Semua Bab Menaklukkan Suami dan Mertua Super Dingin: Bab 41 - Bab 50
68 Bab
41. Curahan Hati Arzen
(POV Arzen)Nafia. Sudah empat bulan aku hidup seatap dengan wanita itu. Menjalani kehidupan bersama dalam dalam biduk rumah tangga yang terasa hambar ini.Disebut demikian, karena memang apa yang aku jalani ini hanya sebatas pelaksanaan kewajiban. Konsekuensi dari ikrar yang telah terucap di depan penghulu.Berbeda dengan diriku, Nafia justru menjalani kehidupan pernikahan ini sebagai ajang ibadah terpanjangnya. Saat kutanya bagaimana perasaannya di awal pernikahan, dengan gamblang Nafia menjelaskan jika dia akan berbakti. Sepenuhnya mengabdikan seluruh hidupnya sebagai istri yang baik.Nafia tidak mengada-ada. Ia menjalani peran sebagai istri, menantu, dan ipar yang baik. Walau pun tidak mendapat respon yang hangat dariku, tidak pernah terlihat dia mengeluh.Nafia juga bersabar menghadapi sikap pedas mama. Perjuangannya berakhir indah. Ketulusan dia saat menolong Mama yang tengah sekarat karena kambuhnya asma, menjadi titik balik bagi hubungan antara mertua dan menantu itu.Kebencia
Baca selengkapnya
42. Kepergian Nafia
Diaz menghela napas dalam-dalam. "Tadinya dokter bilang stress, makanya maag-nya sering kambuh. Tapi, saat Aliya mengeluh kesakitan yang luar biasa, dokter nyuruh buat CT. Dan kemarin hasilnya menunjukkan jika ada yang tidak beres di perutnya." Diaz menjeda perkataannya untuk menghirup udara, "ada cancer di ususnya."Aku terperangah mendengarnya. Bagai petir yang menyambar di siang yang terik. Aliya yang selalu tampak tenang ternyata menyimpan lara.Ketika masih bercakap dengan Diaz, Aliya terjaga. Aku langsung bergegas masuk menemui. Ibu Aliya yang pengertian sengaja keluar untuk memberikan kebebasan agar leluasa bicara dengan putrinya."Aku sakit, Zen. Aku akan mati." Tidak kusangka di balik senyum kalemnya, jiwa Aliya ternyata rapuh. "Jangan bicara seperti itu, Al. Semua penyakit pasti ada obatnya. Beruntung sakitmu terdeteksi secara dini. Jadi masih ada kesempatan," tuturku memberikan semangat.Aliya menggeleng lemah. "Percuma sembuh toh gak yang membuat hidupku bahagia sekarang
Baca selengkapnya
43. Pencarian
(Arzen)"Apaaah? Kabur?" Mata Diaz terbeliak tidak percaya. "Kamu udah nyari Nafia di kamar atas?" tanya Diaz dengan mimik khawatir.Aku menggeleng lemah."Lihat ke atas dulu, ya.""Jangan!" Saat aku berseru, Diaz yang sudah dua langkah berhenti. "Gak mungkin Nafia di atas.""Kamu bisa yakin ngomong begitu, meriksa aja belum."Aku berdecak pelan. "Bajunya kosong," kataku sambil menunjuk lemari.Diaz ternganga. Hanya sebentar saja. Selanjutnya ia bergerak cepat menuju lemariku. Saat melihat rak baju di lemari kosong, Diaz kian terperanjat."Apa yang membuat dia kabur, Zen?" cecar Diaz dengan pandangan tajam. "Jangan bilang Nafia cemburu karena kedatangan Aliya semalam.""Nafia memang cemburu." Aku mengamini omongan Diaz pelan."Aku hapal watak Nafia. Dia bukan wanita yang gegabah dalam mengambil keputusan," tutur Diaz yakin. "Pasti ada sesuatu yang membuat dia lelah sama kamu," tebak Diaz terlihat yakinAku sendiri memilih diam. Tidak membenarkan, tidak pula membantah."Apa ini ada ka
Baca selengkapnya
44. Hampa
Seperti janjiku pada Aliya tadi siang, sore ini aku kembali menyambangi gadis itu. Bertiga dengan Diaz dan ibunya Aliya, kami akan menemani Aliya menjalani kemoterapi.Ini adalah pengobatan kemoterapi pertama bagi Aliya. Gadis itu menjalani pemeriksaan meliputi tes darah guna mengevaluasi fungsi hati dan ginjal. Aliya juga melewati pemeriksaan jantung.Setelahnya Aliya baru menjalani proses kemoterapi. Lengan gadis itu dipasangi selang infus guna memasukkan obat ke dalam tubuhnya. Tiga jam berlalu, Aliya diperbolehkan pulang.Efek dari pemberian obat tersebut, Aliya terlihat mengantuk. Di dalam mobil dirinya tertidur dalam pelukan ibunya. Suasana di dalam mobil hening. Diaz fokus menyetir, sedangkan ibu Aliya memeluk putrinya. Aku sendiri mengalihkan pandangan ke arah jalanan.Tanpa sengaja mata ini menangkap sesosok bayangan. Rambut dan tinggi badannya mirip Nafia. Bahkan jaket yang dikenakan pun mirip kepunyaan istriku. Aku yakin wanita yang memasuki mini market itu pasti Nafia."Y
Baca selengkapnya
45. Pasrah
(Nafia)"Siapa itu?!"Aku langsung menutup mulut. Itu suara Diaz. Suaranya masih terdengar jauh. Sepertinya Diaz berseru di dalam kamarnya. Aku harus segera pergi sebelum dia memeriksa teras ini.Maka tanpa ba-bi-bu lagi langkah seribu kuambil. Lalu membuka cepat gerbang besi yang tidak terlalu tinggi ini. Setelah itu aku kembali berlari.Sempat bertemu dengan beberapa tetangga kompleks yang sedang joging pagi. Pada mereka aku melempar senyum manis, setelahnya kembali berlari. Namun, kubuat lari santai seperti sedang joging supaya tidak dicurigai.Sampai di jalan raya baru kuhentikan lari. Kuatur napas agar tidak tersengal. Setelah itu kembali mengayun.Kaki ini berhenti di sebuah warung kecil pinggir jalan. Haus dan lapar membuatku membeli sebotol air mineral dan sebungkus roti cokelat.Setelah membasahi kerongkongan dan mengisi perut, aku melangkah lagi.Ke mana aku harus melangkah? Tidak mungkin aku pulang ke rumah Paman Santosa. Arzen akan mudah menemukan. Menemui Tina juga bukan
Baca selengkapnya
46. Bersembunyi
Ibu Mas Ibnu meraih kepalaku ke dalam dekapan. "Anggap rumah ini seperti rumahmu sendiri seperti yang yang dulu-dulu.""Terima kasih, Bu." Aku memisahkan diri, "tapi, saya gak bisa menginap lama di sini.""Kenapa begitu?" Ayah dan Ibunya Mas Ibnu kompak bertanya."Memang kamu mau tinggal di mana? Gak mungkin kan tinggal di rumah Dek Santosa?" Ayah Mas Ibnu yang bertanya."Saya takut Mas Arzen dan asistennya menemukan saya di sini.""Lalu?" Lagi-lagi kedua orang tua itu bertanya bersamaan."Bapak kan punya beberapa kontrakan di daerah Bogor. Saya akan memilih tinggal di sana saja."Suami istri itu saling bertukar pandang."Terserah kamu saja, Fia. Kami hanya mendukung apa yang terbaik untuk kamu." Ibu Mas Ibnu mengelus lenganku."Makasih, Bu." Aku memeluk wanita berjilbab lebar itu. "Dan satu pinta saya, tolong jangan kasih tahu keberadaan saya pada Paman Santosa," punyaku sungguh-sungguh."Kenapa begitu?" Dahi Ayah Mas Ibnu mengernyit."Saya hanya ingin hidup sendiri dulu.""Baiklah."
Baca selengkapnya
47. Deva
Dengan menenteng tas plastik putih aku menyusuri jalanan sendiri."Nafia?"Aku tersentak. Itu suara yang amat kukenal. Ketika kutoleh seraut wajah oriental menatapku tidak percaya."Deva?" tegurku melihat pemuda itu duduk angkuh di motor besarnya."Lu sendirian? Mana suami lu?" tanya Deva dengan suara yang lumayan keras. Matanya menatap sekeliling. Seolah tengah mencari seseorang."Sttt!" Aku sendiri segera menempelkan telunjuk di jari, lalu mengitari pandangan. Takut jika ada orang yang mengenal kami."Ngapain lu celingak-celinguk gitu?" Deva bertanya masih dengan suara lumayan besar."Bisa gak dikecilin suaranya, Ko?!" tanyaku memasang wajah jutek, "lagian aku kan gak tuli," lanjutku sewot."Ya ... habisnya lu gak jawab pertanyaan gue," timpalnya cuek.Aku diam dengan bibir mencebik."Kita makan di sini, yuk!" ajak Deva kemudian. Pemuda itu menunjuk warung tenda pinggir jalan.Aku berpikir sejenak. Sebenarnya enggan, tetapi aku butuh bantuan dia."Oke." Aku menelengkan kepala. Se
Baca selengkapnya
48. Kehidupan Baru
Keesokan pagi, seperti rencana semula seusai sarapan bersama, ayahnya Mas Ibnu mengantarku ke Bogor. Beliau mengemudikan mobilnya sendiri. Bertiga dengan istrinya kami berangkat ke kota kembang tersebut.Melalui jalan tol Jagorawi hanya butuh waktu sekitar satu jam dua puluh menit untuk tiba di tujuan. Dalam perjalanan aku sempat tertidur. Baru bangun saat Ayahnya Mas Ibnu menghentikan mobil di sebuah toko roti. Ternyata istrinya ingin membeli kue unyil.Ibunya Mas Ibnu masuk ke mobil lagi dengan dua plastik besar di tangan. Mobil melaju lagi. Lima menit kemudian, kami telah tiba di tujuan.Ayahnya Mas Ibnu membuka kontrakan tiga petak yang terletak di paling ujung. Ada sepuluh bangunan berjejer dengan corak yang sama. Hanya beda warna. Dan ini semua milik Ayahnya Mas Ibnu.Mataku menatap sekeliling. Ruang tamu minimalis sudah tersedia satu set sofa. Di ruang tengah juga ada sebuah televisi lengkap dengan karpet."Ini kontrakan adalah rumah kedua bapak. Kamu tinggallah di sini biar ga
Baca selengkapnya
49. Kedatangan Paman Santosa
(Arzen)Hampa. Sunyi. Ada yang hilang di dalam sana saat mendapati rumah kosong tanpa Nafia.Ini gila! Nafia mampu menjungkir balikkan hidupku. Kami hanya tinggal seatap tidak lebih dari empat bulan. Kenapa harus sekosong ini hidup tanpa dia?Apalagi setiap hari Diaz selalu saja menyalahkan aku atas kepergian Nafia. Perangai Diaz juga berubah. Pemuda itu jadi sedikit membangkang."Kamu itu laki-laki bodoh, Zen!" Kecamannya malam itu tidak pernah terlupa. "Tidak bisa bersyukur. Istri sebaik dia kamu sia-siakan. Tidak pernah aku mendengar Nafia mengeluh atas perangai dinginmu. Di depan semua orang dia mampu berpura-pura bahagia. Tidak pernah juga aku mendengar dia meminta dan menuntut macam-macam. Aku masih ingat, Nafia cuma minta dianggap seperti istri pada umumnya, Zen. Bukan sekedar teman tidur saja."Kekecewaan yang dilontarkan Diaz membuatku makin stres. Belum lagi menghadapi pertanyaan dari Mama, Arsy, ataupun Paman Santosa dan istrinya atas tidak aktifnya nomor ponsel Nafia. Baik
Baca selengkapnya
50. Derita Arzen
Sudah hampir sebulan Nafia gak pernah main, Bu," balas Paman Santosa memberi tahu, "dia juga gak pernah nelpon. Ketika saya hubungi nomernya mati," tuturnya tenang. Sang istri manggut-manggut membenarkan. "Saat saya hubungi nomer Mas Arzen gak pernah bisa. Ada saja alasan, makanya kami berinisiatif langsung datang kemari."Kini Mama dan Arsy yang saling bertukar pandang."Zen, Mama tanya, apa yang sedang kamu sembunyikan?" Pandangan Mama tampak begitu menyeramkan. Matanya lurus menatapku tajam."Eum ... e-e-e--""Kenapa gugup gitu?" cecar Mama dengan nada dingin. Tangannya terlipat di dada dengan pandangan yang tidak terlepas padaku."Maaf kalau saya lancang." Paman Santosa menginterupsi. "Sebenarnya apa yang sedang terjadi?" Seperti Mama, dia pun bertanya serius."Jujur saya juga merasa Mas Arzen seolah tengah menyembunyikan Nafia. Selalu saja Mas Arzen melarang jika kami akan berkunjung atau mengobrol dengan Naf dengan berbagai alasan.""Eum ... silahkan duduk dulu. Saya akan buatk
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234567
DMCA.com Protection Status