Semua Bab Kuhidupi Suamiku Dan Keluarganya: Bab 41 - Bab 48
48 Bab
Empat Puluh Satu
Baskoro bersama Rena menunggu di bagian administrasi. Memang sengaja mereka menunggu kami datang. Saat aku sampai, kasihan sekali melihat Rena menangis tak henti. Mas Erlan segera menghampiri bagian administrasi bersama Baskoro. Sejenak mereka saling berbicara. Entah, apa yang mereka perbincangkan. "Ibu kenapa, Ren?" tanyaku.  "Ibu jatuh saat sedang mencuci, Mba." "Mesin cuci rusak?" "Air di rumah masih kecil. Lama kalau nunggu masuk ke mesin. Adanya nanti rusak mesinnya." Rena menjelaskan padaku.  Aku kembali teringat saat ibu datang menumpang mencuci. Datang dengan makian yang membuat Budhe Sri mengamuk. Setelah itu terjadi perang. Sudah lama sekali hal itu. Kupikir sudah tidak seperti itu lagi. Dari kejauhan Mas Reno datang tergopoh-gopoh. Bagaimana ini, tidak mungkin aku langsung menghindar, sedangkan di ujung sana, suamiku tak henti menatap ke arahku.  "Ren, aku mau ke Mas Erlan dulu." "Iya, Mba
Baca selengkapnya
Empat Puluh Dua
"Sayang, aku mau ke luar kota seminggu, kamu di rumah Mama dulu, ya. Mama minta selama kamu hamil tinggal di sana, mau?"Aku berpikir ulang dengan permintaan Mas Erlan. Untuk seminggu tidak masalah, tapi kalau untuk waktu yang lama, aku belum tentu mau. Biasanya kata orang, deket itu bau, kalau jauh baru wangi. Aku takut, hubungan dengan Mama seperti hubunganku dengan Ibu yang selalu saja bertengkar."Di rumah Mama, semua sudah pembantu yang mengerjakan. Mama juga sama seperti kamu, tidak bisa masak."Mas Erlan seperti tahu keraguanku. Ia kembali menjelaskannya. "Bukan itu, sih maksudku. Hanya takut seperti dulu, dekat dengan mertua dan selalu ribut."Semoga saja Mas Erlan mengerti apa yang aku maksud. Hmm ... aku pikir enak juga tinggal di sana. Dalam keadaan hamil seperti ini, setidaknya ada Mama dan banyak orang yang sigap jika terjadi sesuatu denganku."Iya, aku mengerti sayang, terserah kamu aja. Yang penting kamu nyaman.
Baca selengkapnya
Empat Puluh Tiga
Gladis menyukai menyukai Mas Erlan? Pantas saja ibunya tidak terima saat aku menjadi istri sang pujaan hati anaknya. Mereka aneh, masa mau menikah dengan sepupu?Kok bisa, mereka menginap di sini? Katanya kaya raya, masa, iya, menumpang. Aku beranjak ke luar kamar. Seharian di ruangan ini membuat aku bosan. Lebih baik aku mencari buah di kulkas. Siapa tahu Mama ada simpanan buah. Kebetulan ada Mama di dapur. Aku mengurungkan niat menyapanya, ada Budhe Ratih di sana.Terdengar mereka sedang mengobrol. Di posisi aku berdiri, masih bisa terdengar mereka berbicara. Aku bukan mau menguping, tapi ingin tahu saat nama Mas Erlan di sebut."Mbar, kamu yang benar saja menikahkan Erlan dengan wanita biasa. Kamu nggak lihat anakku Gladis lebih cantik." Terdengar suara bude membuat aku sakit hati."Itu pilihan dia, mana bisa aku melarang. Tahu sendiri, kalau sudah mau A ya tetap A. Mana bisa berubah menjadi B." Ibu mertuaku seperti tak banyak bicara."Halah, ng
Baca selengkapnya
Empat Puluh Empat
"Temui aja, Mas," ujarku pelan.Rasanya mengingat ia menyukai suamiku itu membuat aku ingin mengusirnya. Kenapa bisa ada wanita tidak tahumu seperti Gladis. Mas Erlan membuka pintu setelah aku mengizinkannya. "Ada apa, Dia?" tanya Mas Erlan."Mas, aku boleh pinjam uang? Hari ini ada acara, nanti aku ganti. Soalnya uang Papa---""Uang Papamu habis. Bagaiamana kamu bisa menggantinya?""Ya, aku sedang mencari pekerjaan. Makanya aku butuh uang untuk ke mana-mana. Boleh, ya, Mas?" Gladis seperti memohon pada suamiku.Aku mendekati mereka, astaga, gadis ini memakai pakaian sexy di depan Suamiku. Belahan dadanya saja sengaja ia umbar. Memang tidak tahu malu."Berapa?""Sepuluh juta,” ujar Gladis.Mendengarnya membuat aku sakit kepala. Yang sebanyak itu dia pinjam dan entah kapan mengembalikannya. Mas Erlan melihat ke arahku. Aku tidak mengerti maksudnya. "Sekarang Widya istriku, jadi Widya yang ber
Baca selengkapnya
Empat Puluh Lima
"Ancaman Apa?" tanyaku."Bukan ancaman apa-apa. Ya, tapi takutnya aja si Gladis melakukan hal macam-macam." Mba Erni menjelaskan padaku. Kenapa masih banyak orang seperti Gladis. Sudah jatuh miskin, masih saja bersikap seperti ratu dalam istana. Kenapa tidak sadar diri, jika dia sudah menjadi miskin."Biarkan, Mba.""Kamu terlalu lembek. Budhe Ratih itu cuman manfaatin Mama. Dia tinggal di rumah Mama itu bakal lama. Lihat aja kataku nanti."Mbak Erni ikut emosi jika mengingat kelakua kedua orang itu. Belum lagi, sikap Gladis yang tidak mengenakkan. Aku bisa frustrasi menghadapinya. Sekarang dia berani meminjam uang dua puluh juta. Besok-besok pasti akan lebih berani. Astaga, jauhkan aku dari orang seperti itu Ya Allah.Ponsel Mas Erlan berdering, ia mengambilnya dari nakas. Wajahnya mengerut seperti melihat sesuatu."Ada apa, tumben si Mba Nani telepon. Ada apa, ya?" tanya Mas Erlan."Angkat dulu aja," kataku.Mas
Baca selengkapnya
Empat Puluh Enam
Terpaksa aku kembali ke rumah ini. Rumah besar yang dihuni beberapa kepala. Demi suami, aku bertahan untuk menyenangkan ibu mertua. Cucu pertama dari keluarga ini sangat diharapkan. Anak perempuan mereka yang sudah beberapa lama menikah tak kunjung hamil. Sampai aku hamil, antusias mereka sangat besar."Kamu mau rujak, nggak, Wid?" tanya Ibu mertuaku."Nggak, Ma. Aku malah nggak mau asem-asem. Maunya yang pedas." Aku menjawab sambil duduk di kursi dapur."Makanan pedas gitu? Atau ikan, ayam atau apa gitu? Bilang aja sama Mama, nanti suruh Bibi masak. Jangan sungkan.""Iya, Ma. Apa aja, yang penting pedas.""Ya, sudah nanti ayam saja di cabeiin. Biar makan semua, enak juga kayanya."Akhirnya aku mendapat perhatian Ibu mertua. Kupikir ia sama seperti Ibunya Reno. Namun, ternyata Mama berbeda. Memang dia terlihat apa adanya. Gladis berlari masuk ke rumah. Aku lihat beberapa kali dia mengintip jendela rumah. Ada apa sebenarnya? 
Baca selengkapnya
Empat puluh tujuh
"Jangan mengungkit masa lalu. Aku pun tidak pernah usil dengan kamu Mba. Tolong, jangan buat keributan di rumahku." Ibu mertuaku merasa terganggu dengan perkataan Budhe Ratih.Memang, menurutku keterlaluan Budhe Ratih. Sudah ditolong, tapi dia malah berbuat tidak baik. Kulihat wajah Mama sampai memerah. Belum lagi Papa mertua yang menarik napas."Anakku, Erlan tidak seperti itu. Bagaimana bentuknya sang istri, itu sudah menjadi kodratnya. Makanya anakmu suruh nikah, jangan bisanya julid sama orang. Untung saja Erlan tidak tertarik dengan Gladis. Malu aku punya menantu dengan ucapan tidak baik,” ujar Mama.Aku terkesiap dengan penuturan Mama. Wanita tua itu bangkit, dan langsung meninggalkan meja makan. Tidak lama Papa juga ikut masuk ke kamar. "Wid, kita makan di luar saja, yuk," ajak Mas Erlan."Iya, kamar"Kalian mau ke mana?" tanya Gladis."Bukan urusan kamu,” jawab Mas Erlan.Mas Erlan memberi kode agar ak
Baca selengkapnya
Empat puluh delapan
Kenapa Budeh menangis, apa aku keguguran saat terjatuh tadi? segera aku mengusap perut ini, tetapi sama sekali aku tidak tahu, apa masih ada janin atau tidak di perut ini?aku kembali menatap raut wajah Budeh. lagi, ia memelukku dengan erat. air matanya tumpah membanjiri pipi. Budeh, apa yang sebenarnya terjadi?"Budeh, jangan menangis. Apa ini ada hubungannya dengan anakku?" tanyaku penasaran."Budeh menangis bahagia, akhirnya lengkap sudah kebahagiaan kamu. Untung Erlan cepat membawamu. Untung Allah masih melindungi kalian.”Kini aku yang menangis, karena kecerobohanku, hampir saja aku kehilangan janin ini. Namun, hati ini masih sakit jika mengingat semuanya. Aku benci mereka. Bodohnya aku, saat ia bilang mencintaiku. Diri ini juga terlalu terhanyut saat Mas Erlan ingin membahagiakanku. Aku pikir, diri ini paling beruntung memiliki suami seperti dia.nyatanya, aku harus menahan pedih di hati. Mas kenapa kamu tega! Kenapa dirinya harus datan
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12345
DMCA.com Protection Status