Semua Bab Balasan untuk Suami Hidung Belang: Bab 51 - Bab 60
70 Bab
kendor
Inggit menarik tangan Denny sampai membungkuk di depannya. Saat wajah Denny tak lebih dari lima senti di depannya. Entah kenapa berdekatan dengan Denny tidak membuatnya bergidik seperti sebelumnya. Namun, Inggit tak ingin terperosok jauh pada Denny. “Jangan punya pikiran macam-macam kalau liat tubuhku.” Denny melepaskan sentuhan tangannya, lalu ia meloloskan kaus yang dikenakannya dan berdiri telanjang dada depan Inggit. “Iiih, kamu! Aku belum selesai loh,” ucap Inggit. Entah mengapa nyalinya mulai menciut melihat tatapan Denny seperti menelanjanginya. “Baiklah, tapi jangan lama-lama.”Tak sampai sepuluh menit berselang, Inggit sudah keluar kamar mandi dan berganti dengan pakaian piyama dan celana panjang. “Kalau kamu mau duluan gak apa,” kata Denny dari dalam kamar mandi. Inggit berdiri membelakangi pintu kamar mandi. Perhatiannya kini berpindah apada bagian sekitar kamar mandi yang mengerikan. Apa lagi di
Baca selengkapnya
menggoda
“Bercanda! Kalau gitu kita istirahat. Sudah hampir jam dua pagi. Kamu tidur di sebelah sana, jangan sampai nempel-nempel, Mas tidur bagian ini.”Denny berbaring, memandang Inggit yang kini mengambil bantal dan pergi ke sudut ranjang untuk meringkuk. **“Saya petugas desa yang akan mendata mereka sebagai pasangan suami istri yang sah secara adat, agama, dan negara. Kalau ini Mas Bogel tata rias dan mempersiapkan pakaian pengantinnya.”“Ayo masuk semua,” ajak Pak Djarot pada tamunya. Inggit mengerjap mendengar percakapan di luar kamar. Membuatnya menyeret langkahnya, mendekati pintu dan membukanya. “Ehmmm!” Deheman Pak Djarot yang melihat Inggit mengintip. “Sudah bangun? Dasar anak sekarang sukanya intip-intip,” seru Pak Djarot. Mata Inggit melebar, lalu berkata, “Ada apa Pak, masih pagi kok udah rame aja?” tanya Inggit mencoba santai. “Apa suamimu gak ada bilang
Baca selengkapnya
tersulut gairah
“Ayah hanya memiliki ide itu? Lagi pula Rahayu juga sering ke rumah, menanyakan kabar Ayah dan bertanya kamu terus, selama kamu di perkebunan sawit. Dan terpenting Rahayu juga anak tetua di desa ini, sudah jelas bibit bobotnya.” “Aku sudah dewasa. Kalau jodoh bisa cari sendiri, Yah. Lagian juga orang kota tidak seperti orang desa ini pikirkan, mungkin ini suatu tantangan untuk membuka mindset penduduk desa agar lebih luas.” “Iya sudah Ayah juga gak bisa apa-apa lagi.” Suara Pak Djarot melemah dan tatapannya setengah menerawang. Denny merasa ada sesuatu yang berbeda dari nada suara ayahnya. Kepalanya yang tadi menunduk, kini terangkat meneliti wajah tua ayahnya. “Maafkan Denny, Yah. Tapi, apa yang Ayah pikirkan apakah benar masalah pekerja dan Rahayu?” Nada suara Denny serius. Pak Djarot membalas tatapan Denny, “Kalau Rahayu dia memang sudah suka kamu, orang tua Ayah dulu pernah bertukar lahan dengan orang tua Rahayu, dan tukaran lahan itu belum digantikan sampai beliau wafat. Jadi,
Baca selengkapnya
diukur-ukur
Tetangga mereka yang jarak rumahnya mustahil untuk mendengar percakapan kemarin malam, akan tetapi berita soal ini sudah tersebar. “Denny terima kasih ya? Kamu juga baru sampai ke sini kemarin malam? Istri kamu cantik?” Denny menghentikan langkahnya setelah mengadon dengan Bu Patmi. “Aku yang terima kasih, Bu. Maafkan aku juga ya, Bu. Ini di luar kendali. Sekarang aku pamit dulu. Permisi, Bu.” Denny tersenyum dan tersipu malu mengingat kejadian barusan. Denny melangkah lebar mengikuti jalan setapak yang kanan kirinya ditumbuhi pohon kulit dan berbagai macam pohon. Baru saja Denny lega melepaskan seluruh penatnya. Tak lama dari itu ia melihat sebuah sepeda motor melambat mendekat ke arahnya. “Woi, Bro. Sampai kemarin malam, ya?” tanya Endra. Teman sekolah Denny. Dia memang bergaya sok gaul. Di motornya juga terdapat rumput untuk pakan ternak. Denny tersenyum. Ia menebak-nebak bahwa nantinya pasti Endra bertanya tentang
Baca selengkapnya
membiusnya
Inggit tersentak. “Gak cemburu kok Bu, biasa aja, kalau mau ambil juga gak apa.” Inggit tersenyum kaku pada Bu Patmi. Di saat ini Inggit mencuri pandang untuk melihat roti sobek Denny. Hanya saja yang terlihat hanya punggung. “Pengantin barunya masih malu-malu. Bude kira orang kota itu gak malu-malu. Ternyata kamu gak salah pilih Den?” Ibu Patmi berkata mendongak kepala menatap Denny. Mendengar canda itu membuat Inggit melirik untuk kedua kalinya. Pria itu tak bereaksi sama sekali. Hanya saja kepalanya mendongak ke atas. Denny membuka kancing celana jeansnya. Sementara Bu Patmi setia menatap Denny, sekejap kaget menyadari betapa gagahnya tubuh Denny, bahunya yang lebar dan terlihat tegap tampak sensual di mata kaum hawa. Bu Patmi menahan napasnya saat melihat Denny menurunkan celananya, dia tersentak saat menatap kejantanan Denny untuk kedua kalinya. Mata Bu Patmi tak ingin luput dari pandangan, pantas saja hal ini se
Baca selengkapnya
bertelur dua
Denny tersentak dan menoleh ke belakang. Pintu dapur yang dihempaskan ke dinding rumah. Bu Patmi keluar kamar dengan wajah cemberut. “Dasar lelaki, sering ingkar janji! Ibu udah nungguin kamu dari tadi di kamar malah asyik teleponan.” Bu Patmi melangkah menjauh dari Denny. “Kalau kamu mau, nanti ke rumah ibu aja.” Bu Patmi menawarkan pelayanannya. Denny mengejar Bu Patmi. Namun, langkah Denny terlalu pelan untuk menyusulnya.Tak lama dari itu Inggit keluar dari kamar Bu Sari dengan handuk yang tersampir di bahunya. “Udah kamu isi belum?” tanya Inggit melangkah ke halaman belakang. Ia berdiri sejenak menunggu reaksi Denny. Dari tatapan Denny, lelaki itu tak akan tega bila Inggit untuk menimba air sendiri.“Kamu ternyata gagah juga dari belakang.” Inggit membekap mulutnya dengan kedua tangan, berdiri di ambang pintu seraya tak lepas memandang punggung Denny yang membungkuk dan mengibaskan tali timba dengan cekatan. Sekejab
Baca selengkapnya
memujamu
“Kalian ini sudah menikah berapa lama?” Pak Djarot memandang Denny dan Inggit bergantian. Denny menjawil Inggit untuk masuk ke kamar. “Kami baru Yah, hampir satu bulan. Tanya saja sama Bu Sari yang menjadi saksinya.”Wajah Inggit yang baru masuk kamar seketika menghela napas mendengar jawaban Denny. “Tenang saja semuanya akan berjalan lancar, Ibu yang bertanggungjawab.” Ibu Sari masuk ke kamar. “Kalau kamu beneran nikah emangnya kenapa? Lagian Denny juga cakep. Badannya bagus, gak kalah dengan orang kota.”Inggit menyipitkan mata memandang Ibu Sari yang ikut duduk di tepi ranjang. “Apa aku masih pantas ... aku masih berstatus istri orang, Bu.”“Kamu lupakan semua kehidupanmu di kota, buka lembaran baru di sini,” tugas Bu Sari. “Tidak Bu, tidak semudah itu. Bila identitasku saja palsu, apakah aku akan hidup dalam kepalsuan terus menerus. Sepandai-pandai kita menyembunyikan bangkai, akan kecium juga. Jadi, setidaknya
Baca selengkapnya
senikmat ini
Bu Patmi mengerjapkan matanya penuh harap mendekap tubuh Denny, yang kokoh. Menginginkan Denny membenamkan miliknya utuh. Denny menggemertakkan giginya saat merasakan cengkeraman yang Bu Patmi berikan, membuat Denny menekan pinggulnya perlahan, berusaha membenamkan seluruh kenikmatannya ke dalam diri Bu Patmi. “Ah, kamu suka?” tanya Bu Patmi sembari mencengkeram lebih keras lagi milik Denny, ia suka melihat ekspresi puas yang Denny tunjukkan saat ini. “Ibu ternyata, legit ... sempit,” bisik Denny. Merasakan dirinya senikmat ini terasa di dalam tubuh Bu Patmi, wanita itu benar-benar membuat Denny kelimpungan menahan kenikmatan. Tubuh Bu Patmi yang memal seperti Shara Azhari, sungguh membuat Denny meremas dirinya tak kuat. Bu Patmi berbeda dari yang lalu. “Kenapa lebih sempit?” “Mau lebih nikmat?” tanya Bu Patmi sembari mengusap pipi Denny dan berhasil membuat lelaki itu menjadi penurut, mengangguk. “Buu,” erang Denny s
Baca selengkapnya
kesalahan berbalut kesedihan
Denny mengangkat piring yang ada di atas meja, mencoba meneliti. “Mas cuma menyampaikan yang dikatakan bude warung, kenapa sampai ke belut.”Lalu Denny berpindah ke daun sirih. “Lebih baik, merebus daun ini, daripada kita membahas belut.”Denny menarik kursi dan duduk menghadap pisang goreng berbagai bentuk dan segelas minuman hangat. “Pas banget nih, meski pisang gorengnya aneh.”Merasa tersindir dengan ucapan Denny, karena tidak menghargai pisang goreng yang sudah susah payah dibuat. Inggit mengambil panci dan mengisinya dengan air. Selama proses merebus Inggit hanya cemberut, berbalik dengan Denny yang terus mengejek. Menjelang siang, Inggit tak memedulikan soal ke mana perginya Denny. Ia beranggapan bahwa Denny mungkin sudah terbuai oleh tubuh Bu Patmi. Apalagi sepertinya Denny juga baru pertama kali merasakan surga dunia. Jadi, tak heran bila lelaki itu meminta tambuh berkali-kali memuja tubuh janda yang menggoda itu. “Ka
Baca selengkapnya
kepedulian seorang ayah
“Setelah masang seprai, kamu ke pengurus desa ya. Mana istri kamu, suruh pindah sini tidurnya. Tapi jangan langsung kamu uji coba sama istri kamu, Den ... takutnya kedengaran tamu di rumah.” Pak Djarot memandang Denny yang tertunduk belum bergerak. “Malah diam, panggil istrimu.”Denny terkejut. “Biar aku aja yang pasang, Yah, nanti biar aku bopong aja Inggit ke sini,” kata Denny, membuka pembungkus seprai dan merentangkannya. “Hati-hati, itu baru, Den.” Pak Djarot memandang Denny yang memasukkan ujung seprai ke bawah kasur. “Istri kamu kenapa mau diajak ke desa? Apa dia gak alergi. Pasti dia sangat sayang ke kamu, makanya dia mau diajak ke mari. Dulu Ibu kamu mirip-mirip sama istri kamu, sering sakit kalau pengantin baru, tapi sudah itu malah ketagihan.”Denny terbelalak mendengar perkataan ayahnya. Untung saja Inggit tak mendengar. “Sebenarnya ayah masih gak habis pikir bagaimana kamu bisa menikah dengan wanita itu. Tapi, sudahlah.”
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234567
DMCA.com Protection Status