka tak kunjung habis, tapi prajurit khusus itu memang sengaja mencari keberadaan mereka.Sementara Naleinda sedang mendapatkan perawatan dari dua orang teman lainnya. Mereka hanya memberikan perawatan seadanya, berharap kondisinya tak akan begitu terlalu parah menjelang pagi tiba.Rangkahasa hanya diam saja melihat mereka, seakan tak memiliki gairah untuk ikutan menghadapi para dedemit itu.“Apa kau baik-baik saja, Rangkahasa?” tanya Bayantika yang datang menghampirinya dari belakang.Akhirnya Rangkahasa memilih pergi dan menyibukkan diri dengan para dedemit yang dihadapi oleh prajurit tersebut, karena tak ingin menceritakan masalahnya dengan Bayantika.“Hey, lebih bersemangatlah sedikit lagi jika kalian tak ingin Rangkahasa mengambil alih semuanya,” tutur Dharma sedikit mencoba menaikkan keceriaan teman-temannya dalam mengha
Read more
144 - Dongeng Isapan Jempol
Satu-satunya orang yang tak tahu menahu soal rumor itu hanyalah Arifin, karena memang belum lama ini dia tiba di negeri Marajaya dan bergabung dengan para prajurit tersebut. “Panji Keris Bertuah? Apa itu gelar seorang pendekar?” tanya Arifin. “Bukan. Itu nama sekelompok prajurit bayaran. Rumor soal kehebatan mereka sempat tersebar luas di Cakradwipa, bahkan sampai ke Marajaya,” jawab Ekawira. “Beberapa tahun yang lalu, Kerajaan Cakradwipa sempat diserang oleh dua kerajaan. Yang paling parah itu ketika Kerajaan Gamawuruh yang sempat menguasai benteng mereka di bagian selatan,” sahut pendekar yang lainnya. “Sampai seheboh itu? Apa mereka begitu hebat?” tanya Arifin lagi. “Sudah lebih dari sepuluh tahun Kerajaan Cakradwipa tidak terlibat perang, dan tak ada juga kerajaan yang berani menyerangnya. Ketika mereka diserang, berita itu langsung menyebar ke negeri tetangga. Jadi cukup wajar saja jika satu atau dua dongeng akan membumbui cerita dan menyebar ke tempat lain soal peperangan t
Read more
145 - Perubahan Tanisha
Hanya saja, ketiganya sudah tepar duluan dan ketiduran sebelum subuh menjelang. Mereka lebih duluan tidur dari para prajurit khusus Kalongrolas yang sejatinya lebih membutuhkan istirahat dari mereka bertiga. Bayantika nampak tersenyum getir melihat nyenyaknya mereka tertidur di saat prajurit lainnya sibuk menghadapi para dedemit. “Hey, semuanya! Ke sinilah,” seru Ekawira memanggil lirih setengah berbisik. Dia pun mengajak para prajurit itu mendekatkan wajah mereka yang dipenuhi oleh simbahan darah. Mereka mulai membisikan lirihan suara mayat hidup di telinga ke tiga orang yang sedang nyenyak tertidur. Begitu salah seorang dari mereka membuka mata, semua prajurit itu meneriakinya. Satu prajurit itu langsung pingsan. Sementara dua yang lainnya yang terjaga oleh teriakan itu langsung berhamburan melarikan diri ke arah barat. Meski kelelahan, para prajurit Kalongrolas itu masih bisa tertawa lepas melihat dua orang prajurit itu belarian tunggang langgang ke arah Benteng Ujung Kandis.
Read more
146 - Keanehan Sikap Rangkahasa
Seolah Putri Tanisha bersikap seperti gadis biasa dengan segala kenaifannya, seakan terperangkap oleh lelucon Dharma yang bawaannya selalu riang dan ceria.“Bayantika, kau sudah datang?” seru Tarendra beretorika.Bayantika pun kaget tak sengaja membentur tubuh Tarendra. Dia hanya bisa mengusap-usap kepala karena beberapa saat yang lalu perhatiannya masih tertuju pada perubahan Putri Tanisha.“Kenapa? Jangan bilang kau juga merasa aneh dengan perubahan sikap Tanisha,” tutur Tarendra dengan sedikit senyum konyolnya.“Sejak kapan?” tanya Bayantika berbisik lirih.“Tuh, gara-gara kekonyolan Dharma. Awalnya sih dia selalu kikuk dan lebih sering salah tingkah di depan Putri Tanisha. Tapi pada akhirnya, sikapnya yang seperti itu malah memancing sikap kekanak-kanakan dari Tanisha keluar,” jelas Tarendra.“Apa mungkin Kanjeng Putri selalu bersikap dingin karena memang tak punya teman saja di istana?” tanya Bayantika bergumam.“Tetap saja dia masih tak merubah sikapnya padaku,” jawab Tarendra s
Read more
147 - Wajah Yang Tak Asing
Senopati Reswara pun mengarak kudanya, berlarian di depan barisan prajurit Cakradwipa. Dia bergerak dari ujung ke ujung memastikan kesiapan dari para prajurit tersebut. Kuda itu terus berlari dengan Reswara mengulurkan pedangnya, terus membentur tameng-tameng dari para prajurit di barisan terdepan. Setelah cukup yakin dengan kesiapan para prajurit itu, dia kembali mengarak kuda ke tengah dan kemudian mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. “Kalian dengar! Anak dan istri kalian, ibu-ibu kalian, tak satu pun yang akan tenang sebelum kalian bisa mengusir para cunguk dari Marajaya itu kembali ke tempat asal mereka.” “Pilihan kita hanya dua, mengusir mereka, atau membantai mereka sampai habis dan menguburkannya di tanah ini!” Para prajurit itu pun bersorak membahana, tersulut amarah setelah mendengar sedikit pidato dari Senopati Reswara tersebut. Meski sorakan itu berhenti, Reswara belum juga menurunkan pedangnya, masih mengangkatnya tinggi-tinggi. Tempat itu begitu hening, dan Reswara mu
Read more
148 - Menantang Sang Panglima Perang
Sesaat dia menenangkan dirinya sembari mendekatkan pedang hitam itu ke wajahnya dengan mata tertutup. Sejurus kemudian, dia sudah mulai saja mengayunkan pedangnya menebas udara kosong, seperti sedang memulai tariannya.   Begitu prajurit berkuda bernama Bejo itu menebaskan pedangnya, dengan ringannya pedang Rangkahasa menyambutnya. Namun pedangnya tidak sedikit pun menahan tebasan tersebut. Pedangnya hanya terus saja bergerak selaras, memanfaatkan momentum dari tebasan pedang lawannya, terus mengayun ke arah bawah.   Sejurus kemudian, satu kaki bagian belakang dari kuda tersebut terpotong. Kuda itu tersungkur dan prajurit bernama Bejo itu pun terjatuh. Sementara Rangkahasa masih belum menghentikan tariannya. Pedang itu terus berayun seolah sudah memiliki jalannya sendiri, dan potongan tubuh dari para prajurit pun berterbangan.   Yodha yang memperhatikan perbedaan dari kemampuan Rangkahasa saat ini tak bisa menyembunyikan
Read more
149 - Jawaban Abimana Onnishka
Tingkah Rangkahasa menghunuskan pedang ke arah Abimana memancing perhatian dari semua prajurit di sekitarnya. Mereka merasa itu sebagai sebuah penghinaan. Bisa-bisa dia langsung menantang Panglima mereka, sementara mereka para prajurit masih ada di dekatnya. “Jangan sombong kau!” “Kau 50 tahun terlalu cepat untuk menantang seorang Abimana!” Dua orang prajurit Cakradwipa itu datang menyerang Rangkahasa dari kedua sisi dengan menyeret pedang mereka penuh emosi. Namun Rangkahasa masih belum mengalihkan perhatiannya dari Abimana. Hanya ketika kedua prajurit itu masuk dalam jangkauan pedangnya, baru Rangkahasa mengayunkan pedangnya. Dengan satu putaran, dia menyabet perut dari kedua prajurit itu. Namanya perang, tentu tak ada waktu baginya untuk abai hanya karena berhasil menebas dua orang prajurit. Kenyataannya, bukan hanya dua orang prajurit itu saja yang tersulut amarah oleh sikap Rangkahasa menantang Abimana. Meskipun begitu, masih belum ada juga satupun pedang musuh yang berhasil
Read more
150 - Abimana Terpojok
Meski tak dalam, luka itu berhasil menyadarkan Rangkahasa bahwa dia tak bisa terus-terusan bertarung dikendalikan oleh amarah. Dia kembali mencoba untuk menenangkan diri, mencoba kembali menemukan jalan pedangnya. Perubahan itu dirasakan oleh Abimana, membuatnya mulai sedikit serius untuk menghadapinya. Dia kembali menepis serangan pedang Rangkahasa. Namun sekarang tebasan pedangnya menjadi lebih sulit untuk ditepis. Meski Abimana mencoba untuk memukul balik pedang itu untuk menghentikan kombinasi serangannya, pedang Rangkahasa selalu menemukan kembali jalannya untuk terus melancarkan serangan yang seperti tak ada hentinya. Ketika momentum serangannya semakin meningkat, Abimana mulai merasakan kesulitan untuk terus mengimbanginya dengan tetap terus menjaga kudanya. Hingga sejurus kemudian, dia berada dalam posisi dilema untuk melindungi dirinya sendiri atau kudanya. Ketika ujung pedang Rangkahasa nyaris menyentuh dagunya
Read more
PREV
1
...
1314151617
...
20
DMCA.com Protection Status