All Chapters of Terjerat Gairah Arjuna: Chapter 51 - Chapter 60
102 Chapters
51. Hide and cry
Sepiring nasi tak lagi mengepulkan uap panasnya. Japchae berwijen beserta lauk lainnya masih nampak utuh di sana. Berbeda dengan piring-piring lain yang sering diadu dengan sendok dan garpu. Bukannya segera menyantap makan malam, bibir Arin malah cemberut. Berbentuk kerucut dan mungkin bisa dikuncir dengan karet gelang yang biasa disimpan sang ibu. Pandangan sang belia pun menetap pada ponsel di sebelah kanan gelas. Tangannya memang memegang alat makan dan mengaduk nasi hinnga tak jarang bulir itu terbang meninggalkan piringnya. Namun, pikiran Arin jelas sedang melanglang buana. "Nunggu apa sih? Dari tadi ponsel terus," celetuk wanita di seberang tempat duduk Arin. Nadanya agak sinis, heran karena gelagat putrinya tak seperti biasa. "Pacar kamu?" Ayah Arin pun tak kalah ingin tahu. Sendok diletakkan, pria itu menaruh perhatiaan penuh pada anak sulungnya. "Kenapa? Berantem? Dia bikin kamu kesal? Bilang sama ayah, biar ayah tanganin," ucapnya. Seketika tawa kecil keluar dari bilah l
Read more
52. Sandaran terbaik untuk menangis
Sama-sama menjadi kota yang populer, pagi di kampung halaman tentu berbeda dengan tempat pengadu nasib si pemuda. Awal hari di indekos selalu disambut suara mesin-mesin beroda, berpolusi, bergerak memenuhi bulevar kota. Sementara pagi di kios usang, suara yang menyapa rungu manusia adalah kicauan burung serta gerombolannya yang menuju langit utara. Menghirup bau khas tanah basah, lelaki dengan tatanan badan berantakan itu mendongakkan kepala. Setelah semalaman ditenggelamkan di atas lututnya, wajah Juna agak bengkak juga karena tangisnya. Ia menyugar surai sembari mengumpulkan nyawa. Mengais memori kenapa paginya bukan di balik selimut nyaman. Sekuat tenaga berusaha bangkit, Juna melangkahkan kakinya untuk keluar dari tempat hangus itu. Mendekati Redeu, satu helm dikenakan, dan Juna menaiki partner terbaiknya selama sekian tahun belakangan. Menyusuri jalan raya, tentu ada tujuan pada akhirnya. Namun, semuda-mudanya Juna, semahir-mahirnya ia mengoperasikan motornya, ketika pikiran
Read more
53. Adaptation
Malam yang menghamba akhirnya datang. Para penghuni angkasa masih tetap pada tempat dan tugasnya. Sementara hewan nokturnal senantiasa menyanyikan melodi kesukaannya. Selain mereka, ada pula yang bising hingga membuat satu insan yang masih bergulat dengan demam itu tak jadi terlelap nyaman. Detak jam dan tawa dari kamar sebelah. Juna menatap waktu, lewat pukul satu. Tangannya menyentuh dahinya sendiri. Tiada lagi panas macam sengatan cahaya matahari. Ia menghela napas, membenarkan selimut dan hendak kembali tidur. Namun, suara kakaknya benar-benar mengganggu. Arkian, pria itu mencari-cari keberadaan ponselnya yang entah ia letakkan di mana. Ternyata ada di bawah bantal yang tak ia gunakan. Juna menggulir layar persegi itu hingga sampai di aplikasi berkirim pesan. Ada puluhan, bahkan ratusan chat masuk. Yang memiliki isi paling banyak sudah tentu grup obrolan dengan kawan-kawan. Berakhirlah ia di sana sekarang. Membaca secepat kilat, Juna cukup mengerti saja poin apa yang teman-tem
Read more
54. Perebutan afeksi
"Juna? Sudah bangun?"CklekLalu lelaki jangkung di dalam kamar cepat-cepat menurunkan kaus yang sudah lolos dari kepala. Sepertinya karena efek obat, pagi ini Juna terbangun dengan badan berkeringat hebat. Ia belum mandi, hanya berganti pakaian ketika sang ibu membuka pintu. "Ayo sarapan," ajak wanita yang masih berdiri di ambang portal. Dia sudah mengenakan setelan serba putih dengan surai legam yang masih terurai. Sementara Juna gelagapan sendiri. Pasalnya setelah menghadapi realita, ada rasa canggung ketika berhadapan dengan orang tuanya. Sebuah perasaan yang alamiah muncul di dalam benak. Ia agak kesulitan mengendalikan. "Ah, iya," jawab Juna.Ia kira langsung ditinggal, tapi ibunya malah melangkah mendekat. Juna segera menarik baju kotornya di lantai agar tidak duluan diambil ibu. Tak tahunya wanita itu malah mengulurkan tangan ke dahi si adam. "Udah dingin, syukurlah," kata ibu sambil mengulas senyum di wajah berkerut tipis itu. "Ayo!"Sebab digiring oleh lengan di pinggang
Read more
55. The scariest thing: humans
"Bu? Ibu?! Awan, Ibu di mana?!" Persis seperti bangau yang hendak pulang ke peraduan, namun terpisah dari gerombolan. Pria yang tengah melangkah dari garasi ke teras rumah itu teriak-teriak mencari pasangan hidupnya. Tentu bukan tanpa alasan, ada yang darurat hingga butuh pertolongan sang perawat. Tidak main-main, putra bungsunya kembali tepar. Ayah harus memapah si pemuda untuk sampai ke dalam rumah mereka. "Ibu belum pulang. Kenapa, Yah?" tanya Awan dari dalam. Sekian detik kemudian ia muncul di pintu depan dan langsung melihat diorama tak mengenakkan. "Cepat bantu bawa Juna masuk," titah sang ayah yang nampak mulai kualahan. Tenaga orang tua tentu tak sekuat zaman mudanya. Kadang untuk membawa beban tubuh sendiri saja merasa tak kuat. Apalagi harus memapah si jangkung Juna. Awan pun menurut. Diraihnya lengan kanan sang adik dan ia kalungkan di pundaknya. Awan dan ayah sama-sama membantu Arjuna yang terus memejam. Lelaki di tengah itu amat lemas. Kepala beserta setengah b
Read more
56. Sebotol pedar
Pagi ini hujan. Matahari belum sempat datang, tapi air sudah bertebaran. Januari memang demikian. Katanya akronim dari 'hujan sehari-hari'. Ya, tak heran. Udara membawa petrichor menyisip dari luar ke dalam ruangan melalui celah kusen jendela. Tirainya yang tak menutup sempurna menjadi jalan masuknya sinar dari dirgantara. Meski tak menyengat, tetapi kanvas dominan putih itu tetap bercahaya terang. Menyilaukan dua manik yang baru terbuka di atas ranjangnya. Juna mengerjap perlahan untuk menyesuaikan pandangan. Kedua tangannya keluar dari selimut untuk diregangkan. Pemuda itu menatap sekitar, terutama pada jam. Lewat pukul tujuh, tapi tak ada yang mengetuk pintu. Setengah badan dibangkitkan, Juna duduk di tepi ranjang. Ia harus tahu dulu bagaimana kondisi tubuhnya. Sudah cukup ringan. Ia mengacak surai gelapnya. Haus, tapi yang ada hanya cangkir kosong di nakas. Si adam harus keluar guna memenuhi keinginan. Pemandangan indah sedang terlukis di ruang makan. Meski sederhana, rumah o
Read more
57. The truth untold
Juna duduk di tepi ranjang. Kedua siku bertumpu pada lutut yang menapak keramik kamar. Seluruh jari tangannya bertautan. Isi kepala ribut bukan kepalang. Topik utama adalah sifat Awan. Tetesan air jatuh di atas jemari Juna. Teringat bahwa rambutnya masih basah, lelaki itu lantas mengusapnya dengan sepotong handuk yang sedari tadi ada di bahu. Benar, dia habis mandi plus keramas. Sangat ampuh untuk meringankan tubuh usai diserang penyakit.'Ah, ganggu banget anjir," batin Juna setelah berdecak kesal. Muak dengan kelakuan sosok manusia yang terus mengusik ruang kepalanya. CklekPintu dibuka dari luar. Presensi ibu Juna ada di sana. Berbalut gaun malam warna cokelat dengan kardigan panjang. Putra termudanya bahkan tak tahu jika wanita itu sudah pulang dari kerjaan. "Juna, waktunya makan," ucap ibu. Tanpa mendekat, ia tetap di ambang pintu sambil mengatakan hal tersebut. Sekejap kemudian, ibu pergi setelah Juna mengangguk sebagai balasan. Handuk dilempar ke kasur, Juna akan turun. Mel
Read more
58. Alasan menghilang
Kemeja hitam di atas jins biru terang. Lelaki terlampau jangkung itu turun dari motornya usai melepas sebuah helm di kepala. Tidak sendirian, sejak awal kendaraannya memang ditumpangi dua orang. Pasangannya yang lebih dulu turun kini melangkah menuju sebuah gerbang. Belia bernama Lila lantas menunggu si adam untuk masuk ke pekarangan rumah bata bercat merah. Bukannya cepat mengekor Lila, Sena malah menekan bel yang ada di pilar sebelah gerbang. "Aku udah bilang Arin, Sena. Buruan ah," ucap gadis itu. Maksud perkataannya adalah mereka diperbolehkan langsung masuk rumah oleh pemiliknya. Sebab Lila sudah menghubungi tuan rumah via telepon sebelumnya. "Oh ya?" gumam Sena dengan singkat dan pelan. Ia pun segera menggerakkan kaki untuk mengikuti sang puan. CklekPintu dari bangunan merah itu terbuka, seseorang muncul untuk menyambut tamu yang datang. Arin dengan blouse hitam berkerah putih serta celana kain moka mengulas senyum tipis kepada dua teman baiknya. "Ayo masuk," ajak perempua
Read more
59. Reason to return
"Kamu serius pergi sekarang?"Pertanyaan kesekian pada pagi hari nan cerah ini. Yup, yang biasa kelam dengan rintik hujan, kali ini lazuardi menghiasi langit. Itu menjadi alasan berbentuk lisan yang dilontarkan si pemuda bersurai gelap. Padahal ada dalih lain yang hanya mampu diucap dalam benaknya. "Iya, takutnya besok-besok hujan terus. Aku harus balik ke kafe juga, Bu," balas Juna yang sibuk menata isi tasnya. Ia menanggapi tiap ucapan sang ibu sembari melangkah sana-sini mengumpulkan barang yang akan dibawanya. "Kenapa nggak seminggu lagi? Masih libur juga, kan? Bilang sama bos di kafe kalau kamu pulang ke rumah," saran ibu pada putranya. 'Ya, mungkin itu bisa. Tapi gue nggak bisa terus-terusan jadi beban di sini,' batin lelaki itu. Namun, yang ditampilkan adalah senyum dan sanggahan sopan untuk pendapat ibunya. "Ya udah. Yang penting kamu udah beneran sehat. Jaga diri juga di sana," titah sang puan. "Sarapan dulu, ya?" Ibu menaruh lengan di pinggang si bungsu dan menuntun unt
Read more
60. Luka
Angin berembus cukup kencang kala pagi buta datang. Derunya membawa gumpalan kapas di langit menjadi samar. Kompromi dengan matahari, gelap mengalah untuk dijadikan terang. Permulaan hari ini seperti demikian. Hanya ujung rambut yang menyembul dari balik selimut tebal. Sebongkah insan di dalamnya meringkuk dengan gerak napas konstan. Kala dering ponsel menjerit, barulah ia menggeliat hingga ujung kaki-kaki panjangnya mencuat. Juna meraih benda pipih di dekat bantal. Alarm pada ponsel itu segera dimatikan. Jemari si adam lantas berpindah ke kelopak matanya. Dikucek perlahan, ia harus bangun untuk merealisasikan ucapan kemarin pada sang pacar. Sebab nanti siang ia berniat kembali menjadi barista. Beberapa menit dihabiskan Juna untuk berusaha meninggalkan ranjang. Setelah usaha kesekian, ia pun berdiri tegap sambil melemaskan otot-otot tubuhnya. Daripada malas kembali menyapa, diraihnya handuk dan langsung pergi ke kamar mandi. Putaran jam berikutnya, cahaya sang rawi menghujam jend
Read more
PREV
1
...
45678
...
11
DMCA.com Protection Status