Lahat ng Kabanata ng PETAKA SALAH POSTING: Kabanata 21 - Kabanata 30
58 Kabanata
Bab 14 C
Ibu mertuaku sibuk memberiku catatan dan skrinsut gambar dari internet tentang susu dan diapers untuk Dafi. Beliau tak mau aku membeli barang yang salah lagi. Ya Tuhan. Aku mirip orang bego kalau kayak gini. Hanya membeli dua benda saja, tak satu pun ada yang benar. Namira! Sampai kapan kamu menyiksaku? gerutuku. Usai balik dari supermarket, aku berencana santai sejenak di rumah mertua, mumpung anak-anak lengket dengan neneknya. Ternyata mengasuh anak-anak, meski anak sendiri cukup melelahkan. Selama ini, aku hanya sekali-sekali saja memegang mereka. Tak pernah sampai lebih dari delapan jam seperti sekarang. Kalau sudah begini, aku harus berterimakasih pada ibu-ibu yang mendedikasikan diri pada keluarga. Sungguh, mengurus rumah tangga itu luar biasa. "Ini jam berapa, Ren. Anak-anak belum mandi. Buruan pulang sana," usir ibu mertuaku. Padahal aku berniat sampai makan malam di sini. Paling tidak, aku pulang anak-anak sudah bersih dan wangi. Salahku juga, aku nggak membawakan anak
Magbasa pa
Bab 15 A
Hari masih pagi. Anak-anak semua sudah wangi dan rapi. Namira pun sudah bersiap hendak pergi ke kantor. Sebelumnya, ia masih menyempatkan diri untuk sarapan denganku dan anak-anak. “Jadi, buat apa kemaren kamu bawa-bawa ponsel itu?” tanya Namira saat Dafi dan Dafa sudah dipindah ke ruang tengah, tinggal hanya aku dan Namira yang duduk di meja makan. Kupikir, dia tak akan membahas lagi, karena hari sudah siang. Mestinya dia buru-buru berangkat karena jalanan akan semakin macet. Ini malah masih sempat bertanya-tanya hal kemarin.“Mau aku jual kembali ke tokonya dik. Uangnya buat pegangan aku, Dik. Aku ngga punya uang sama sekali,” ujarku memelas. Mestinya dia berterimakasih karena aku sudah menstransfer semua gaji terakhirku. Apa Namira berubah sepertiku saat aku masih bekerja, tidak peka? Aku menunggu reaksinya. Berharap dia akan mengambil ponsel dan mentransfer sejumlah uang untuk pegangan. Tapi, rasanya harapanku sia-sia.Setelah berfikir semalaman, aku tak lagi berniat menutup mu
Magbasa pa
Bab 15 B
Akhirnya aku terpaksa membawa anak-anak ke café yang dijanjikan oleh Firman. Dalam hati berharap, anak-anak anteng dan tidak rewel karena tentu saja ini pertama kalinya aku tanpa Namira membawa anak-anak di tempat umum. Seepanjang jalan aku menasehati mereka agar nanti tidak rewel, menurut dan tidak minta macem-macem. Entah mereka paham atau tidak, yang jelas saat aku bicara, Dafi selalu tertawa-tawa. Mungkin, bagi bayi berumur setahun ini, dia pikir mau diajak jalan-jalan.Mau bagaimana lagi, tidak mungkin aku meninggalkan anak-anak di rumah tanpa mengawasan siapapun. Mau nitip ke mertua, malah nggak ada di tempat. Mau bikin janji lagi lain waktu, Firman susahnya minta ampun diajak ketemuan.Seperti saat di rumah mertua, aku menggendong Dafi dan menggandeng Dafa, tak lupa tas selempang ada di pundak, berjalan memasuki area mall setelah memarkir mobil. Benar juga kata kurir tadi, tak heran kalau dia menganggapku mengirimkan istri ke LN, sementara di jam kerja begini aku sibuk dengan
Magbasa pa
Bab 16 A
Hari sudah siang saat aku tiba di rumah. Anak-anak aku turunkan dari mobil setelah memarkirnya di carport depan rumah. Untung karpet dari laundry sudah diambil. Aku segera meletakkan Dafi di atas karpet dan Dafa juga ikut duduk di sana. Sementara aku, ingin beristirahat sejenak setelah menyetir dari mall ke rumah ditemani celoteh anak-anak yang tak ada habisnya, semua apa yang dilihatnya di jalan ditanyakan. Ada rasa syukur aku masih memiliki mobil, meski cicilannya belum lunas, yang dapat mengantarku membawa anak-anak. Tidak terbayang bagaimana Namira yang selama ini membawa anak-anak bersamanya dengan motor matiknya. Aku jadi merasa bersalah dengan istriku itu. Pengorbanan untukku begitu banyak. Namun aku tak pernah berterimakasih padanya. Yang ada, justru keluhan ini itu sepulang bekerja dan enggan membantunya. “Yah, lapar!” ucapan Dafa membuyarkan lamunanku. Lagi-lagi, aku lupa kalau ini sudah lewat jam makan siang. Gara-gara aku mengamuk pada Firman di cafe, aku benar-be
Magbasa pa
BAB 16 B
Karena belum ngobrol, Mama hanya membawa Dafi ke ruang tengah. Bocah itu dipangku sembari diberikan susu botol yang baru saja aku berikan tadi. Tak lama, mata Dafi sudah terpejam. Dina, adikku menidurkan Dafa di kamar. “Dafi kok jadi kurus begitu. Tiga minggu lalu pipinya masih gembul,” komentar mama., setelah meletakkan Dafi di kamar. Dina sepertinya ikut ketiduran di sebelah Dafa. “Dia ngga mau makan, Ma,” ucapku lesu. Nggak hanya takut tentang inetrogerasi nasibku, bahkan kini aku harus diinterogerasi akibat kelalaianku mengurus anak-anak selama Namira tidak di rumah. Coba kalau tadi aku tidak pergi, pasti aku lebih dimarahi karena rumah lebih mirip kapal pecah. Mungkin juga tadi selama aku di dapur, Dina sudah berinisiatif membereskan mainan Dafa yang biasanya aku biarkan hingga Namira pulang. “Ngga mau gimana. Wong lahap begini,” sahut mama ketus. Sama sekali tak mempercayai alasanku. Apalagi tadi memang terbukti aku memberinya makanan dingin, meski bukan aku sengaja.
Magbasa pa
Bab 16 C
Aku meletakkan amplop pertama yang selesai kubaca ke atas meja. Tentu saja, langsung disambar oleh mamaku. Mungkin beliau penasaran karena melihat perubahan mukaku. Kini, giliran amplop kedua yang ada ditangan. Aku sudah dapat menebak. Isinya tak jauh beda dengan amplop pertama. Hanya saja, ini dari leasing mobil. Apes! Ternyata, hari penagihan itu datang juga. Dulu, aku pikir, tidak dapat membayar cicilan hanya monopoli orang yang pongah sok kaya, tapi mengambil kreditan. Tapi, ini justru benar-benar terjadi padaku. Aku meletakkan kembali surat kedua di meja. Tanganku memijat keningku. Pusing bukan main kepalaku. “Kenapa?” Mama membuka semua suratku dan menjejerkan keduanya di meja tempat kami bertiga duduk. Dina pun turut mengintip isi surat itu. “Kamu ngga punya tabungan untuk membayarnya?” tanya mama penuh selidik. Aku menggeleng. Uangku memang pas-pasan untuk cicilan dua asset itu, selain yang aku transfer untuk kebutuhan sehari-hari ke Namira. Setiap bulan aku tak
Magbasa pa
Bab 17. A
Sepertinya benar apa yang dikatakan Namira. Mobil kesayanganku ini harus dilepas, jika kami tak mau kehilangan rumah. Uangnya bisa kupakai untuk membayar cicilan rumah. Kecuali aku mau kehilangan kedua aset itu sekaligus.Ah! Semua menjadi kacau. Nila setitik rusak susu sebelanga. Hanya gara-gara foto tersebar, karir yang sudah dibangun hancur. Bahkan asset hampir terlepas. Aku hanya bisa mendengus, merasa bodoh. Ya, benar juga kata mamaku, aku memang harus disadarkan sesadar-sadarnya dari sikap jumawaku.Aku pun tak ingin menambah kehilangan yang lain. Terutama dua aset tak ternilaiku, Namira dan dua buah hatiku. Belum lagi keluarga Namira yang sebenarnya baik kepadaku. Tak banyak orang seberuntung aku, memiliki istri dan mertua yang baik. Wajar saja jika saat ini mereka menunjukkan rasa tak suka padaku. Aku memang pantas untuk mendapatkan hukuman ini. Aku telah mencoreng harga diri keluarganya. Anak kebanggaannya sudah kubuat terluka oleh perbuatanku. Semalaman aku mempelajari c
Magbasa pa
Bab 17 B
Aku khawatir Namira tak sabaran dan melakukan tindakan nekat. Terpaksa, aku harus segera melakukan apa yang menjadi titahnya. Aku segera bermain dengan aplikasi biru itu. Tangan ini lincah memencet tombol gabung ke berbagai grup jual beli mobil bekas dan over kredit. Aku sudah menanggalkan rasa malu dan gengsi. Benar kata Namira, aku bisa bilang sabar sekarang, tapi debt collector tidak bisa menunggu. Semua ada konsekuensinya. Aku segera masuk ke grup jual beli di aplikasi biru yang sudah menyetujui penggabunganku. Salin, tempel dan post! Kusebar semua pengumuman tentang penjualan mobilku seperti layaknya sedang menjaring ikan. Beberapa gambar yang menunjukkan keunggulan mobilku dan informasi spesifikasi aku tulis dengan sejelas-jelasnya. Sehingga hanya mereka yang benar-benar serius saja yang akan menghubungiku. Namanya juga usaha. Siapa tahu ada nasib baik berpihak padaku. Kalau tidak begini, Namira akan siap-siap menceramahiku lagi. Ntah berapa stok bahan ceramahnya, seolah t
Magbasa pa
Bab 17C
“Ayah kenapa nangis?” Dafa yang duduk di sebelahku rupanya menyadari saat aku mengusap anak sungai yang mengalir di pipiku. Mendengar kata-kata Dafa, Namira yang sibuk dengan Dafi, seketika menatapku. “Oh, klilipan, Kak!” ujarku berbohong. “Kok bisa, Yah? Kan ngga ada debu. Ngga ada angin. Biasanya klilipan kalau ada debu yang tertiup angin, trus masuk ke mata…” ujar Dafa lagi. Matanya menatapku lekat yang masih berusaha mencari alasan. Ya Tuhan, anak umur tiga tahun saja ngerti kebohonganku. Bagaimana dengan Namira? Apakah aku saja yang bodoh, yang menganggap semua orang bodoh? Aku mencuri pandang pada Namira. Wanita ibu dari anak-anakku itu terdiam menatapku. Dafi juga menghentikan celotehannya. "Ayah ke kamar mandi dulu," ucapku saat menyadari suasana menjadi aneh.***ETW*** “Jangan dibiasakan berbohong pada siapapun. Sepandai-pandainya tupai melompat, suatu ketika akan jatuh juga,” ujar Namira sambil mengelap meja saat anak-anak sudah pindah ke ruang tamu.Aku sudah kembali
Magbasa pa
Bab 18 A
“Tante di sini?” tanya Haris dengan nada yang begitu akrab dengan ibu mertuaku. Duh! Jangan-jangan benar kata ibu mertuaku, kalau Haris adalah calon menantunya yang gagal. Dan kini, Haris jauh lebih sukses dariku yang masih lontang-lantung tidak jelas. Masa depan suram!“Iya, nengok cucu. Nak Haris ngapain di sini?” Wanita yang memakai setelan tunik dan jilbab instan itu balik bertanya. Senyumnya begitu ramah pada Haris, berbanding terbalik dengan sikapnya akhir-akhir ini padaku. Ada tanda tanya besar tergambar di raut muka ibu mertuaku. Terlebih Haris datang menemuiku. Pasti beliau sedang mencurigai sesuatu.Pria itu menoleh dan menatapku sekilas. Ia seperti sedang hendak meminta persetujuanku untuk mengatakan sesuatu pada ibu mertuaku. “Reno lepas mobil, Bu,” jelasku mewakili Haris yang terlihat ragu. Helaan nafas pun mengiringi jawabku. Harga diriku serasa benar-benar hancur. Tak punya mobil seperti ini, artinya aku akan membiarkan anak dan istriku kepanasan. Paling pol, ya bi
Magbasa pa
PREV
123456
DMCA.com Protection Status