Semua Bab Keris Bunga Bangkai: Bab 161 - Bab 170
197 Bab
161 - Kemarahan Ki Bayanaka
Hingga tak ada lagi darah hitam yang keluar, dan hanya ada darah merah yang normal mengalir dari tusukan jarum tersebut, barulah Ki Bayanaka menyudahinya. Keningnya pun mulai berkeringat setelah cukup lama menggunakan tenaga dalam.  “Sekarang kita akan masuk pada bagian yang paling sulit. Membiarkannya kehilangan darah sebanyak ini bukanlah perkara yang sepele,” tutur Ki Bayanaka sembari menyeka keringat di keningnya.  Ki Bayanaka meminta Bayantika untuk kembali membaringkan tubuh Rangkahasa. Setelah itu, dia meletakkan kedua kerambit itu di kening dan di atas dada Rangkahasa. Sejurus kemudian, dia menempatkan kedua telapak tangannya di atas kedua kerambit itu dan mulai mengerahkan tenaga dalam penyembuhannya.  “Anak muda, ke sinilah sebentar!” seru Ki Bayanaka pada Arifin. “Duduklah di depan sana dan taruh kedua telapak tanganmu di atas tanganku ini.&r
Baca selengkapnya
162 - Berserah Pada Takdir
Tarendra tahu kalau gurunya itu sudah berkali-kali mengingatkannya soal itu. Namun, dia tak menyangka gurunya akan menjadi semarah itu karenanya. Tanpa pikir panjang, Tarendra pun langsung berlutut di hadapan gurunya untuk memohon ampun. “Guru, tolong jangan salah paham dulu. Ini benar-benar sebuah kecelakaan. Aku tidak pernah menyalahi pantangan guru untuk mendekati keris terkutuk itu. Para prajurit ini menjadi tumbal oleh ambisi orang lain yang menggunakan keris itu,” jelas Tarendra. Mendengar pengakuannya itu, Ki Bayanaka pun memejamkan matanya, menarik nafas dalam-dalam dan aura yang mencekam itu pun berangsur reda. “Benar kau tak sengaja mencari cara untuk mendekati keris terkutuk itu?” tanya Ki Bayanaka memastikan dengan nada penuh intimidasi pada Tarendra. “Ampun, Guru. Mana mungkin aku akan berani melanggar pantangan guru,” jawab Tarendra. “Sekarang kau paham, kenapa aku tak henti-hentinya mengingatkan kalian untuk tidak mendekati senjata itu, kan?” sahut Ki Bayanaka beret
Baca selengkapnya
163 - Kabar Buruk
Begitu dia keluar dari tenda itu, Ki Bayanaka langsung saja berjalan ke arah benteng. Sesaat kemudian, dengan mudahnya dia melompati pagar benteng setinggi 7 tombak. Dari sana dia melangkah ke koridor lantai dua yang jaraknya sendiri cukup jauh dari pagar benteng tersebut. Dia menyusup begitu mudah, dan seperti biasanya selalu menyembunyikan hawa keberadaannya. Tak seorang pun prajurit penjaga pagi itu yang menyadari. Tahu-tahu dia sudah berpas-pasan dengan seorang prajurit di ujung koridor itu, dan dengan entengnya Ki Bayanaka menyapanya.  “Wajahmu terlihat begitu letih. Apa kau berjaga sedari malam?” tanya Ki Bayanaka sambil lewat.  “Iyaa,” jawab prajurit itu sambil lalu, sembari menguap dengan meregangkan satu lengannya ke atas.  Sesaat kemudian, baru prajurit itu merasa keheranan siapa yang baru saja menyapanya. Ketika dia berbalik ke
Baca selengkapnya
163 - Situasi Genting Marajaya
Padahal belum berapa lama dia berada di Benteng Ujung Kandis itu sejak meninggalkan kekeratonan Marajaya. “Bagaimana bisa?” gumam Danadyaksa nampak begitu sulit untuk mempercayai berita tersebut. “Padahal, yang memimpin benteng itu adalah Panglima Adji Antharwa sendiri, Panglima paling senior di kerajaan kita.” Tarendra pun sama bingungnya dengan perkembangan situasi tersebut. “Mengingat wataknya, cukup sulit bagiku untuk membayangkan Panglima Adji Antharwa semudah itu menarik mundur pasukannya,” tutur Tarendra menyangsikan. “Anu, soal itu. Panglima Adji Antharwa sendiri beserta prajuritnya masih tak jelas kabarnya sampai saat ini. Kemungkinannya, beliau sudah tewas atau setidaknya ditawan oleh musuh. “Lalu, bagaimana kalian sampai mendapatkan kabar ini?” tanya Danadyaksa. “Kami hanya mendapatkan laporan dari prajurit pengawas bahwa di benteng itu saat ini sudah berkibar bendera Kerajaan Telunggung. Tak satupun dari prajurit kita yang kembali untuk memberikan kabar ini,” lanjut
Baca selengkapnya
165 - Perpisahan
Sementara itu, Arifin sudah tertidur begitu dia sudah leluasa mendapatkan tempat untuk berbaring sejak ditinggal oleh para prajurit tersebut.  “Bagaimana keadaannya, Ki?” tanya Bayantika soal kondisi Rangkahasa.  “Dia sudah melewati masa kritisnya. Tapi tak ada juga kepastian kapan dia akan sadar,” jelas Ki Bayanaka. “Kenapa? Tampangmu terlihat begitu gusar kulihat,” lanjutnya.  “Sepertinya kami harus segera pergi dari tempat ini. Tapi...”  “Kenapa? Kau takut tak bisa bertahan tanpa dua orang ini?” tanya Ki Bayanaka beretorika, seakan sudah mengerti apa yang dikahwatirkannya. “Kau tak bisa terus-terusan bergantung pada orang lain,” lanjutnya memberi nasehat.  “Tapi, Ki. Tak seorangpun dari kami yang mampu menggunakan energi jiwa seperti ya
Baca selengkapnya
166 - Perjumpaan Yang Sesaat
Pada sore harinya, seperti yang dikhawatirkan oleh Bayantika, dua orang prajurit pengintai dari Kerajaan Cakradwipa mendekati Benteng Ujung Kandis. Mereka adalah Yudhi dan Bashran yang terkenal memiliki kemampuan pengamatan jarak jauh yang lebih baik dari yang lainnya. Bashran yang cukup yakin bahwa benteng itu benar-benar sudah ditinggalkan, memilih untuk menghampirinya lebih dekat. Ki Bayanaka yang sudah merasakan kehadiran kedua orang itu, langsung saja keluar dari tenda, dan membuat kedua orang itu sedikit kaget sekaligus bingung.  “Ki Bayanaka?” gumam Bashran termangu.  Setelah itu dia mengajak Yudhi untuk bersegera menghampiri orang tua tersebut. Meskipun begitu, mereka tetap was-was dan berhati-hati sembari melirik ke sekeliling.  “Kalian tak perlu risau. Mereka sudah pergi dan meninggalkan benteng ini,” jelas
Baca selengkapnya
167 - Keheningan Di Benteng Kalaweji
Dua hari berikutnya, Bayantika dan semua prajurit khususnya sudah sampai di Desa Luwung Ijo. Masalahnya, mereka sudah datang lebih dulu di desa tersebut, sementara Tarendra sama sekali belum menggerakkan pasukannya dari pusat Kerajaan Marajaya. Mereka menetap sedikit agak jauh dari desa tersebut dan mendirikan sebuah gubuk sederhana di sana. Sementara itu, Bayantika dan Ekawira pergi berkunjung ke desa untuk memeriksa keadaan. Sama sekali tak ada apa-apa. Kondisi desa itu terlihat biasa-biasa saja, dan penduduk desa pun masih terlihat tenang menjalani aktivitas mereka. Padahal, Benteng perbatasan Kalaweji yang dikabarkan sudah dikuasai oleh Kerajaan Telunggung itu berada sekitar setengah hari perjalanan dari desa tersebut.  “Kalau benar Telunggung sudah menguasai Benteng Kalaweji, tidakkah seharusnya kita memberitahu warga di desa ini untuk mengungsi dulu, Senopati?” tanya Ekawira mengusulkan.
Baca selengkapnya
168 - Kemunculan Pemburu Misterius
Ketika hari sudah gelap, Bayantika belum juga berkumpul dengan para pasukan khusus yang dipimpinnya. Dia terpaksa membantai para dedemit yang sudah bermunculan, satu persatu datang menghadangnya di sepanjang perjalanan.Saat dia sampai, satu gubuk darurat sudah selesai dibangun oleh pasukannya. Hanya gubuk tanpa dinding, sekadar atap dan lantai dengan daun-daun yang ditumpuk.Ekawira pun langsung menghampirinya begitu Bayantika masuk ke pekarangan gubuk tersebut.“Bagaimana, Senopati?” tanyanya.“Masih tak jelas. Bentengnya seperti ditelantarkan. Tapi aku memang melihat ada bendera Kerajaan Telunggung di sana,” jelas Bayantika. “Bagaimana dengan pasukan dari kekeratonan? Apa mereka sudah datang?” ganti Bayantika bertanya.“Setidaknya sebelum aku kembali ke sini, belum ada satu pun pasukan yang datang,” jawab Ekawira.“Cukup wajar. Baru juga dua hari setelah Panglima Tarendra meninggalkan Benteng Ujung Kandis. Kalau tak ada masalah di kekeratonan, paling cepat mereka baru akan sampai b
Baca selengkapnya
169 - Jejak Yang Mencolok
Beberapa saat kemudian, Arifin bergerak begitu hati-hati dan mulai memeriksa tempat di sekitar gubuk tersebut. Setelah menunggu cukup lama dan merasa yakin kedua orang misterius tersebut benar-benar pergi, Bayantika dan Arifin dengan hati-hati membangunkan prajurit Kalongrolas lainnya.Mereka masih bergerak mengendap-endap, nampak begitu waspada untuk tidak memancing perhatian. Tak ada yang tahu, bisa saja masih ada pengintai di dekat mereka.Bayantika menepuk pelan pipi Ekawira, dan langsung memberikan kode untuk tidak bersuara.“Ada apa?” tanya Ekawira lirih.“Diamlah. Biar aku bangunkan yang lainnya dulu,” balas Bayantika.Ekawira hanya bisa mengkerutkan keningnya, melihat kedua orang itu mengendap begitu hati-hati membangunkan yang lainnya satu persatu.Setelah itu, Bayantika mengajak mereka semua untuk meninggalkan tempat tersebut setelah memungut semua barang bawaan mereka masing-masing. Dia membawa mereka menjauh dari arah ke mana dua orang misterius tadi bergerak, maupun dari
Baca selengkapnya
170 - Kembalinya Sang Veteran
Setelah tersentak dari renungannya, Arifin kembali memanjat pohon di mana sebelumnya dia bertengger. Belum jauh dia memanjat, Rangkahasa sudah memanggilnya karena rasa penasaran. Karena sekadar mencari tempat beristirahat yang aman, dia tak perlu juga memanjat setinggi itu.“Apa sebenarnya yang kau lakukan?” tanya Rangkahasa.“Aku sedang menantikan kedatangan pasukan dari pusat kekeratonan,” jawab Arifin.“Sudah, turunlah! Aku sudah melihat pergerakan pasukan yang lumayan besar dari utara sebelum aku sampai di kawasan ini. Mungkin nanti sore atau malam mereka akan tiba,” jelas Rangkahasa.“Benarkah?” tanya Arifin sesaat sebelum dia melompat turun. “Ya sudah, kita kembali saja berkumpul dengan yang lain,” lanjutnya setelah dia sampai di bawah pohon.Begitu kedua orang itu hampir sampai di tempat persembunyian yang baru, dua orang dari prajurit khusus kalorolas sudah lebih dulu melihat kedatangan mereka. Dua orang itu memang sedang mengawasi tempat sekitar dengan bertengger di pohon. Ke
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
151617181920
DMCA.com Protection Status