LOGINReno salah mengirim foto yang seharusnya ke stafnya, tetapi terkirim ke status WA nya yang berimbas dia harus diberhentikan dari jabatannya demikian juga dengan stafnya. Reno tak mengakui bahwa kedekatan dengan stafnya itu adalah bibit perselingkuhan. Reno akhirnya menganggur dan sulit mendapatkan pekerjaan baru. Ekonomi keluarga menjadi amburadul, membuat istrinya terpaksa mencari nafkah dan Reno harus menggantikan mengurus anak-anak. Ternyata, atasan istrinya adalah lelaki yang dahulu mencintai sang istri. Akankah Reno tinggal diam?
View MoreSetelah menyiapkan semua bahan presentasi, aku bergegas menuju ruang rapat pimpinan di lantai 23 gedung kantor tempat aku bekerja. Ada rapat dengan direktur bersama manajer lainnya.
Aku sendiri adalah manajer paling muda yang baru saja naik jabatan. Dan, ini adalah rapat pertamaku dengan pimpinan kelas menengah di kantor. Aku harus mampu menunjukkan kinerja terbaikku. Maka tak salah jika aku datang lebih awal dibanding peserta rapat yang lain.
Memasuki ruang rapat, aku sengaja memilih posisi di tengah. Sambil menunggu yang lain datang, kubuka ponsel yang sedari tadi bergetar.
[Mas, foto kemarin di kirim ke aku ya.]
Pesan dari Vania, staf di kantorku, masuk ke benda pipih yang sedang kugenggam.
Vania sudah biasa memanggilku ‘Mas’ jika kami sedang berdua. Tapi, dalam keadaan formal, dia selalu memanggilku dengan sebutan ‘Pak’.
Vania adalah staf yunior. Aku menjadi dekat dengannya karena sering kerja bareng. Aku suka padanya karena dia sangat cekatan, terampil dan dapat diandalkan. Dan pekan lalu, aku dan Vania baru saja dinas ke luar kota untuk meninjau kantor cabang di Surabaya.
Sebenarnya, kami juga tidak kemana-mana. Hanya beberapa foto kuambil saat kami berdua sedang makan malam di sebuah restoran. Memang beberapa fotonya ada pada ponselku dan belum sempat aku transfer padanya, karena biasanya setiba di rumah dari dinas, aku akan sibuk dengan Namira dan dua buah hati kami.
Buru-buru aku buka galeri foto di ponsel itu. Saat aku hendak memilih foto-foto itu, beberapa peserta rapat masuk ke ruangan. Tak enak jika aku fokus dengan ponsel, karena aku manajer baru. Dengan cepat akhirnya aku klik-klik saja foto-foto itu dan mengirimkannya ke Vania.
Setelah mengirim gambar itu, ponsel aku ubah ke mode diam dan kusimpan di meja dengan posisi terbalik. Aku tak ingin di saat rapat, terganggu oleh panggilan atau pesan yang masuk.
Tak terasa, rapat yang ternyata cukup alot memakan waktu tiga jam. Hingga tiba saatnya makan siang.
Beberapa peserta rapat membubarkan diri setelah ditutup. Demikian pula diriku.
Aku segera kembali ke ruanganku. Biasanya, Vania akan mengajakku makan siang bersama.
Dengan langkah tergesa aku kembali ke ruanganku. Anehnya, saat aku masuk, semua mata memandangku aneh.
Mataku memindai meja kerja Vania. Tapi anak itu tak ada di mejanya. Mungkin setelah di ruangan, aku harus segera mengecek ponselku.
Jangan-jangan dia sudah keluar duluan, agar teman kantorku tidak mencurigai kedekatan kami.
Meskipun aku dekat dengan Vania, tapi di kantor tak ada yang mencurigainya, karena aku dan Vania bisa membawa diri.
Kami hanya sekedar nyaman satu sama lain. Tidak melakukan hal yang di luar batas.
Vania adalah gadis belia. Usianya baru 23 tahun.
Awalnya kami dekat karena pekerjaan. Tapi, karena seringnya dia curhat mengenai masalah keluarganya usai kerja lembur, membuat hubunganku dengannya tak sekedar teman kerja.
Dia berasal dari keluarga yang berantakan. Ayahnya menikah lagi, ibunya pun demikian. Hingga dia sulit dapat menerima orang tua baru dari masing-masing orangtuanya.
Sementara aku, hanya menjadi pendengar setianya.
Mungkin karena aku sedikit bosan dengan suasana rumah. Namira yang terlalu sibuk dengan Dafa dan Dafi sering mengacuhkanku. Bahkan, justru sering memintaku membantunya, dibanding memperhatikanku. Padahal, aku sudah lelah bekerja dan ingin dimanja.
Aku segera masuk ke ruanganku. Ruangan yang baru satu bulan aku tempati setelah naik jabatan. Belum sempat aku duduk, Hana, sekretarisku mengetuk pintu.
“Pak, dipanggil menghadap Pak Direktur,” ujar Hana sambil mendekat ke mejaku.
Dipanggil? Bukannya kami barusan habis rapat? Sepertinya semua agenda tadi sudah final dan tak ada tersisa agenda lain yang ingin dibahas.
Tapi, baiklah. Mungkin ada hal lain yang ingin didiskusikan oleh Pak Direktur.
Ruang direktur ada di lantai 22, satu lantai di atas tempatku bekerja.
Baru aku melangkah hendak masuk ke ruangan direktur, langkahku terhenti saat melihat dari kaca, tampak Vania sudah duduk di kursi yang berhadapan dengan meja Pak Taufan, direktur perusahaan tempatku. Gadis itu terlihat menunduk.
“Permisi, Pak,” sapaku.
Pak Taufan segera berdiri. Wajahnya merah seperti menahan marah. Tangannya memegang ponsel yang sepertinya hendak ditunjukkan padaku.
“Apa maksudnya ini?” tanyanya sambil menunjukkan gambar di ponselnya.
Mataku melebar.
Mengapa Pak Taufan bisa mendapatkan gambar yang aku kirim ke Vania?
“Apa maksud kalian? Ha?” ucap Pak Taufan lagi.
Aku semakin tidak mengerti.
“Pak Reno, buka status W* Bapak. Itu terposting di sana.” Vania menatapku, matanya sudah mengembun.
“Apaa???!”
Bersambung
"Jadi, nggak masalah ya, nanti kami lahiran di bidan?" tanya Reno pada dokter kandungan saat periksa terakhir. "Insyaalloh, nggak papa. Ibunya sehat, bayinya sehat," ucap dokter berhijab yang masih terlihat cantik di usia kepala empat. "Malah, banyak bidan yang lebih pengalaman dari dokter spasialis." Sang dokter memberikan beberapa rekomendasi bidan, tempat rencana bersalin. "Nggak papa, kan, Dik, kamu lahiran di Bidan?" tanya Reno saat survey beberapa bidan yang direkomendasikan dokter, mertua dan juga beberapa teman yang domisili tak jauh dari mereka. "Dari dulu, aku kan nggak nuntut kamu apa-apa, Mas. Yang penting kamu tahu kewajibanmu dan sayang sama keluarga," ucap wanita yang perutnya sudah membuncit. Sebenarnya Namira tahu, yang berat dia lahiran di Bidan adalah Reno sendiri. Suaminya itu punya gengsi selangit. Meskipun sudah sering dijelaskan, namun, kalau masukan bukan dari orang yang dipercayanya, akan hanya menjadi angin lalu. Bahkan, meski dokter kandungan pun s
Meski kesal, Meira akhirnya setuju melakukan transaksi dengan bantuan Irma. Namun, tidak seperti sebelumnya yang menggebu-gebu ingin membeli semua unit. Setelah Hamdani membaliknamakan kepemilikan aset ke atas nama mantan isterinya, pria itu juga menyarankan untuk membeli satu per satu saja. Rumah yang ditinggali Meira pun disarankan untuk dilepas. Karena biaya perawatannya juga lebih mahal, dibanding uang yang dimilikinya. Nanti. hasilnya Meira bisa membeli rumah yang lebih kecil dan membeli property lain untuk disewakan. Ternyata, menjadi janda dengan banyak aset, tak sebahagia yang Meira bayangkan. Bahkan, yang mendekatinya justru rata-rata pria hidung belang, atau brondong yang hanya peduli pada hartanya. Sementara, pria seperti Reno yang diincarnya, bahkan lebih memilih menghindar. Bahkan, nominal uang yang pernah ditransfernya sebagai bonus, dengan maksud mengambil hati Reni, sudah ditransfer balik.Saat Meira berusaha menemui di kantor, ada saja alasan Reno untuk melimpahkan
Namira sebenarnya mempercayai ucapan suaminya. Hanya saja, dia ingin ketegasan. Agar suaminya itu benar-benar menghindar dari hal-hal yang memang remang-remang. Bukan karena tawaran yang menggiurkan, membuatnya terjerembab. "Gimana, suamimu?" Belum juga Namira duduk, Haris sudah menghampirinya. Seperti biasa, Namira datang lebih pagi. Karena naik kereta, dia tak mau berjubel jika berangkat bersamaan dengan para pekerja lainnya. "Biasa aja," sahut Namira sekedarnya. Dia sebenarnya malas dengan perhatian Haris yang sering berlebihan. "Sudahlah, kamu terima saja tawaranku. Mumpung belum ada yang isi lho." Haris menatap Namira, menunjukkan keseriusannya. Dia sudah menduga, masalah suami Namira, pasti tak jauh dari wanita. Padahal istrinya tak kurang cantik dan baik, batin Haris. "Bukan belum ada. Tapi, kamu sengaja nggak nawari ke siapa-siapa," sahut Namira. "Nah, itu tahu." Haris tersenyum puas. Dalam hati, dia masih berharap Reno akan menerima tawarannya, bagaimanapun caranya. **
"Ingat ya, aku akan mencabut hak pembagian harta gono-gini." Hamdani berucap dengan geram. Hamdani tak main-main. Sebagai pengusaha, dia kenal banyak pengacara hebat. Berbisnis tak sedikit yang harus menyelesaikan masalah kadang hingga ke meja hijau jika tak menemui titik temu. Meira mendapat pembagian harta karena memang di perjanjian pra-nikah, Hamdani berjanji tidak menambah istri lagi. Ternyata, di tengah pernikahannya, pria itu terpikat dengan wanita lain dan ingin mengambil pendamping.Meira tidak setuju. Sementara sebagai istri kedua saja, Hamdani jarang bermalam di rumahnya. Pria itu lebih mementingkan istri tua. Apa kabarnya kalau pria itu punya istri baru. "Kalau Mas sampai berani, lihat saja. Aku akan kasih tahu Mbak Rumi kalau Mas Hamdani nikah lagi." Meira tahu, kalau Hamdani sangat takut dengan istri pertamanya itu. Istri yang mendampingi dari nol itu, kalau kata Hamdani, meski cinta sudah pudar, tapi sayang tetap ada. Dia bak nyawa baginya. Tanpa Rumi, hidupnya akan












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Ratings
reviewsMore