Semua Bab Menaklukkan Suami dan Mertua Super Dingin: Bab 21 - Bab 30
68 Bab
21. Igauan Arzen
Gemericik air. Arzen masih betah di kamar mandi. Padahal aku sendiri sudah amat risih. Ingin membersihkan diri juga. Lebih dari empat puluh menit lelaki itu di dalam. Bahkan seprai putih alas bercinta kami sudah selesai kuganti. Kupandang noda merah ini. Tiba-tiba mata ini merebak.Aku menyesal. Seharusnya aku tidak perlu secepat itu meminta hak. Harus sadar diri posisiku di hati Arzen. Sehingga tidak perlu merasa sakit hati ini.Derit pintu membuatku menoleh. Arzen keluar dengan rambut basahnya. Tanpa bicara dia mengambil hair dryer, lalu mulai mengeringkan rambut.Aku sendiri tertatih menuju kamar mandi. Sedikit mendesis menahan rasa sakit di inti tubuh ini. Usai membaca niat mandi besar, shower air menyiram tubuh. Air mataku membaur bersama air yang mengalir.Arzen sudah tertidur ketika aku selesai mandi. Seperti biasa posisinya miring membelakangi. Helaan napasnya terdengar pelan. Dadanya naik turun dengan teratur.Rambutku masih basah. Namun, tidak kukeringkan dengan hair dryer.
Baca selengkapnya
22. Dihempaskan Keras
Keesokan harinya, sikap Arzen kembali seperti biasa. Sikapnya yang hangat semalam sirna. Dia menjelma menjadi pria yang kaku dan dingin lagi. Namun, aku dibuat terkejut saat tiba-tiba Arsy bertandang ke rumah."Kak Arzen nyuruh aku buat ajak jalan-jalan sama kamu, Mbak," tuturnya ceria. Gadis itu masih mengenakan seragam sekolah. "Katanya biar kamu gak bosen di rumah terus.""Benarkah?" Aku takjub mendengarnya. Tidak menyangka jika Arzen akan memberikan perhatian. "Hu'um. Makanya sekarang Mbak Nafia ingin pergi ke mana? Aku temenin.""Kebetulan isi kulkas mau kosong, bagaimana kalo kita belanja bulanan?""Boleh." Arsy mengangguk setuju, "yodah buruan telpon Bang Diaz buat anter kita.""Kok Diaz? Dia kan harus dampingi Mas Arzen. Kita naik taksi saja.""Gak suka ah!" Arsy menolak langsung, "aku maunya disopirin Bang Diaz," pintanya setengah mengancam.Tidak mau membuat Arsy kecewa, aku menurut. Kuhubungi nomor Diaz. Beruntung pemuda itu dengan senang hati menyanggupi.Arsy berseru se
Baca selengkapnya
23. Dipermalukan
Ketika bel rumah berbunyi, Arsy melonjak girang. Dia tergopoh-gopoh membukakan pintu."Lihatlah! Betapa cantiknya istrimu, Kak," ujar Arsy ketika masuk bersama Arzen. "Dialah ratumu di pesta nanti."Arzen menatapku lekat. Aku mengembangkan senyum untuknya. Namun, Arzen justru melengos."Kamu yang dandanin dia?" tanya Arzen pada adiknya."Cantik kan?" Arsy meringis senang.Arzen mendengkus marah. "Hapus make-upmu, lepas bajumu! Kamu gak akan ikut ke pesta!" putusnya tegas."Kak Arzen apa-apaan sih?!" Arsy berseru tidak terima."Kamu diem! Kalo mau ikut sana bersiap," tegas Arzen pada adiknya."Aku tentu ikut, bareng Mbak Nafia juga." Arsy bersikeras mengajakku."Sy, tolong jangan buat aku marah ya!" titah Arzen dingin dan tajam. Matanya intens menatap adiknya."Kenapa Kak Arzen enggan ngajak Mbak Nafia sih? Malu?" tebak Arsy dengan nada meninggi. Dua sama sekali tidak takut dengan tajamnya tatapan sang kakak.Arzen tercekat. "Arsyyy!" Arzen balas membentak.Aku sendiri terkaget mendeng
Baca selengkapnya
24. Karma
"Kurang ajar!" Paman Santosa menggeram, "saya tidak terima Nafia dipermalukan seperti ini." Diaz terdiam mendengarkan. Sepertinya dia yang telah menceritakan semuanya pada Paman. "Tidak apa kamu menjadi janda, Nafia. Asal kamu tidak dihina oleh keluarga Bapak Ari Wijaya." "Maksud Paman apa?" Dahiku mengerut. "Cerai saja dari Arzen!" Paman Santosa menyahut cepat. "Lalu kita tuntut pertangung jawaban mereka atas meninggalnya keluargamu, Ibnu, dan cacatnya kaki kamu," tuturnya dengan gigi gemelutuk menahan berang. Aku termangu. Sungguh bukan ini yang kuinginkan. "Kenapa kamu diam saja, Naf?" Paman Santosa menatapku lekat. "Kamu setuju kan dengan saran Paman?" Aku menarik napas. Mencoba melegakan himpitan hati. "Aku emang sakit hati atas perlakuan keluarganya, Paman. Tapi, aku tidak ada kepikiran untuk berpisah dari Arzen," jujurku pelan. "Berarti kamu sudah mencintai Arzen, Naf?" Nada bicara Diaz biasa saja. Namun, ada kegetiran yang kutangkap dari pernyatannya. "Eum ... aku gak
Baca selengkapnya
25. Takluknya Ibu Sita
Batuk Ibu Sita kian menghebat. Terdengar bunyi mengi setiap kali bernapas. Wajahnya kini memucat dengan keringat mulai membasahi. Dari gejala yang terlihat sepertinya Ibu Sita terkena asma.Tidak tega dengan keadaannya, gegas kudekati Ibu Sita. Membimbingnya duduk dengan posisi tegak."Tenang dan tarik napas yang panjang, Ma," suruhku perhatian.Ibu Sita menurut. Dirinya duduk tegak dan menarik napas dalam-dalam. Aku sendiri melihat sekeliling. Mencari penyebab kambuh asmanya Ibu Sita.Rumah terlihat bersih tanpa debu. Tidak ada benda-benda dari bahan bulu. Apalagi asap rokok karena hanya ada kami berdua. Ibunya Diaz tidak datang hari ini.Mataku tertuju pada jendela yang terbuka. Sepertinya hujan yang menghembuskan udara dingin adalah penyebab kambuhnya asma Ibu Sita. Gegas kututup jendela besar ini.Sekarang kaki ini kuseret ke dapur. Akan kubuatkan kopi untuk Ibu Sita. Karena minuman hangat yang mengandung kafein seperti kopi atau teh dapat sedikit membantu saluran pernapasan.Kafe
Baca selengkapnya
26. Pengakuan Ibu Sita
"Ma." Arzen datang. Matanya memincing kala menatap kami. Mungkin heran kenapa mamanya yang selama ini sangat membenciku, tiba-tiba mau memeluk. "Aku udah dapat obatnya," ujarnya seraya menunjukkan kantung plastik putih pada kami. "Kita pulang, ya?"Ibu Sita mengangguk pelan. Kali ini dia menggandeng tanganku menuju pintu keluar. Hujan masih membungkus kota. Sialnya kami memang tidak membawa payung.Beruntung aku mengenakan sweater. Kugunakan pakaian tersebut untuk dijadikan payung darurat. Aku dan Ibu Sita melangkah cepat menuju mobil. Sementara Arzen sudah lebih dulu berlari meninggalkan kami.Arzen melajukan mobilnya ketika aku dan Ibu Sita sudah memasang sabuk pengaman. Kali ini Arzen mengendara dengan pelan. Karena hujan deras membuat jarak pandang menjadi kurang jelas.Sesampai di rumah hari sudah petang. Bapak Ari dan Arsy menyambut kami dengan senang. Mereka ingin mendengar apa yang terjadi. Namun, Ibu Sita menyuruhku serta Arzen untuk mandi air hangat dulu. Begitu juga dengan
Baca selengkapnya
27. Pernyataan Cinta Diaz
"Naf, kita pulang saja, yuk!" "Eh!" Aku terheran ketika tiba-tiba Arzen menarik lenganku. Wajahnya mendadak menjadi merah. "Tapi, pesanan kita belum datang, Mas." Aku mencoba menolak. "Kita batalin saja," balas Arzen dengan pandangan lurus ke depan. "Tapi, aku mau makan steik." "Lain kali saja, Naf." Arzen terus menarik lenganku agar mau bangkit dari duduk. "Tiba-tiba kepalaku pusing banget nih," katanya sambil meringis seolah menahan sakit. Namun, matanya tetap tertuju ke meja di depan kami. Karena Arzen sudah melangkah duluan, mau tidak mau aku pun menurut. Namun, rasa penasaran membuatku mengalihkan pandangan ke arah meja depan. Tampak gadis seorang gadis tengah makan malam berdua dengan seorang pemuda. Dahiku melipat. Aku pernah lihat gadis itu. Gadis yang menangis di acara pernikahanku dengan Arzen. Gadis yang dipeluk oleh ibunya Diaz. Dia Aliya. "Naf!" Aku tertegun. Arzen sudah jauh beberapa langkah dariku. Matanya kembali terpaku pada mejanya Aliya. Tampak ia menghela na
Baca selengkapnya
28. Perang Dingin
"Aku mencintaimu kamu, Naf. Walau kamu tidak mencintaiku," ucap Diaz yakin. "Diaz?" Suara berat itu membuatku dan Diaz sontak menoleh. Arzen datang dengan tatapan aneh. "Kamu lagi ngapain?" tanya Arzen sambil menatap jemariku yang digenggam oleh Diaz. Refleks kulepas genggaman tangan Diaz. Diaz tampak gugup. Namun, dia cepat menguasai diri. "Ini baru selesai bebat kakinya Nafia biar gak bengkak." Arzen bergeming. Sepertinya dia tidak puas dengan jawaban Diaz. Namun, dia memilih diam. "Katanya mo beli makanan, kok udah pulang?" Kini Diaz yang bertanya. Dia merapikan semua alat yang dibawanya tadi. "Hape aku ketinggalan." Arzen membalas pelan, "udah deh kamu aja yang beli makanan," suruh Arzen seraya melempar kunci mobil pada Diaz. Diaz sigap menangkap. Menyimpan kunci tersebut pada saku celana. Setelah itu dia berlalu sambil membawa baskom. Tidak lama terdengar suara mesin mobil menyala. "Kayaknya kamu dekat banget sama Diaz," ujar Arzen setelah membenamkan punggungnya pada sofa
Baca selengkapnya
29. Hanya Dicintai Sesaat
Pintu rumah tidak terkunci ketika kami tiba. Sepertinya Arzen sudah pulang. Benar saja, sosok sudah ada di kamar bawah. Kamar yang kutempati. Tampak Arzen tengah mengambil baju untuk tidur. Dia hanya bertelanjang dada. Sepertinya habis mandi. Tiba-tiba aku teringat omongan Diaz di tempat tukang mie ayam tadi. Aku menghirup oksigen untuk mengumpulkan keberanian. Perlahan aku mendekat. Lalu mulai memeluknya dari belakang. Arzen tampak terpana. "Maafkan aku, Mas," bisikku lirih. Kepala ini kutempelkan pada punggungnya. "Maaf aku terlalu memaksakan kehendak," ucapku tulus. Arzen membalikkan badan. Lelaki itu memincing. "Kamu ngomong apa, Naf?" tanya Arzen tampak heran. Aku melonggarkan dekapan. Sedikit mendongak untuk balas menatapnya. "Mungkin sebagian orang akan menganggapku bucin, tapi aku hanya ingin menata kembali hubungan kita, Mas." Arzen mendengkus pelan. "Yakin kamu ingin menata ulang hubungan kita?" Matanya menatapku intens. "Tentu." Aku mengerjap disertai senyuman kecil,
Baca selengkapnya
30. Aku Hanya Memiliki Raganya
"Apakah aku boleh ikut membesuk Aliya juga?" tanyaku serius.Sontak baik Arzen maupun Diaz menatapku heran."Kita mau nengokin orang sakit, Naf. Bukan untuk main-main," balas Arzen yang menjadi pertanda jika dia keberatan."Yang bilang main-main juga siapa, Mas?" Aku memutar balikan perkataannya dengan tenang, "aku hanya ingin mengenal Aliya. Sepupu Diaz yang sekaligus mantanmu. Apakah itu gak boleh?""Boleh, tapi mau ngapain di sana?" Arzen bersikeras tidak berkenan."Sorry, Zen, ini ibu dari tadi berisik banget buat nyuruh aku ke sana." Diaz menginterupsi, "kalo kalian masih asyik debat, aku pergi sendiri aja.""Yodah pergi sekarang!" Arzen menyanggupi."Nafia bagaimana?"Ada rasa terharu saat Diaz menanyakan itu. Selalu saja lelaki itu memikirkan keadaanku.Arzen melirikku sejenak, "terserahlah," ujarnya pasrah.Aku tersenyum. "Aku ambil tas sebentar."Tergopoh aku menuju kamar. Memilih cepat pakaian rapi untuk mengganti baju rumahan ini. Setelah memberikan sentuhan tipis pada waja
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234567
DMCA.com Protection Status