All Chapters of Kugadai Harta Suami Yang Berselingkuh: Chapter 61 - Chapter 70
137 Chapters
Bab 61
"Iya, Mbak. Tadi Laila? Kenapa, Mbak? Mbak mau minta nomornya? Mbak mau suruh temenin dia buat antarin ke pengadilan?""Kamu ini timbang ditanyain gitu aja jawabnya malah nyumpahin!" sungut Mbak Seli yang sepertinya mengerti maksud dari ucapanku. Aku hanya terkikik. "Kamu serius mau gugat suamimu? Sah jadi janda dong nanti?" ucap Mbak Seli. "Memangnya kenapa, Mbak, kalau saya jadi janda? Mbak mau nyari madu? Wah ... boleh juga tuh, Mbak. Apalagi Mas Rifai bekerja sebagai mandor di pabrik besar. Tentu bisa lah ya kalau nafkahin kita berdua?" Kedua bola mata Mbak Seli melotot sempurna ke arahku. "Siapa yang sudi punya madu?! Ogah lah, ya! Dasar gatel! Belum juga cere udah nawarin jadi madu!" sungut Mbak Seli yang tak bisa menyembunyikan kekesalannya. Sedangkan kulihat sekilas, Mas Rifai yang merupakan suaminya itu hanya tertawa sembari geleng-geleng kepala. "Loh, Mbak. Siapa tahu kan Mbak butuh madu. Biar kerjaan Mbak Seli ada yang bantuin. Termasuk urus Mas Rifai. Gimana, Mbak?
Read more
Bab 62
Sayup-sayup kudengar suara adzan berkumandang dari arah masjid yang tak jauh dari tempat tinggalku. Kurenggangkan otot-otot di tubuhku dengan kuangkat kedua tanganku ke atas. Setelahnya, kusibak selimut tipis yang masih bertengger di atas tubuhku sebatas dada dengan sempurna. Aku mengubah posisi menjadi duduk, menunggu kesadaran kembali dengan sepenuhnya. Kuturunkan kedua kakiku, setelahnya aku pun berjalan menuju ke arah kamar mandi yang ada di belakang rumah setelah menyambar handuk yang menggantung di tempatnya. Kuguyur seluruh tubuhku, dan cepat-cepat kuselesaikan ritual mandiku, sebab udara dingin terasa menusuk hingga ke tulang. ****Ponsel yang ada di atas ranjang berdering, membuat tanganku yang sedang mengumpulkan pakaian kotor seketika terhenti. Kutolehkan kepalaku ke arah sumber suara, setelahnya aku pun melangkah ke arah sana. Saat aku meraih ponsel tersebut, ada nomor asing yang menghubungiku. Nomor itu tak tersimpan di ponselku. Bahkan, saat foto profil yang terpa
Read more
Bab 63
"Heh, janda gatel! Apa maksudmu goda suamiku, ha?!" Tanpa diduga dan dengan gerakan yang cepat, Mbak Seli langsung menarik rambutku yang berkuncir kuda itu ke belakang. Tentu hal itu membuat kepalaku mendongak ke atas. "Apa sih, Mbak, maksudnya?" Aku berusaha melepaskan jambakan Mbak Seli. Akan tetapi, semakin aku berusaha melepaskan, semakin dia memperkuat cengkraman. Rasa nyeri begitu terasa di kulit kepalaku hingga membuatku meringis kesakitan. "Jangan bersikap seperti itu, Sel. Semua bisa dibicarakan baik-baik," ucap ibu sembari berusaha melepaskan jambakan tangan Mbak seli di rambutku. "Mbak, lepaskan dong!" pekikku saat rasa nyeri semakin terasa. "Apanya yang bisa dibicarakan baik-baik?! Anakmu ini perempuan gatel! Dia goda suamiku! Dia menawarkan diri untuk dijadikan istri simpanan! Apa maksudnya seperti itu?! Apa hal itu bisa dibicarakan baik-baik?!""Mbak! Lepaskan! Fitnah macam apa lagi yang Mbak ciptakan ini?!"Bugh!"Auw!""Lepaskan jambakanmu itu! Aku yang ibunya saj
Read more
Bab 64
Tok!Tok!Tok!Suara ketukan pintu terdengar dari pintu utama. Aku yang sedang melipat pakaian pun lantas bangkit dari tempat dudukku, meletakkan sehelai kain di tanganku lalu melangkah keluar kamar. "Assalamualaikum, Mbak Rena," ucap seseorang yang saat ini berada di hadapanku setelah pintu kubuka. "Waalaikumsalam, Bu RT. Silahkan masuk, Bu RT," ucapku dengan lembut sembari membuka lebar pintu rumah. "Nggak usah, Mbak. Saya ke sini cuma mau samperin pesan Bapak, katanya Mbak Rena nanti sore diminta datang ke rumah." Aku mengernyitkan dahi saat mendengar penuturan Bu RT. "Ada apa ya, Bu? Sepertinya ada sesuatu yang sangat penting," ucapku dengan segudang rasa penasaran. "Saya juga kurang tahu, Mbak. Nanti jam tiga langsung datang saja ke rumah.""Oh, baik, Bu. Nanti saya akan ke sana.""Ya sudah, Mbak. Hanya ingin menyampaikan itu saja. Saya permisi dulu. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawabku. Bu RT pun melangkah pergi dari rumahku. Setelah langkahnya sudah lumayan jauh,
Read more
Bab 67
"Baiklah, biar aku saja yang bicara." Aku menghela napas dalam-dalam lalu kukeluarkan secara perlahan."Begini, Pak Rt, memang saya akui saya bersalah ....""Tuh, kan, Pak RT! Dia ngaku salah! Saya mau dia dipermalukan ke seluruh kampung ini, Pak Rt!" "Diamlah, Mbak! Aku belum selesai berbicara! Jangan potong atau pun menyela!" ucapku sedikit membentak Mbak Seli karena menyela ucapanku. Mbak Seli melirikku sinis sembari memainkan bibirnya. Tak suka. "Kemarin, sewaktu teman saya yang mengantarkan saya ke pengadilan untuk mengurus gugatan perceraian saya pulang dari rumah. Dan di situ berpapasan dengan Mbak Seli." Aku menjeda ucapanku. Menghela napas dalam untuk ke sekian kali. Pak RT mendengarkan kalimat demi kalimat yang meluncur dari bibirku dengan seksama. "Mbak Seli beserta suaminya berhenti tepat di depan rumah saya bersama suaminya. Waktu itu, Mbak Seli malah menghinaku karena status janda yang akan aku sandang. Di situ saya bercanda untuk memberikan tawaran Mas Rifai untuk
Read more
Bab 68
Pov Yoga (2 Minggu Kemudian)**Tok!Tok!Tok!"Bik! Ada tamu tuh," teriak Mutia yang saat ini sedang duduk di sofa tepat di sampingku dengan kedua pahaku digunakan sebagai bantalnya. "Bibik lagi cuci piring kayaknya, Sayang. Mas buka dulu pintunya." "Nggak mau!" ucap Mutia menahan tanganku yang ingin memindahkan kepalanya dari kedua pahaku. "Udah enakan gini, Mas!" ucap Mutia. "Bibik!" teriak Mutia lagi. Tak berselang lama, terlihat lah seorang wanita berusia empat puluh lima tahun berjalan dengan tergopoh-gopoh sembari menyincingkan daster bermotif bunga yang saat ini ia kenakan. "Budek banget, sih, Bik!" "Maaf, Bu. Bibik tadi lagi nyuci piring nggak kedengeran," ucap Bibik lalu melanjutkan langkahnya menuju ke arah pintu. "Alasan!" lirih Mutiara. Ya, semenjak aku dan Mutia sudah sama-sama bekerja, aku mencari seseorang yang siap bekerja sebagai ART di rumahku. Belum lama, kurang lebih baru dua minggu, berjalan tiga minggu. Seorang janda dengan satu anak yang masih duduk d
Read more
Bab 69
"Tentu." Seulas senyum aku perlihatkan. Beberapa menit kemudian, terlihat dari seberang sana sosok yang amat aku kenali berjalan ke arah kami. Dia adalah kedua orangtua Rena dan juga seorang wanita yang dulu teman sekolah Rena yang kuketahui menjual jasa sebagai pengantar orang yang ingin melakukan proses perceraian. Keempat orang itu pun duduk di kursi yang ada di sebelah kursi yang kami tempati. Seperti orang asing. Tak ada tegur sapa atau pun percakapan walau hanya sekedar basi-basi. Hingga tak berselang lama, nomor tibalah nomor urut kami. Aku bersama Mutia pun bangkit dari tempat dudukku, gerombolan keluarga mantan istriku itu pun berjalan melewatiku begitu saja. "Heh, Rena! Berhenti!" Ucapan Mutia seketika membuat langkah beberapa orang yang baru saja mendahuluiku itu pun berhenti. Mutia mempercepat langkahnya setelah Rena memutar tubuhnya. Hingga membuat kedua orang perempuan itu saling bersitatap. Aku berdiri tepat di samping Mutia. Saat kutelisik wajah Rena, tak kulih
Read more
Bab 70
Waktu berjalan dengan begitu cepatnya. Hingga tak terasa hari ini adalah sidang kedua kasus perceraianku dan juga Rena. Seperti biasa, aku datang ditemani oleh sang istri tercinta. Ya, istri tercinta. Semakin bertambahnya usia pernikahan kami, semakin besar pula rasa cintaku padanya. Seolah-olah cinta itu diberikan pupuk hingga bisa bertumbuh dengan begitu suburnya. Sidang kedua kembali dibuka oleh sang hakim. Jika sidang pertama kemarin adalah upaya perdamaian, berbeda dengan sidang kedua kali ini. Hakim mulai membacakan beberapa perkara. Salah satunya adalah pembacaan bukti dari penggugat. Hingga pada akhirnya terjadilah musyawarah yang dilakukan oleh majelis hingga tak berselang lama, musyawarah itu pun berakhir dan hakim pun kembali melakukan tugasnya. Yaitu pembacaan putusan atau penetapan.Ada yang berdesir di dalam sini saat kedua telingaku mendengar dengan jelas saat hakim menetapkan jika aku dan Rena sudah resmi berpisah. Bukan hanya secara agama, tapi juga secara agam
Read more
Bab 71
Pov Mutiara**"Mau berusaha menghindar dariku?" desis seseorang sembari mencekal pergelangan tanganku dengan begitu kuatnya. "Lepaskan tanganku!" pekikku sembari berusaha melepaskan tanganku. Akan tetapi, lelaki itu semakin mengencangkan cekalannya hingga membuat pergelangan tanganku terasa nyeri. "Lepaskan!" pekikku lagi. "Jangan harap kau bisa lari dariku, Tiara! Berikan uangmu!" desis lelaki itu tepat di telinga kananku. Aku membuka mulut, ingin berteriak. Akan tetapi, tiba-tiba ...."Jangan berani-beraninya berteriak, atau akan kub*nuh hari ini juga!" "Mau apa kamu?! Lepaskan!""Seperti biasa," ucapnya dengan santai sembari menengadahkan tangannya ke arahku. Aku semakin dibuat kesal. Selalu uang, uang dan uang. "Cepat!" "Bukankah kemarin sudah kuberikan lima juta? Belum genap satu minggu loh itu!" ketusku. "Nggak usah banyak bicara, berikan saja apa yang kumau. Atau akan kubuat kau diceraikan oleh suamimu yang kaya raya itu?!" Aku mengembuskan napas kasar. "Gimana aku
Read more
Bab 72
"Mas, aku pengen deh berangkat kerja naik mobil sendiri." Mas Yoga yang mendengarkan ucapanku pun langsung terbatuk-batuk. Cepat kuambilkan segelas air dan kuulurkan ke arah Mas Yoga. Lelaki itu menerima pemberianku lalu mulai meneguknya hingga masih menyisakan separoh gelas. "Mas," panggilku lagi saat Mas Yoga sudah meletakkan gelas yang masih berisi separoh air putih. "Kenapa, Sayang?" tanya Mas Yoga dengan kening yang berkerut tajam. "Aku pengan naik mobil sendiri," jawabku. "Kenapa?" "Aku tuh nggak mau nyusahin kamu. Kasihan kamu, sebelum berangkat kerja, nganterin aku, eh, pulang kerja capek-capek masih jemput aku juga. Kalau aku naik mobil sendiri kan enak, kamu nggak kerepotan," ucapku mengatakan seribu alasan. Padahal, alasanku karena aku tak mau Mas Yoga melihat keberadaan Chandra saat menemuiku. Bisa hancur duniaku jika itu benar terjadi. "Mas antar jemput saja, ya. Mas lebih tenang begini. Dan satu lagi, Mas tak merasa keberatan. SEDIKITPUN."****"Mas, aku minta
Read more
PREV
1
...
56789
...
14
DMCA.com Protection Status