All Chapters of Diantar Ke Rumahku: Chapter 31 - Chapter 40
72 Chapters
31
Saat libur lebaran itu, ketika keluarga Bang Sihol sudah pulang dari Bromo, dan Sondang masih di kampung bersama Mama, Idris sudah berbicara dengan Bang Sihol, mengenai hubungannya dengan Sondang. Hubungan mereka berdua sejak kuliah dulu sangatlah akrab. Bahkan di antara semua orang-orang serumah mereka saat berkuliah dulu, Idris paling akrab dengan Bang Sihol. Bang Sihol bukan sekedar kakak kelas dan teman serumah bagi Idris. Pertemuan Idris dengan Bang Sihollah yang banyak mengubah Idris. Saat itu, sebagai seseorang yang berasal dari panti asuhan, dia merasa tak ‘setara’ dengan teman-teman kuliahnya. Idris bukan hanya seorang yang pendiam saat itu, tapi dia juga memiliki citra diri yang rendah. Suatu hari, dia berkenalan dengan Bang Sihol, yang kemudian mengajaknya menghadiri persekutuan mahasiswa Kristen, dan menjadi pembimbing rohaninya. Kebaikan hati Bang Sihol, membuat Idris pada suatu hari akhirnya terbuka menceritakan asal usulnya. Dia juga menceritakan perasaan tertolak,
Read more
32
Waktu masih kuliah dulu, Sondang pernah menonton sidang perkara pidana di Pengadilan Negeri. Dia pergi bersama seorang temannya yang berkuliah di Fakultas Hukum, yang sedang mencari bahan untuk mengerjakan tugas kuliah.3 orang hakim memakai jubah hitam, duduk di depan, di tengah ruangan sidang. Mereka menjatuhkan hukuman 3 tahun pada seorang anak muda, yang suatu hari tanpa sengaja membuat temannya meninggal dalam kecelakaan motor. Sampai sekarangpun, Sondang masih ingat pada wajah anak muda itu: putih atau mungkin pucat, begitu ketakutan dan putus asa. Sondang bisa melihat bahwa tangannya gemetar. Kursi 'penonton' hanya diisi oleh Sondang, temannya, dan seseorang yang memakai seragam. Sepertinya, Anak muda itu tidak ditemani oleh orang tua atau keluarganya. Dia sendirian saja menghadapi hukumannya. Selasa malam ini, Sondang merasa dia sedang duduk di kursi anak muda itu.Mama, Sang hakim sedang duduk di depannya. Memasang wajah marah yang membuat Sondang ketakutan.Untunglah
Read more
33
Jam 8 malam itu, telepon Sondang membunyikan panggilan dari Idris.Sondang hampir mengangkatnya, namun air mata yang kembali jatuh membuatnya urung. Dia tak ingin membagi kesedihannya dengan Idris malam ini, ketika rasa marah kepada Mama memenuhi pikirannya. Jika dia berbicara dengan Idris sekarang, dia khawatir akan ‘keceplosan’, dan menceritakan kata-kata ‘kejam’ Mama tentang Idris, kepadanya.Sondang sedang merasa sakit hati pada Mama. Dia telah menghina Idris, karena sebuah takdir yang tak kan pernah bisa diubah. Seandainya Idris mendengar ucapan Mama tersebut, bukankah dia juga pasti akan marah?Namun, bukan Idris namanya jika dia menyerah dengan mudah.Dia terus mengulang menelepon, dan Sondang tak tega untuk mematikan teleponnya. Yang sanggup dia lakukan hanyalah mendiamkan nada dering.‘Ndang, kamu sibuk ya? Teleponku dari tadi enggak diangkat.’ Sondang membaca pesan itu di tampilan layar depan, hampir 20 menit setelah teleponnya berulang kali menampilkan panggilan yang gagal
Read more
34
Rumah Sondang terasa begitu hening sekarang. Meskipun kedua keponakannya kadang masih bermain riuh di ruang tengah, namun suasananya sudah berubah.Sejak malam yang membuat Mama menangis itu, Mama memilih ke luar kamar di pagi hari, setelah Bang Sihol berangkat bekerja. Dia juga berhenti menonton sinetron setelah makan malam, dan memilih untuk masuk ke kamarnya, begitu Bang Sihol atau Sondang kembali ke rumah usai bekerja.Selama 2 hari ini, begitulah ritmenya, membuat pulang ke rumah terasa menyedihkan bagi Sondang. Tak ada lagi percakapan keluarga yang menyenangkan, meski sesekali dibumbui oleh perdebatan ‘tak berarti’ antara Mama dan Sondang. Rumah ini sedang diisi kemarahan dan kekecewaan sekarang.Sejak malam itu, Sondang dan Bang Sihol tidak pernah lagi bertemu Mama. Mama selalu mengurung diri kamarnya, tak mau ke luar untuk makan malam, juga tak mau membuka pintunya, jika tahu bahwa Sondang atau Bang Sihol yang mengetuk untuk meminta izin masuk.Hanya Ipar Sondang yang masih be
Read more
35
“Kenapa Mama selalu bersikap begini, kalau keinginannya tidak dituruti? Aku capek,” keluh Sondang kepada Abang dan Iparnya. “Hus, jangan bicara seperti itu, Ndang. Itu nggak baik,” tegur Abangnya dengan lembut.Air mata Sondang menitik satu-satu, jatuh ke atas meja makan di dapur. Iparnya segera beranjak mengambil tissue dan memberikannya pada Sondang.“Tapi aku memang capek, Bang. Dari dulu, aku harus selalu menuruti kemauan Mama, yang sering kali nggak masuk akal alasannya. Apa aku nggak boleh punya keinginanku sendiri? Apa cuma Mama yang harus dihormati kemauannya?” Sondang makin terisak-isak.Iparnya menghampiri, memeluk Sondang dengan simpati.Bang Sihol melihatnya dalam diam. Mereka sama-sama tahu, bahwa meski sudah banyak berubah dibandingkan dulu, Mama masih tetap keras hati. Dan Sondang selaku anak perempuan satu-satunya, memang banyak ‘mengorbankan’ harapannya sendiri, demi mematuhi keinginan Mama. Dia ingat, ketika Sondang menangis mengadu kepadanya, meminta bantuannya ya
Read more
36
Jumat akhirnya tiba juga.Di kantor, Sondang sejenak bisa melupakan permasalahannya dengan Mama, karena kesibukannya mengurusi data penjualan. Apalagi di hari Jumat, yang selalu merupakan hari yang sibuk: ada 3 laporan yang harus dibuat sebelum jam 12 siang, dan ada faktur-faktur yang harus diserahterimakan kepada Sales.“Ndang, dari tadi telponmu bordering terus,” kata Emma, teman seruangannya. Sondang terheran-heran mendengarnya. Dia memang meninggalkan teleponnya di meja, karena tak memerlukannya saat menemui para Sales. Tapi biasanya juga telepon itu tak pernah berbunyi d pagi hari seperti ini.Ada 5 panggilan tak terjawab dari Iparnya. Karena teleponnya tak terjawab, Iparnya ternyata mengirimkan sebuah pesan singkat:‘Ndang, Inang nggak sadar tadi di kamarnya. Kami lagi di rumah sakit sekarang,’Seperti ada gong yang dipukul bertalu-talu dengan kencangnya di kepala dan telinga Sondang, membuat dia merasa begitu bising dan kacau. Bagaimana ini? Mengapa Mama bisa kehilangan kesada
Read more
37
Sepulang dari rumah sakit, ternyata Sondang tak bisa langsung tertidur. Awalnya karena dia berbalas pesan dengan Idris, yang menanyakan keadaan Mama, dan mengatakan bahwa dia akan datang menemui Sondang di rumah sakit besok.‘Bang, nggak usah datang dululah ke rumah sakit,’ cegahnya pada Idris.‘Aku cuma di luar saja, Ndang. Aku mengerti, kalau Mama belum mau kutemui. Aku ingin bertemu denganmu dan Bang Sihol.’ Idris membalas dengan segera.Sondang memikirkan kalimat lain untuk membuat Idris mengerti, bahwa bukan hanya Mama, tapi dia sendiripun saat ini sedang tidak siap bertemu Idris. Mama sedang sakit karena Sondang, dan Sondang tak ingin ‘mengkhianati’ Mama, dengan bertemu Idris. Di rumah sakit pula!‘Aku sedang capek, Bang. Kita bertemu lain kali saja.’ Namun setelah mengirim jawaban tersebut, Sondang merasa jawabannya ‘kasar’ sekali, membuat dia merasa menyesal telah mengirimkannya.Tak ada lagi pesan balasan dari Idris, membuat Sondang merasa sangat bersalah. Idris mungkin se
Read more
38
Senin siang, Mama sudah boleh pulang ke rumah. Si Kembar menyambut Ompung mereka dengan sukacita. Mereka bolak-balik memeluk Mama, dan berulang kali berkata, “Ompung jangan sakit lagi, ya..” Tubuh Mama sudah hampir pulih sepenuhnya, dan dia juga sudah mau kembali berbicara dengan Bang Sihol dan Sondang. Tapi rasanya ada yang berubah, sikapnya tak selugas dulu lagi. Mama sekarang terlihat seperti kehilangan semangat. Dia memang sudah kembali duduk di ruang tengah, menonton sinetron kesukaanya setelah makan malam. Tapi setengah dari kegembiraannya seperti lenyap. Dan kadang-kadang, dia malah terlihat seperti menatap kosong saja ke layar televisi di depannya. Sondang tak mungkin tak terpengaruh oleh kemuraman sikap Mama. Dia masih terus merasa bersalah atas sakitnya Mama, dan sangat berhati-hati menjaga sikap dan perkataannya, agar jangan sampai menyinggung hati Mama. Namun sebagai imbasnya, saat makan malam yang biasanya menjadi saat bertukar cerita antara mereka berempat, sekarang
Read more
39
Ketika Sondang dan Friska tiba di gereja pagi itu, Idris sudah lebih dahulu sampai di sana. Dia duduk di samping Andi,. Andi duduk di samping Tito, dan Tito duduk di samping Justin. Iya, Justin… Sondang ingin pindah ke sekolah minggu saja rasanya, menunggui kedua keponakannya. Dia merasa gemetar jika harus duduk di bangku di depan Idris dan Justin. Sebab dia yakin, kedua lelaki itu pasti akan memperhatikannya. Tapi Friska yang tak tahu kegalauan hatinya, langsung dengan riangnya duduk di bangku persis di depan Idris, dan langsung membalikkan badannya menghadap Idris sembari berkata: “Hallo, Bang..” Padahal ke Andi, dia cuma tersenyum lebar saja. Terlihat senyum melebar di wajah Idris, menyambut keceriaan Friska. Dengan jelas, Idris bisa melihat wajah Sondang yang begitu dirindukannya. Terlihat muram, tanpa kebahagiaan yang diingatnya, saat terakhir kali mereka bertemu. Padahal dia memakai baju pink berenda yang manis sekali, yang semestinya cocok dengan wajahnya ketika sedang ri
Read more
40
Sekitar 1 jam kemudian, mereka berempat sudah duduk lesehan di sebuah rumah makan bernuansa alam di pinggiran kota.Andi sudah langsung memilih duduk di samping Friska, sehingga Sondang harus duduk bersisian dengan Idris. Tapi ini memang posisi terbaik, membuat Sondang terhindar dari posisi berhadap-hadapan dengan Idris. Kalau bersebelahan begini, dia tak perlu sibuk membuang pandang ke sana ke mari, hanya untuk menghindar dari ‘kejaran’ tatapan mata Idris.“Mau makan apa, Ndang?” tanya Idris padanya, sambil menggeser buku menu ke arah Sondang. Sondang yang sejak tadi pagi sudah merasa ‘panas dingin’, menggeser balik buku tersebut kepada Idris.“Abang saja yang memilih,” katanya pelan, tanpa melihat ke arah Idris.Di depan mereka, Andi dan Friska nampak akur melihat ke pada menu-menu yang ditawarkan. Mereka duduk rapat, dan sesekali kepala mereka terlihat bersentuhan, saat Friska menunjuk menu-menu yang ada, dan Andi mengomentarinya. Kontras sekali posisi mereka, dengan Sondang yang
Read more
PREV
1234568
DMCA.com Protection Status